Segala kegiatan pembangun harus dihentikan dengan alasan apa pun.
“Diduga saja, sudah harus ada upaya untuk melindungi. Apalagi kalau jelas-jelas ada temuan di lokasi, pemerintah wajib melakukan perlindungan, bukan malah menghilangkannya atau memindahkannya ke tempat lain,” ujarnya.
Diakuinya secara parsial beberapa area di Gampong Pande sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya.
Namun tidak secara keseluruhan kawasan.
“Harusnya ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya menyeluruh yang dilindungi, karena pusat pemerintahan Kerajaan Aceh di Gampong Pande ini sangat luas,” ujarnya.
Karena itu Husaini meyakini area pembangunan IPAL sekarang adalah bagian dari kawasan inti Kerajaan Aceh yang di dalamnya tersimpan banyak artefak maupun makam para raja dan ulama.
Asumsi ini dikuatkan dari hasil pengamatan sembilan nisan yang ditemukan di dalam galian kolam besar penampungan tinja di lokasi pembangunan IPAL.
(Baca: VIDEO: Liputan Khusus, Proyek Tinja di Makam Ulama)
Dari bentuk dan motif, nisan itu adalah diduga milik para raja dan ulama.
Sedangkan keberadaan istana kerajaan diperkirakan saat ini tidak ditemukan lagi karena sudah tenggelam beberapa ratus meter ke dalam laut.
“Karena itu keberadaan jaringan perpipaan limbah tinja IPAL dan TPA Gampong Jawa jelas tidak cocok di kawasan ini,” ujar penulis buku “Awal Masuknya Islam ke Aceh, Analisis Arkeolog dan Sumbangannya pada Nusantara”, ini.(Anshari Hasyim)