Karya Muhammad Muis
SENJA basah, petang hari yang diterpa gerimis. Udara dingin. Hawa dingin mulai menyelinap ke dalam tubuh. Aku menarik jaketku, mengetatkannya pada tubuh yang menahan gigil. Remang-remang senja sebagian mulai turun, menunjukkan kuasanya. Mobil-mobil dan motor-motor berseliweran penuh sesak dan macetnya jalanan Jakarta. Aku menatap gerimis yang jatuh teratur. Udara yang berbau asap kalah oleh gerimis yang turun.
“Lama sekali kita tak bertemu,” kataku.
“Lebih dari dua puluh tahun,” katanya.
Ia tersenyum padaku. Senyum itu masih seperti dulu.
“Kau masih seperti dulu,” kataku.
Ia terdiam. Matanya lurus ke depan. Sesekali ia menarik syal yang tergantung di lehernya.
“Engkau tampak gagah,” katanya. Ia melirikku. Aku tersenyum.
“Engkau kelihatan gendut, agak gemuk,” ujarku.
“Makanku banyak.”
Ia tertawa berderai.
“Engkau macam… truk gandeng.”
Tawanya pun kian keras. Tangannya terus jua menyetir. Macet di senja yang basah itu makin parah. Bunyi klakson kendaraan amat berisik, amat mengganggu.
“Bagaimana keluargamu, baik semua?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Dan keluargamu?”
“Aman tenteram.”
Engkau selalu masih suka bercanda seperti dulu, batinku.
“Aku gembira melihatmu tampak makmur,” aku berkata polos.
“Sok tau!” katanya sambil terkikik.
Aku malah terheran-heran. Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum.
“Makmur apanya….”
Aku tersenyum juga. “Setidaknya lebih makmur daripada aku.”
“PNS sih…,” katanya.
Aku pun mengakak. PNS agaknya bagai identik dengan kemiskinan.
“Mentang-mentang pengusaha,” lanjutku.
Titik-titik air yang tercurah dari langit senja masih terus jua turun di jalanan.Senja yang temaram dalam basah bagai perjaka menunggu kekasih nan tak kunjung tiba jua. Bahkan, gerimis yang tadi menderas kini berubah menjadi hujan. Udara dalam mobil kini terasa kian dingin. Ia mengecilkan AC mobil. Aku kembali merapatkan jaketku. Ia pun tampak kembali membetulkan syalnya.
“Berapa anakmu?” tanyanya.
“Tiga,” jawabku.
Ia tersenyum ceria. Kemudian, ia terkekeh-kekeh.
“Mengapa engkau tersenyum?” tanyaku terheran-heran.
“Kok sama.”
“Apanya yang sama?”
“Anakku tiga juga.”
Kami tertawa berderai.
“Laki-laki apa perempuan?” tanyanya lagi.
“Laki-laki ketiga-tiganya.”
Ia menjadi kembali terkekeh.
Aku pun kembali heran sendiri.
“Lho?”
“Kok sama,” jawabnya. “Anakku ketiga-tiganya juga lelaki.”
Ia tersenyum-senyum. Matanya tidak lepas menatap ke arah muka.
“Coba kalau anakmu ada yang perempuan, kita bisa berbesan,” candanya. “Ini kok sama semua. Tak bisa memperpanjang tali silaturahmi, kata orang tua.”
Aku garuk-garuk kepala yang tidak gatal sembari tersenyum.
“Putraku yang tertua di Jepang,” ujarnya. “Yang nomor dua di SMA dan yang bontot SMP. Aku pun baru minggu lalu dari Jepang.”
“Orang kaya sih sekolahnya di luar negeri,” candaku.
“Bukan,” ucapnya, “ia memperoleh beasiswa dari Japan Foundation. Ia belajar di Hokkaido University, Jepang. Pintar dia. Beda sama Maknya.”
Aku pun tersenyum. Aku tahu, ia merendah. Dulu di SMA ia juara umum; ia di Jurusan Fisika, sedangkan aku harus puas hanya masuk sepuluh besar di kelasku di Ilmu Budaya. Hingga sekarang pun pekerjaanku tidak pernah jauh dari urusan bahasa dan sastra. “Anakku yang tertua sudah lulus kuliah. Dari Unpad, Bandung. Delapan semester pas. Cum laude dia,” ujarku.
“Dari dulu engkau selalu mengidolakan Unpad,” katanya, “aku pun tak heran kalau putramu engkau kuliahkan di sana.”
Aku tersenyum.
“Pintar benar anakmu, ya.”
“Anak siapa dulu….”
“Sombong!”
Kami pun tertawa lepas.
Aku terus menatapnya yang lurus memandang ke depan jalan. Kecantikannya yang bagai pinang dibelah dua dengan Katrina Kaif-aktris beken Bollywood, India-masih kentara membekas. Dulu wajah ini sering tanpa sadar muncul dalam benakku. Sejujurnya, aku malu mengakuinya. Masa lalu yang penuh kenangan. Engkau tak jua pernah berubah terhadapku: masih juga ramah, penuh canda, gembira, dan selalu menerimaku penuh akrab, seperti tatkala kita masih bersama. Aku sama sekali tak menangkap kesan engkau sengaja menghindar dariku, apalagi sombong. Tidak, engkau masih benar-benar seperti dulu. Diam-diam dari lubuk hatiku, aku merasa iri terhadap suamimu, yang berhasil menjadikanmu menjadi permaisurinya. Kuakui, engkau sejak dulu tidak mudah ditaklukkan. Aku gagal menaklukkanmu. Aku membatin.
Hujan kian lebat. Macet di jalan kian parah. Bunyi-bunyi klakson semakin berisik. Masing-masing ingin lebih cepat di jalan yang macet itu.
Besar benar jasa Mark Elliot Zuckerberg—anak muda brilian dari Universitas Harvard, kelahiran Amerika 14 Mei 1984, dan salah satu penggagas serta pemilik Facebook (FB) itu. Melalui FB itu juga aku memperoleh informasi tentang teman-teman lamaku masa bersekolah di kampungku, termasuk dirinya. Bertahun-tahun sudah kehilangan kontak dengan teman-teman. Di sanalah aku melihat betapa banyak temanku yang telah sukses dalam berkarier, baik di kampungku maupun di rantau orang.
“Aku agak terkejut ketika engkau menghubungiku,” ujarnya tiba-tiba. Suaranya terdengar agak keras beradu dengan berisiknya suara hujan dan bunyi-bunyi klakson mobil dan motor. “Semula aku tak mau mengangkat telepon karena mengira orang iseng. Tetapi, karena masuk beberapa kali telepon, akhirnya aku angkat juga,” lanjutnya. Aku hanya diam.
“Aku beberapa kali diteror orang via telepon,” katanya, tanpa kuminta, “engkau pernah?”
Aku menggeleng. “Orang hebat sih,” candaku.
Ia tersenyum-senyum saja. Untuk suatu keperluan dinas aku harus ke Jakarta. Melalui telepon di seberang ia mengatakan bahwa jika aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, ia akan menemuiku dan mengantarku ke Lapangan Monumen Nasional (Monas), salah satu tempat DAMRI menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soeta) berada di Ibu Kota Jakarta.
Kuberi tahu dia bahwa dulu ketika SMA aku naksir berat padanya. Kemudian, ia terkikik-kikik.
“Engkau sejak dulu rajin salat, “katanya. “Salatku ketika itu kacau balau.”
Aku diam saja mendengar pujiannya. Cuping hidungku agak naik sedikit karena pujian mantan idola.
“Jadi, aku merasa senang punya fan seorang ustaz.”
Aku jadi tidak tahan menahan tawa. Tawaku pun pecah.
“Mengapa engkau malas membalas surat-suratku,” tegasku kemudian.
Ia hanya tersenyum-senyum sembari memainkan matanya jenaka ke arahku, tetapi kemudian ia berkata, “Gayamu ketika itu kampungan sekali….”
Aku tersenyum-senyum dan garuk-garuk kepala.
“Ya, ‘kan?” desaknya. “Celanamu pun setengah tiang, menggantung di atas sepatu. Banjir juga tidak. Pakai kaca mata tebal pula.”
Aku hanya mampu nyengir kuda mendengar kisah masa laluku diungkit orang yang dulu pernah kudamba, bertepuk sebelah tangan tetapi. Tidak mungkin aku marah di depan pengusaha hebat ini. Lagi pula, ia tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa marah dengannya, sejak dulu.
“Kamu itu kebanyakan baca novel sih dulu, ya. Tenggelamnya Kapal van der Wijck Buya HAMKA atau Atheis Achdiat Kartamihardja atau Pada Sebuah Kapal Nh. Dini engkau lalap bagai makan pisang goreng. Bagaimana mata tidak minus,” katanya lagi. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum-senyum mendengar candanya. Ia memang banyak hapal judul novel atau roman karena dulu jika aku membaca suatu novel, hampir bisa dipastikan ia akan meminjamnya setelah kubaca. Rupanya ia masih mengingatnya.
“Masih sering baca novel juga sekarang?” tanyanya.
“Masih,” jawabku, “makin parah bahkan. Aku membaca Ernest Hemingway, William Faulkner, William Saroyan. Sekarang aku sedang kepincut sastrawan Orhan Pamuk.”
“Pemenang nobel sastra dari Turki itu, ya?”
“Ya jawabku. Sekarang aku sedang membaca The Kite Runner karya pengarang kelas dunia dokter dari Afganistan, Khaled Hosseini.”
“Ya aku tahu, The Kite Runner sudah difilmkan. Aku sudah nonton.”
“Engkau apa masih baca novel juga?”
“Sesekali. Tetapi, aku sudah khatam tetralogi novel Laskar Pelangi. Karya Asma Nadia juga pernah kubaca. Habiburrahman El Shirazy, Ayat-Ayat Cinta. Ahmad Fuadi juga. Negeri 5 Menara.”
“Mantap,” ujarku. “Kukira engkau tak lagi pernah menyentuh novel. Aku pun sudah tamat baca karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi itu.”
“Kalau baca novel, aku ingat kamu,” tegasnya, “tapi tak tahu di mana bisa menghubungimu.”
Aku terdiam dan terperanjat bukan buatan. Engkau masih mengingatku, batinku.
Pelahan malam mulai jatuh. Sesekali di langit kilat menyambar-nyambar, garis-garis cahaya menerangi sejenak udara yang lembab dan basah, menerangi Jakarta yang dihuni belukar beton. Hujan masih gagah berkuasa. Orang-orang menahan gigil yang mulai menusuk. Terpikir olehku, jika hujan berlangsung agak lama, Jakarta pun akan dilanda banjir. Jika banjir tiba, kasihan orang Jakarta. Rupa-rupanya beberapa kanal banjir, seperti BKT-Banjir Kanal Timur-masih merana dan tersiksa menampung dan menyalurkan air di perutnya. Lampu-lampu jalan telah dinyalakan. Lampu-lampu taman, toko, gedung, hotel, perkantoran, dan lain-lain juga mulai terang benderang. Jakarta pun bermandikan cahaya.
Mobil Honda HR-V putih yang dikendarainya pun tiba jua di bilangan Monas. Dari jauh tampak bus-bus DAMRI berderet di sekitar Stasiun Gambir itu. Ia berputar-putar mencari tempat parkir. Mobil-mobil agak padat di area parkir Stasiun Gambir itu.
“Maaf aku tak bisa mengantarmu ke Bandara Soeta,” ujarnya.
“Tidak apa-apa. Aku senang sekali kau mau mengantarku ke sini. Aku tahu engkau sebenarnya sibuk.”
“Tidak untukmu.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Ia tersenyum. Namun, kali ini kulihat senyumnya kelihatan merana. Di wajahnya kutangkap ada warna kepiluan, laksana menggantung suatu beban.
“Sampaikan salamku untuk istrimu….”
“Ya. Terima kasih. Sampaikan juga salam hangatku untuk suamimu.”
“Ia pastilah istri yang berbahagia bersamamu….”
“Insya Allah,” kataku. Namun, lalu serta merta aku tersentak dan tersadar, “Hei, ada apa denganmu?”
Aku menepuk bahunya, pelahan. Kulihat, bulir-bulir kecil air matanya meleleh di pipi putih bersihnya. Ia menangis. Aku terkejut. Sesekali ia membetulkan jilbabnya. Syalnya bergantung tidak beraturan. Ia memegang-megang ujung hidung bangirnya yang tiba-tiba menjadi basah oleh ingus.
“Kita masih tetap sahabat, ‘kan?” tanyanya, bagaikan sebuah pinta. Kata-katanya seperti merana, pilu.
“Ya,” ujarku, dengan anggukan yang keras, memastikan. “Hingga aku menutup mata. Hingga kita menghadap-Nya kelak.”
“Terima kasih….”
Ia menyeka air mata dan ingusnya dengan sapu tangannya. Kemudian, ia pun bercerita.
“Suamiku sebenarnya sedang di penjara….”. Ia lantas menyebut nama suaminya. Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Ia orang beken.
Dari dulu, ia sering berbagi cerita denganku. Ia bisa berterus terang kepadaku tentang berbagai hal walaupun sejatinya kami tidak berpacaran sama sekali.
Aku terhenyak. “Mohon maaf, …. Kasus apa?”
“Ia semula aktif di salah satu partai politik. Karena suatu persoalan ia dan beberapa temannya tersangkut kasus korupsi. Mereka dinyatakan bersalah dan kini masuk bui.”
Ia diam. Ia melihat keluar kaca depan mobil bagai menerawang jauh. Pandangannya seperti kosong.
“Aku sudah mengingatkannya agar jangan ikut partai politik. Bisnis saja. Bisnis kami pun sudah terbilang sukses. Manusia tak pernah puas ya. Benar kata Nabi, orang baru puas kalau sudah mati. Tetapi, ia tetap berkeras. Aku tak kuasa menahannya. Aku mencintainya dan aku tak sanggup melihatnya gundah jika aku menahannya. Doakanlah aku agar aku dan anak-anak kuat menjalani semua ini. Doakan pula agar suamiku cepat keluar.”
Aku mengangguk. “Ya, pasti,” ujarku.
“Aku serasa limbung menjalani perusahaan kami tanpa suamiku di sisiku. Aku menguat-nguatkan diri. Aku bersyukur engkau meneleponku dan kita bisa bertemu kembali, aku bisa berbagi beban denganmu.”
“Kuatkanlah dirimu. Aku dan keluargaku akan selalu berdoa untukmu. Banyak-banyaklah bertahajud.”
“Terima kasih….”
“Kalau engkau sumpek di Jakarta, kadang mudiklah ke kampung kita. Aku dan istriku akan menjemputmu.”
“Terima kasih, engkau baik sekali. Dari dulu engkau baik sekali padaku….”
Aku tersenyum.
“Selamat jalan,” ujarnya, “Sekali lagi, sampaikan salamku untuk istri dan anak-anakmu. Kapan-kapan ajaklah ia ke Jakarta, ke rumahku.”
Aku jadi terharu. “Terima kasih.”
Ia membuka pintu mobil, mempersilakanku, menyalamiku. Kulihat, air matanya kembali titik. Ia menyekanya dengan jempol kirinya. Aku tak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam dadanya. Ia melambaikan tangannya. Perlahan mobilnya menjauh. Gelap malam mulai paripurna. Jakarta pun kian deras diterpa hujan.
Bandara Soeta, Jakarta-Aceh, September 2017
* Muhammad Muis, adalah bahasawan, pencinta dan penikmat sastra, dan Kepala Balai Bahasa Aceh