Tahun 1637 harga tulip melesat sampai 6.000 florin (uang logam Inggris), sedangkan pendapatan per tahun masyarakat Holland sebesar 150 florin. Bisa kita asumsikan bahwa bunga tulip pada masa itu bernilai 40 kali lipat pendapatan masyarakat Holland. Bagaimana jika dikonversi dengan pendapatan minimun masyarakat Aceh, semisal Rp 2.800.000/bulan = Rp 33.600.000/tahun, maka harga tulip bisa menembus angka Rp 1.344.000.000. Fantastis bukan?
Sembilan tahun kemudian, tepatnya 1646 bunga tulip mengalami penurunan harga yang cukup drastis dan investor kehilangan uangnya. Rasional tidaknya keputusan membeli tulip dengan harga menembus angka miliaran, bisa dibuktikan dengan harga pasaran bunga tulip sekarang berkisar antara Rp 300 ribu sampai Rp 700 ribu saja.
Dunia pernah digemparkan dengan perdagangan batu giok Aceh. Memasuki 2013, anggapan batu giok bukan sekadar batu hiasan tangan, tetapi sangat bagus dikoleksi dan dijual kembali. Ketertarikan psikologis masyarakat Aceh terhadap giok rupanya mampu mempengaruhi pasar Nasional dan internasional. Sejak itu, Aceh dikenal memiliki batu giok kualitas super, bahkan banyak sekali giok Aceh diperdagangkan ke luar daerah setelah disulap ke pelbagai macam bentuk seperti cincin, gelang, kalung, gelas dan sebagainya.
Saya tidak ingin membahas lebih dalam tentang keunggulan giok Aceh dibanding giok daerah lain. Yang menjadi titik pengamatan saya, yaitu pergerakan harga giok di 2013 hingga capai puncaknya di 2015, benar-benar membuat semua orang kagum bagaimana giok pada saat itu bernilai jutaan rupiah jika dibanding sekarang harganya mungkin ratusan ribu saja.
Fenomena ini bisa disamakan dengan fenomena tulip di Amsterdam, Belanda. Memiliki masa perkenalan, ekspektasi masyarakat tentang harga lebih tinggi di masa depan. Penyebaran informasi tentang bagusnya mengoleksinya karena bisa dijual lebih mahal dan pada akhirnya harga tulip dan giok kembali pada harga yang wajar.
Sebenarnya fenomena speculative bubble ini sangatlah banyak, kita bisa menambahkan seperti yang terjadi pada perusahaan South Sea, perusahaan Missisipi abad ke-17, Wall Street 1921, German 1923, Housing Bubble 2013 di Amerika. Pertanyaan terbesar berikutnya akankah bitcoin bernasib sama?
Peristiwa tulip dan giok dan sederetan speculative bubble lainnya memang melibatkan pergolakan psikologis masyarakat, sehingga pertanyaan berapa harga yang layak diberikan kepada benda yang sedang diperdagangkan bukan berdasarkan pertimbangan satu faktor saja atau faktor penilaian intrinsic, tetapi melibatkan faktor lain yang lebih kurang sama halnya dengan yang terjadi pada bitcoin. Seperti saya paparkan di atas, kelima faktor yang menyebabkan harga bitcoin melonjak adalah faktor psikologi yang menopang harga bitcoin di pasar.
Dengan penopang yang begitu rapuh, yakinkah Anda bitcoin mania tidak akan berakhir, sama seperti tulip dan giok Aceh? Setelah mencapai satu titik tertinggi euforia masyarakat terhadap bitcoin, otomatis setelah itu harga bitcoin akan turun. Ada satu hadih Madja Aceh, tajak ube let tapak, taduek u bee let punggong. Jadi, jangan sampai karena alasan ingin kaya dalam waktu cepat mengorbankan rasionalitas berpikir dan masa depan Anda.
* Furqan, mahasiswa Prodi Perbankan Syariah IAI Almuslim, Paya Lipah, Aceh, aktif di Pasar Modal sebagai Tim Sosialisasi Galeri Investasi Paya Lipah, penikmat ekonomi dan kajian filsafat. Email: furqangus@gmail.com