Oleh Teuku Zulkhairi
KALAU kita berbicara tentang harapan akan lahirnya kejayaan, maka tentulah syarat mendasarnya adalah ilmu. Sebagai umat Islam dimana bagi kita syarat kembalinya kejayaan adalah dengan kita kembali ke jalan Islam secara totalitas (kaffah), maka membumikan ilmu tauhid, tasawuf dan fikih di masyarakat merupakan prasyarat paling mendasar ketika kita ingin meraih kejayaan. Maka di sinilah gerakan memasyarakatkan ilmu menjadi sebuah kebutuhan yang sangat esensial.
Oleh sebab itu, gagasan Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk H Hasanul Basry (Abu Mudi) yang melahirkan Majelis Tastafi (Tasawuf, Tauhid, dan Fikih) yang kini semakin mengakar kuat di masyarakat Aceh merupakan hal yang patut diapresiasi setinggi-tingginya. Tidak mudah membuat masyarakat tertarik kepada ilmu, apalagi ilmu tasawuf, tauhid dan fikih yang mencakupi seluruh persoalan Islam dan kaum muslimin, mencakup persoalan dunia dan akhirat sekaligus.
Kini, di berbagai tempat, setiap kali pengajian Tastafi digelar dan diasuh oleh para ulama, kita akan melihat antusiasme masyarakat menyambutnya. Masyarakat berduyun-duyun memenuhi setiap sudut lapangan dan ruangan di mana pengajian ini diselenggarakan. Selain Tastafi, sebenarnya juga ada pengajian serupa lainnya seperti Sirul Mubtadin, Majlis Ta’lim Asy-Syifa dan lain-lainnya yang memiliki magnet kuat menarik jamaah dalam jumlah besar. Namun, pengajian-pengajian tersebut memiliki kesamaan dengan Tastafi dalam muatan materi dan para tokoh-tokohnya.
Pada intinya, dalam pengajian-pengajian tersebut, masyarakat akan menyimak ulasan berbagai macam persoalan yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan untuk mengarungi kehidupan dunia dan meraih kebahagian di negeri akhirat. Selain diasuh Abu Mudi, pengajian Tastafi sebagai organisasi, tentunya juga diisi para ulama lainnya, seperti Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop Jeunieb) yang sangat digandrungi masyarakat, Tgk H Sirajuddin Hanafi Matangkuli, Tgk Abubakar Usman (Abon Buni), Abu Ishak Lamkawe, Waled Nu, dan banyak lainnya. Namun pengajian yang memiliki muatan tasawuf, tauhid dan fikih, tentu saja diajarkan oleh semua ulama di Aceh dan para santrinya.
Pentingnya Tastafi
Kalau Islam ditamsilkan sebagai sebuah bangunan, maka tauhid adalah fondasinya. Fiqh atau syariah sebagai tiangnya, dan akhlak atau tasawuf sebagai atapnya. Bahasan keilmuan tauhid berkaitan dengan cara kita mengenal Allah Swt, Zat Maha Agung yang kita sembah minimal lima kali sehari semalam kehidupan kita. Bahasannya meliputi sifat-sifat yang wajib pada hak Allah, yang mustahil dan seterusnya yang dengan itu diharapkan kita semakin mengenal Allah Swt. Pemahaman tauhid seorang muslim akan mengubahnya menjadi pribadi yang transformatif, satu pribadi yang akan selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. sehingga dalam kehidupannya ia akan memberikan manfaat bagi sesama manusia.
Bagaimanapun, seseorang yang mengenal Allah Swt, pastilah ia akan menjadi seorang muslim yang baik. Dengan mengenal Allah sebagaimana diajarkan dalam ilmu tauhid, maka ia akan mengenal dirinya sendiri yang lemah. Tidak memiliki apa pun di dunia ini, kecuali semuanya adalah milik Allah, sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah Swt dengan sesuatu apapun. Dengan pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran semacam itu, tentulah akan membentuk tatanan masyarakat ideal yang dicita-citakan Islam.
Jika ilmu tauhid membahas tentang Zat Allah Swt yang menjadi fondasi bangunan keislaman seorang muslim, maka bahasan tentang fiqh meliputi tiang-tiang Islam yang diawali dari perihal thaharah (bersuci), ibadah (shalat, puasa dan sebagainya), jinayat (hukum pidana), hudud, munakahat (pernikahan), mu’amalat (interaksi dengan sesama manusia seperti jual beli, simpan pinjam, utang, perkongsian) dan seterusnya. Pada intinya, pembahasan tentang fikih ini akan memberikan panduan yang jelas kepada seorang muslim untuk bagaimana mereka melalui hari-harinya di dunia berdasarkan petunjuk Islam.
Sungguh, Islam mengatur seluruh sendi kehidupan, dari masalah yang paling kecil sampai masalah yang paling besar. Dan, seorang muslim yang menguasai keilmuan fikih Islam maka ia akan melalui kehidupan dunia dengan kemudahan-kemudahan dan keutamaan-keutamaan. Misalnya seperti ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari).
Juga banyak ayat-ayat yang menjelaskan keutamaan orang-orang berilmu, misalnya firman Allah dalam Alquran, “Allah Swt akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah: 11).
Jika keilmuan fikh membahas tentang “tiang-tiang Islam”, maka materi pengajian tentang tasawuf berkaitan dengan sifat-sifat buruk yang mesti dibuang dari diri kita, seperti buruk sangka, iri dengki, sombong, takabur, syirik, dan seterusnya. Dan dalam pengajian tasawuf juga dibahas sifat-sifat baik yang mesti kita miliki seperti sabar, ikhlas, merasa cukup apa adanya, tidak cinta dunia, zuhud, syukur dan seterusnya.
Sungguh, adalah hal yang begitu urgen masyarakat mempelajari ilmu tasawuf, bukan? Bayangkan apa yang akan terjadi jika kita dan masyarakat kita tidak memiliki sifat-sifat baik tersebut? Bayangkan pula apa yang akan terjadi jika kita tidak dan membuang sifat-sifat buruk tersebut? Tentulah akan terjadi berbagai kerusakan dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada intinya, ilmu tasawuf akan merubah seorang muslim menjadi muslim yang baik yang dicita-citakan oleh Islam.
Bangunan besar Islam
Jadi, belajar ilmu tauhid, tasawuf, dan fikih adalah mempelajari struktur “bangunan besar Islam” yang tidak bisa dipisahkan antara satu dimensi dengan dimensi lainnnya. Saling membutuhkan. Dan itulah yang disebut berislam secara kaffah. Jadi, mengkaji Tastafi adalah mengkaji universalitas ajaran Islam. Mengkaji luasnya ajaran Islam yang aturannya meliputi seluruh sendi kehidupan, dimana implementasinya insya Allah akan memberikan kebahagiaan kepada seorang muslim, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh sebab itu, kita patut bersyukur sekali atas semakin kuatnya arus gerakan keilmuan Tastafi di masyarakat Aceh saat ini. Sebab, bagaimana kita akan berbicara kebangkitan Islam, jika bangunan keilmuan Islam belum mengakar kuat di masyarakat muslim?
Ketiadaan ilmu akan menghasilkan kebodohan dalam memahami agama, dan kebodohan akan memperpanjang kehancuran dan memperluas kerusakan. Maka kita berharap Majelis Pengajian Tastafi yang diketuai oleh Tgk H Muhammad Amin (Ayah Cot Trueng) dan jajaran pengurus lainnya dan telah dilantik di halaman Masjid Raya Baiturrahman oleh Abu Mudi pada 17 April 2018) lalu ke depan akan semakin memperkuat gerakan keilmuan Islam.