AKTOR Teuku Rifnu Wikana angkat bicara terkait keberadaan bioskop di Aceh. Pelaku seni peran ini memandang, bioskop tak akan menjadi penghalang buat para filmmaker dalam berkarya. Pasalnya, dengan kehadiran teknologi, apresiasi bisa datang dari mana saja.
“Sekarang itu bioskop bukan lagi menjadi tolok ukur. Ada bermacam cara sekarang ini kalau kita bikin karya yang bener. Sekarang yang penting bikin karya yang bagus, coba ajukan, Banyak aplikasi yang mau beli karya kita tanpa harus ke bioskop,” beber Teuku Rifnu saat bertandang ke Redaksi Serambi Indonesia, di Meunasah Manyang, Ingin Jaya, Aceh Besar, Selasa (8/5).
Pemeran Suripto dalam film Dia Adalah Dilanku 1990 ini diundang Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) ke Aceh yang notabene adalah kampung halamannya untuk menjadi pemateri. Workshop yang mengangkat tema ‘Pencegahan paham radikalisme melalui menjadi Indonesia’ ditujukan kepada para pelajar SMA se-Kota Banda Aceh. Workshop yang dirangkai dengan lomba film pendek tersebut diadakan se-Indonesia.
“Coba kita melihat sejarah kita lagi, karena saya pernah beri workshop anak-anak muda itu nggak tahu tokoh-tokoh pahlawannya kayak Malahayati. Orang-orang di dunia aja mengakui itu, kenapa kita melupakan?” kata aktor berdarah Aceh itu.
“Nah! Pengalaman-pengalaman yang diberikan, yang didapat orang-orang Aceh, baik itu konflik berkepanjangan, bencana, dan lain-lain itu membuat berbeda dengan manusia-manusia Indonesia lainnya,” tambah pria kelahiran Pematang Siantar, 3 Agustus 1980 tersebut.
Menurut aktor yang memulai debutnya sejak 2004 ini, hal tersebut merupakan modal besar. Karakteristik orang Aceh yang tangguh menjadi pijakan yang kuat. Kalau lewat seni dan budaya anak-anak muda Aceh bisa muncul, ia optimis mereka akan mengambil bagian di pentas nasional.
“Cara terbaik untuk menjadi filmmaker yang bagus bikin karya terus, pokoknya aku sebagai asli dari sini berharap ada regenarasi di film baik di aktor, sutradara, produser, dan lain-lain. Kita bisa ngobrol, bisa saling berbagi kapan pun waktu yang tepat. Seandainya saya pun ke sini lagi, membawa kawan-kawan sineas ke Aceh,” imbuh aktor yang populer lewat film Laskar Pelangi itu.
Ia menambahkan, film adalah sarana komunikasi paling baik dalam masyarakat. Dirinya mencontohkan, Amerika Serikat menggunakan kekuatan film, setelah kekuatan senjata dalam ideologi politiknya. Tinggal lagi, hal itu berpulang kepada niat si filmmaker itu sendiri. Kita tunggu saja. (nurul hayati)