BPBA Pugar Jejak Tsunami 7.400 Tahun

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PESERTA Rakor Pelestarian Guha Ek Luntie dipimpin Kalak BPBA, Teuku Ahmad Dadek foto bersama di mulut gua yang menyimpan jejak tsunami purba di Gampong Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Senin (28/5).

BANDA ACEH - Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mengoordinasikan satu upaya unhtuk melestarikan jejak tsunami purba yang tersimpan dalam Guha Ek Luntie (gua kotoran kelelawar) di Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut penelitian yang dilakukan pada 2010, endapan pasir dan kotoran kelelawar di dalam gua ini telah berhasil mengungkap bahwa Aceh telah menjadi langganan tsunami sejak 7.400 tahun lalu dan terus berulang hingga bencana dahsyat 2004.

Rapat koordinasi lintas sektor untuk pelestarian Guha Ek Luntie berlangsung di Kantor BPBA di Banda Aceh, Senin (28/5) dihadiri sekitar 50 orang, antara lain dari unsur Pemkab Aceh Besar, Dinas ESDM Aceh, BMKG, tim peneliti TDMRC Unsyiah, BPBD Aceh Besar, BPN, Forum PRB, RAPI, Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Camat Lhoong, Keuchik Meunasah Lhok, dan wartawan dari sejumlah media.

Kalak BPBA, Teuku Ahmad Dadek mengatakan, penemuan gua endapan tsunami di Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar sangat penting untuk memperkaya kajian tsunami sehingga perlu didorong untuk pelestariannya. “Aceh menjadi tempat paling bagus untuk pembelajaran tsunami,dan menjadi laboratorium untuk memperkuat pencegahan dan kesiapsiagaan bencana di masyarakat. BPBA akan menganggarkan dana untuk mendorong ini di RKA 2019,” kata Dadek.

Dikatakan Dadek, BPBA telah menginisiasi agar gua purba tsunami ini bisa menjadi situs sejarah tsunami. Pihaknya juga menyurati Bupati Aceh Besar dan memberikan telaah kepada Gubernur Aceh untuk menginstruksikan kepada Pemkab Aceh Besar segera membereskan kepemilikan lahan di sekitar gua. “Kami memberikan telaah kepada Bupati Aceh Besar agar mengeluarkan SK penetapan kawasan dan melalukan pembebasan lahan,” ujar Kalak BPBA.

Teuku Dadek juga berharap nantinya gua tsunami purba ini selain menjadi sarana edukasi juga objek wisata. Akan diwujudkan Geopark untuk pelestarian gua ini. Namun yang lebih penting lagi, katanya adalah memperkuat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. “BPBA akan siapkan uang untuk DED pembangunan Geopark-nya yang akan dilakukan okeh TDMRC. Sistem pengelolaannya juga harus kita pikirkan. Teknisnya akan dibicarakan kemudian,” ujar Dadek mengakhiri pertemuan.

Asisten II Setdakab Aceh Besar mengatakan terkait keberadaan Guha Ek Luntie itu sebelumnya Pemkab Aceh Besar telah berupaya agar ada anggaran untuk melestarikannya. “Rapat koordinasi hari ini telah memberikan banyak pengetahuan dan masukan. Hasil rapat ini akan kami sampaikan ke pimpinan untuk tindaklanjutnya,” kata Ali.

Di pesisir Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, tepatnya di Gampong Meunasah Lhok—berjarak sekitar 48 kilometer arah barat Banda Aceh—ada satu gua di tebing gunung yang tak jauh dari bibir pantai, yang oleh masyarakat setempat dinamakan Guha Ek Luntie.

Dinamakan Guha Ek Luntie bisa jadi karena secara turun temurun guha (gua) tersebut dikenal sebagai tempat bersarangnya luntie (kelelawar) dan masyarakat setempat memanfaatkan kotoran (ek) kelelawar yang jatuh ke hamparan pasir di dalam gua sebagai pupuk tanaman.

Pascatsunami 2004, Guha Ek Luntie yang sebelumnya hanya dikenal sebatas sarang kelelawar dan tempat masyarakat mengumpulkan kotorannya menjadi pupuk, berubah menjadi objek penelitian.

Peneliti dari Unsyiah Banda Aceh, Nazli Ismail mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan pihaknya di Guha Ek Luntie terungkap bahwa bencana tsunami yang menghancurkan Aceh pada 2004 bukan yang pertama, bahkan bencana dahsyat itu sudah terjadi sejak 7.400 tahun lalu. “Jejak tsunami purba itu ditemukan di Guha Ek Luntie,” kata Nazli ketika menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Pelestarian Guha Ek Luntie yang dilaksanakan BPBA, Senin, 28 Mei 2018.

Nazli didampingi Direktur TDMRC Unsyiah memaparkan hasil penelitian lembaganya mengenai gua tsunami purba tersebut. Pihkanya telah melalukan penggalian untuk melihat sejarah tsunami mulai dari 7400 tahun lalu hingga kejadian 2004. Di dalam gua tersebut terdapat endapan-endapan tanah yang berasal dari gelombang tsunami dan kotoran kelelawar. “Inilah yang kemudian mengungkap misteri bahwa tsunami 2004 bukan bencana pertama di Aceh tapi sudah terjadi sejak 7.400 tahun lalu,” demikian Nazli Ismail. (nas)

Berita Terkini