SERAMBINEWS.COM – Sebuah fenomena alam yang berkaitan dengan ibadah, akan kembali terjadi pada, Sabtu (28/7/2018).
Sesuai pengkajian ilmu falak, gerhana bulan total terlama abad ini akan terjadi pada Sabtu (28/7/2018), mulai pukul 01.25-05.19 WIB.
Bila saat itu cuaca langit cerah, masyarakat Aceh akan bisa melihat gerhana bulan terakhir pada tahun ini dari awal hingga selesai dengan lama waktu tiga jam 54 menit atau hampir 4 jam.
Dengan demikian, dipastikan Aceh akan menjadi lokasi terbaik untuk pengamatan gerhana tersebut dibanding wilayah lain di Indonesia.
(Baca: Gerhana Bulan Total akan Terlihat di Langit Aceh Hampir 4 Jam)
(Baca: Gerhana Bulan Terlama Abad ini, Kemenag Aceh Siapkan 8 Teleskop, Ini Jadwal dan Lokasi Pemantauan)
Secara ilmu pengetahuan (sains) gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain.
Dikutip dari Wikipedia.org, istilah gerhana umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di antara Bumi dan Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi.
Namun, gerhana juga terjadi pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya pada planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.
Khusus bagi umat Islam, gerhana tidak hanya sekedar fenomena alam biasa. Tapi ada perintah beribadah saat peristiwa ini terjadi.
Bagi umat muslim yang mengetahui atau melihat terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka disunnahkan untuk melakukan salat Khusuf atau Kusuf (shalat gerhana).
Berdasarkan literatur, Islam adalah satu-satunya agama yang menganjurkan umatnya melaksanakan ibadah (shalat) saat gerhana terjadi.
Baca: Jangan Cuma Selfie & Fotografi, Ini 9 Amalan Berpahala Besar Saat Gerhana Bulan Total Sabtu 28 Juli
(Baca: 28 Juli Akan Terjadi Gerhana Bulan Total, Ini 9 Amalan yang Dianjurkan untuk Dilakukan saat Gerhana)
Bagaimana ceritanya sehingga umat muslim punya ritual keagamaan khusus saat gerhana?
Direktur Dayah/Pesantren Baitul Arqam Sibreh, Aceh Besar, Syech Zul Anshary Lc, mengatakan, perintah shalat gerhana bermula dari kebiasaan orang Arab yang mengait-ngaitkan gerhana dengan kematian orang penting.
Berdasarkan penelusuran, kata Syech Zul, peristiwa gerhana yang menjadi awal mula lahirnya perintah shalat yang masuk kategori sunat muakkad (sunat yang dikuatkan) ini, terjadi pada 29 Syawal 10 Hijriah atau 27 Januari 632 Masehi.
Kala itu, terjadi gerhana matahari cincin yang bisa disaksikan oleh warga bagian utara, jazirah Arab, dan India.
Secara kebetulan, pada hari yang sama, putra Nabi Muhammad SAW yang bernama Ibrahim bin Muhammad wafat dalam usia 16 tahun.
Orang Arab yang sejak masa pra-Islam percaya gerhana merupakan pertanda adanya kematian tokoh penting, lantas langsung mengaitkan gerhana matahari cincin itu dengan kematian putra Nabi.
Mengetahui hal tersebut, Nabi Muhammad SAW mengatakan gerhana sama sekali tak terkait dengan kematian putranya, tetapi merupakan wujud kekuasaan Allah SWT.
Saat gerhana matahari itu terjadi, Rasulullah menyerukan kepada kaum muslimin untuk bersegera melaksanakan bertakbir, shalat, berzikir, dan berdoa kepada Allah. (Lihat, Niat dan Tatacara Shalat Gerhana).
“Prosesi gerhana ini diakhiri dengan khutbah yang salah satu isi terpentingnya adalah mengingat kebesaran Allah dan menganjurkan kaum muslimin untuk bersedekah,” ujar Zul Anshary.
Perintah shalat gerhana ini tersurat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
"Matahari dan bulan adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Terjadinya gerhana bukan karena kematian atau kehidupan seseorang. Maka, bila melihatnya berzikirlah kepada Allah SWT dengan mengerjakan shalat."
Selain hadits yang sudah muktabar tersebut, kata Zul Anshary, ada beberapa riwayat hadits lain yang menceritakan secara detil tentang peristiwa gerhana matahari yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, sehingga keluarnya perintah Shalat Khusuf.
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah r.a. (istri Nabi Muhammad SAW).
Berikut terjemahannya;
“Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW pun keluar menuju masjid dan berdiri lantas bertakbir (menunaikan shalat), sehingga orang-orang pun ikut membentuk shaf di belakangnya.
Lalu Rasulullah SAW membaca dengan bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku dengan ruku’ yang panjang.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya membaca: ‘sami’alloohuliman hamidah Rabbanaa wa lakalhamdu (Allah Maha Mendengar siapa saja yang memuji-Nya).’
Kemudian beliau berdiri dan membaca dengan bacaan yang panjang, namun lebih pendek dari bacaan yang pertama.
Setelah itu, beliau bertakbir lalu ruku’ dengan ruku’ yang panjang, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama.
Setelah itu, beliau membaca: “sami’alloohu liman hamidah Rabbanaa wa lakalhamdu.”
Kemudian Beliau sujud.
Kemudian pada raka’at berikutnya, beliau berbuat seperti itu hingga sempurnalah shalatnya terdiri dari empat ruku’ dan empat sujud.
Sesudah itu, matahari pun kembali bersinar.
Sebelum beliau beranjak bubar, Beliau kemudian berdiri dan menyampaikan khutbah kepada orang banyak. Beliau memuji Allah dengan pujian yang hak atas-Nya, kemudian beliau bersabda:
‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) dari ayat-ayat Allah. Tidaklah terjadi gerhana pada keduanya karena kematian atau pun kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, bersegeralah untuk melaksanakan shalat.’
Dan Beliau juga bersabda: “Maka shalatlah kalian hingga Allah menampakkannya kembali pada kalian.”
Dan Rasulullah SAW juga bersabda: “Aku telah melihat di tempatku berdiri ini, yaitu segala sesuatu yang dijanjikan kepada kalian. Bahkan aku melihat diriku ingin memetik buah dari Jannah, yakni saat kalian melihatku maju.” (HR. Muslim)
Hadits dengan bunyi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Bedanya, hadits ini lebih detil dalam menceritakan isi khutbah Rasulullah SAW.
Berikut terjemahannya.
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW. Rasulullah SAW lalu mendirikan shalat bersama orang banyak.
Beliau berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya, kemudian ruku’ dengan memanjangkan ruku’nya, kemudian berdiri dengan memanjangkan lama berdirinya, namun tidak selama yang pertama.
Kemudian beliau ruku’ dan memanjangkan lama ruku’nya, namun tidak selama ruku’nya yang pertama.
Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama.
Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali.
Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya, lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.”
Kemudian beliau meneruskan sabdanya: “Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, tidak ada yang melebihi kecemburuan Allah kecuali saat Dia melihat hamba laki-laki atau hamba perempuan-Nya berzina. Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.”(HR. Bukhari)