OLEH KHAIRUL HASNI, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Almuslim Peusangan, Bireuen, sedang menempuh Program Doktor Hubungan Internasional di Ritsumeikan University Kyoto, melaporkan dari Jepang
BERADA di Jepang, bukan impian saya sebelumnya, tapi dikarenakan banyak informasi dan jaringan maka ketertarikan terhadap Jepang pun muncul. Apalagi untuk tujuan menuntut ilmu. Saya mulai belajar di Jepang tahun 2005, diawali dengan sekolah bahasa Jepang di Shizouka. Kemudian, saya pindah ke Kyoto untuk melanjutkan S2 di Ritsumeikan University dan selesai tahun 2009, lalu pulang ke Aceh mengabdi sebagai dosen di Universitas Almuslim, Bireuen.
Tahun 2016 saya kembali melanjutkan S3 di kampus yang sama. Mengapa Jepang pilihan saya dan tidak mencoba negara lain? Ada sebagian orang berkomentar seperti itu, lalu saya jawab karena sudah ada rasa ketertarikan, merasakan manfaat, dan sudah mengenal lebih dekat budaya, bahasa, dan peraturan di Jepang maka saya pikir negara ini “wajib” saya pilih lagi untuk studi S3.
Alasan lainnya adalah di tengah kesibukan belajar di sini saya masih bisa melakukan kegiatan lain yang sangat bermanfaat bagi diri saya, juga nantinya berdampak bagi lingkungan saya di Aceh.
Untuk hidup nyaman di Jepang, kita seharusnya mahir berbahasa Jepang sehingga lebih berpeluang terlibat intens dalam kegiatan lain di luar kampus. Selain itu, akan memudahkan kita mencari part time job atau “arubaito” sesuai keinginan kita. Saat ini saya tertarik menjadi volunteer (relawan), di samping menjadi narasumber dan Teaching Assistance (TA) di lingkungan Kyoto. Ketiga kegiatan ini saya lakukan di jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMK.
Saya tertarik belajar sistem pendidikan, sebagai landasan untuk menemukan bakat siswa dalam proses belajar pertama di bangku sekolah dasar. Selain itu, saya terobsesi menghasilkan sebuah tulisan yang kelak bisa dipakai sebagai referensi bagi sekolah dan guru-guru di Kyoto maupun di Aceh.
Sebuah organisasi yang sangat membantu kegiatan masyarakat dan orang asing di Kyoto adalah Kyoto International Community House atau Kokoka ( ). Dibuka pada tahun 1989, lembaga ini menyediakan ruang untuk interaksi dan komunikasi lintas budaya antarwarga Kota Kyoto dan orang-orang asing maupun dengan mahasiswa.
Melalui lembaga ini saya menjadi volunteer di sekolah-sekolah dan menjadi narasumber, memberikan presentasi tentang budaya dan pendidikan di Indonesia.
Berikut uraian kegiatan saya di Kyoto, di samping tugas utama untuk studi doktoral. Pertama, saya ikut dalam kegiatan dan menjadi support volunteer. Mengapa program volunteer untuk sekolah-sekolah menjadi program lembaga Kokoka? Karena, pada tahun 2018 mahasiswa Indonesia yang belajar terus bertambah dan mereka membawa keluarganya selama proses belajar. Anak-anak Indonesia yang baru memulai proses belajar dan masih belum menguasai bahasa Jepang, bisa mendapatkan pelayanan seperti yang saya lakukan; mendampingi dan memberikan semangat dalam satu semester, dan diharapkan mereka dapat mandiri meski belum sepenuhnya.
Kegiatan support volunteer ini sangat bermanfaat khususnya bagi saya sendiri, karena dapat mempelajari sistem dan proses belajar di sekolah-sekolah Jepang, termasuk mekanisme dan peraturan dalam proses belajar di tingkat SD hinga SMA. Saya belajar banyak dari kegiatan ini. Di SD, misalnya, mereka lebih banyak belajar tentang latihan-latihan dalam menyelesaikan soal dan juga tugas kelompok. Hal ini membuat siswa mengerti tentang lingkungan di sekeliling dan kreativitas menggunakan barang bekas untuk membuat ide-ide baru sesuai dengan bakat masing-masing siswa.
Mereka juga sudah diajarkan bagaimana menulis apa yang mereka suka dan melakukan presentasi di depan kelas. Selain itu, bila siswa yang tertingggal dalam satu pelajaran, mereka akan mendapatkan pelajaran tambahan. Khusus di SD anak-anak berlatih untuk menguasai empat keterampilan dasar, yakni berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Ini hampir setiap hari mereka lakukan.
Kegiatan belajar siswa tidak hanya di dalam ruangan. Tiap semester mereka lakukan kegiatan visit ke tempat bersejarah, lahan pertanian, perkebunan, dan transportasi publik. Saya pernah ikut kegiatan wawancara anak-anak dengan pemilik toko roti sebagai narasumbernya. Setelah itu grup mempresentasikannya di depan kelas. Dalam proses belajar guru sangat sabar dan membantu untuk memberikan bimbingan secara terus-menerus.
Sistem yang dibangun berfokus kepada pendidikan moral dan kepribadian yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, bukan pada teori. Kebiasaan anak-anak kalau sudah mengerjakan tugas di kelas, mereka boleh membaca buku cerita yang tersedia di belakang meja siswa. Buku-buku cerita pun terus diganti-ganti oleh guru kelas. Setiap siswa juga bertanggung jawab mengembalikan buku pustaka sekolah yang ia pinjam.
Setiap sekolah mempunyai bangunan yang sama dengan perlengkapan yang sangat lengkap, mulai dari gedung olahraga, lapangan, kolam renang, ruang indoor stadium, ruang musik, ruang melukis, ruang komputer, dan perpustakaan dengan standar yang sama.
Di sekolah-sekolah Jepang tidak kita jumpai cleaning service, karena siswa bertugas membersihkan ruangan sekolah sesuai dengan jadwal yang digilir setiap bulannya. Di luar pagar sekolah tidak ada penjual apa pun dan pintu pagar terkunci. Anak didik tidak diperbolehkan makan apa pun dalam lingkungan sekolah. Hanya air minum yang diperbolehkan untuk dibawa ke ruang kelas.
Untuk makan siang, sejumlah siswa yang ditugaskan tampak cekatan melayani teman-temannya. Bulan berikutnya, siswa yang lain lagi ditugaskan untuk melayani makan siang teman-temannya. Mereka makan bersama, sedangkan makanannya disiapkan oleh tukang masak di sekolah, sesuai dengan persyaratan gizi. Guru dan siswa mendapat jatah makanan siang setiap hari, sedangkan jadwal sekolah selesai pada pukul 16.00 sore.