Wali Nanggroe tak Lagi Diperlukan

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

* Pendapat Ghazali Abbas Adan

JAKARTA - Senator Aceh, Drs Ghazali Abbas Adan menyatakan, Lembaga Wali Nanggroe (LWN) tak lagi diperlukan, setelah berpulangnya ke rahmatullah, Almukarram Dr Tgk Hasan Muhamamd di Tiro pada 3 Juni 2010 di Banda Aceh.

Hal itu disampaikan Ghazali Abbas Adan di Jakara, Selasa (13/11), menyusul berkembangnya wacana tentang akan berakhirnya masa jabatan Wali Nanggroe yang saat ini diemban Tengku Malik Mahmud Al-Haythar, mantan perdana menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Menurut Ghazali Abbas, adanya Lembaga Wali Nanggroe merupakan semangat kebatinan dalam rangka memberi tempat terhormat kepada Almukarram Dr Tgk Hasan Tiro sebagai lanjutan pengabdiannya kepada rakyat Aceh yang ia cintai. “Karena memang beliaulah yang paling mustahak memangku jabatan itu dan dari sisi apa pun memenuhi syarat menempati maqam ini,” ujar Ghazali Abbas Adan.

Namun, kata Ghazali, sejak berpulangnya Teungku Hasan Tiro delapan tahun lalu maka dengan sendirinya gugurlah semangat kebatinan itu. “Artinya, Lembaga Wali Nanggroe itu tidaklah penting dan tidak diperlukan lagi. Terutama karena, sebagaimana faktanya selama ini lembaga tersebut tidak memberi nilai tambah apa pun terhadap citra dan bobot daerah dan rakyat Aceh, kecuali menguras anggaran, misterius, dan tak ada pertanggungjawaban yang jelas serta transparan ke mana saja anggaran itu dipergunanakan serta apa manfaatnya bagi rakyat Aceh,” gugat Ghazali Abbas.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, menurut Ghazali Abbas, maka sebaiknya dihentikan saja berwacana tentang kelanjutan dan orang yang akan mengisi lembaga itu pada periode kedua.

“Dengan demikian, anggarannya bisa dialihkan dan alokasikan kepada hal-hal yang menjadi prioritas pembangunan menuju Aceh Hebat sebagaimana dicanangkan oleh Pemerintah Aceh saat ini,” demikian Ghazali Abbas Adan.

Wacana tentang Wali Nanggroe belakangan ini menghangat karena masa jabatan Malik Mahmud Al-Haythar selaku Wali Nanggroe Aceh perdana akan berakhir pada 16 Desember 2018. Akan ada pemilihan Wali Nanggroe baru bulan depan, namun beberapa sumber menyebutkan, Tengku Malik Mahmud juga akan maju lagi.

Semula, berdasarkan Qanun Nomor 8 Tahun 2012 DPRA dan Gubernur Aceh menyepakati masa jabatan Wali Nanggroe lamanya tujuh tahun. Kemudian pada tahun 2013 ditetapkan lagi Qanun tentang Lembaga Wali Nanggroe setelah mendapat koreksi dari Mendagri. Lahirlah Qanun Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 8 Tahun 2012. Di antara klausul yang dikoreksi Mendagari adalah pasal tentang masa jabatan Wali Nanggroe, dari delapan dipangkas menjadi lima tahun. Itu sebab, pada akhir tahun ini masa jabatan Malik Mahmud berakhir dan akan ada pemilihan Wali Nanggroe baru.

Sementara itu, Pakar Hukum dan Pengamat Politik Aceh, Mawardi Ismail SH MHum, mengatakan, publik sangat kecewa dengan Lembaga Wali Nanggroe (WN). Menurutnya, kekecewaan itu sangat jelas karena selama lima tahun menjabat, Wali Nanggroe tak berperan apa-apa dan tidak menyelesaikan masalah apapun yang sesuai tupoksinya.

“Pada awal lahirnya Lembaga Wali Nanggroe, publik menaruh harapan besar. Pertama, lembaga itu bisa jadi pemersatu dan mampu menyelesaikan berbagai masalah ketika melalui jalur formal sudah tidak mampu diselesaikan. Tapi, kenyataannya lembaga itu sama sekali tidak melakukan apa-apa,” ujar Mawardi saat menjadi narasumber eksternal pada Program Cakrawala berjudul ‘Diperbincangkan, Kiprah Lembaga Wali Nanggroe’ di Serambi FM, Selasa (13/11) pagi. Acara yang dipandu host Vea Artega juga menghadirkan narasumber eksternal Waredpel Serambi Indonesia, M Nasir Nurdin.

Karena itu, lanjut Mawardi, sudah tiba saatnya untuk ditinjau kembali dan ditetapkan siapa kira-kira yang pantas dipilih wali nanggroe ke depan. Sehingga kekecewaan publik yang terjadi selam ini dapat tertutupi. “Kita juga berharap Wali Nanggroe ke depan betul-betul dapat memposisikan diri sebagai orang tua dan pemersatu serta jangan sampai terulang seperti pada pemilihan Gubernur lalu dimana Wali Nanggroe jelas-jelas berpihak kepada salah satu calon,” ungkap Mawardi.

Sikap tersebut, menurut Mawardi, jelas merupakan tindakan konyol dan itu tidak boleh terjadi lagi pada WN yang mungkin akan dipilih kembali ke depan. “Wali Nanggroe yang diharapkan adalah sebagai orang tua dan pemersatu. Sebab, kiprah Wali Nanggroe jelas diatur dalam UUPA yang isinya menyatakan Lembaga Wali Nanggroe adalah figur pemersatu yang menjalankan fungsi-fungsi adat,” tandas Mawardi.

Dikatakan, ketika Wali Nanggroe dengan sungguh-sungguh menjalankan fungsi adat serta menyelesaikan berbagai masalah pemerintahan dan politik secara pendekatan adat, maka kewibawaan dan rasa hormat rakyat Aceh kepada Wali Nanggroe menjadi lebih tinggi.

“Tapi, ketika ia masuk dalam politik praktis dan tidak menjalankan tupoksinya, bisa kita katakan peran sebagai Wali Nanggroe gagal. Seperti saat terjadi konflik antara DPRA dengan eksekutif, apa yang dilakukan Wali Nanggroe? Publik melihat, Wali Nanggroe tidak melakukan apa-apa,” tegasnya.

Halaman
12

Berita Terkini