Mahasiswa dan Pemuda Aceh di Yogyakarta Gelar Aksi Mengenang 20 Tahun Tragedi Simpang KKA
SERAMBINEWS.COM – Puluhan mahasiswa dan pemuda Aceh yang tergabung dalam Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) menggelar aksi mengenang 20 tahun tragedi Simpang KKA.
Aksi memorial ini berlangsung di Kilometer 0 Yogyakarta, Jumat (3/5/2019) sore.
Sekretaris Jenderal KMPAN, Fadhli Espece, dalam siaran pers kepada Serambinews.com, mengatakan, aksi ini dilakukan untuk mengenang tragedi kemanusiaan yang terjadi di kawasan Simpang KKA, Aceh Utara, 3 Mei 1999, atau 20 tahun lalu.
“Sudah 20 tahun, Tragedi Simpang KKA berlalu begitu saja, itulah sejarah kelam berdarah dimana masyarakat sipil Aceh dibredel dengan timah panas negara tanpa ampun melalui tangan aparat TNI satuan Detasmen Rudal 001/Blang Rungkom. Komnas HAM telah memutuskan Tragedi Simpang KAA yang terjadi pada 3 Mei 1999 sebagai aksi pelanggaran HAM,” tulis Fadhli Espece.
Menurut dia, Komnas HAM juga meminta Kejagung untuk mengusut tuntas tragedi yang mengakibatkan 46 orang terbunuh, termasuk seorang anak berusia 7 tahun, 156 orang luka-luka, dan 10 orang hilang.
“Sampai saat ini, tragedi yang telah mengorbankan ratusan masyarakat sipil tak bersalah ini tak kunjung diselesaikan. Proses pengungkapan dan pengusutan para pelakunya masih saja simpang siur. Negara absen dalam memberikan keadilan kepada warga negara,” kata dia.
Baca: KontraS Ingatkan Presiden Selesaikan Kasus Simpang KKA
“Tragedi Simpang KKA adalah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM Indonesia, khususnya di Aceh, yang masih terbengkalai,” lanjut Fadhli Espece.
Ia menambahkan, selain Tragedi Simpang KKA, Aceh masih menyisakan banyak problem kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sudah lama 'membusuk'.
“Sebut saja apa yang terjadi dalam kamp penyiksaan Rumoh Geudong, aksi biadab di Jambo Keupok, kisah pilu Tragedi Arakundo, sampai dengan pembantaian Teungku Bantaqiah dan santrinya di Beutong Ateuh. Itu belum lagi dengan kasus penculikan dan pembunuhan aktivis seperti yang menimpa Musliadi dan lain-lain,” kata dia.
“Meskipun mengaku sebagai negara hukum, namun penguasa hendak melupakannya,” imbuh Fadhli.
Sekjen KMPAN mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan perlindungan, jaminan, dan pemenuhan hak asasi manusia kepada seluruh warga negara, tanpa membeda-bedakan agama, ras, warna kulit, serta aliran politik, dan keyakinan tertentu.
Kewajiban ini tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, dan seluruh Konvensi-konvensi HAM PBB lainnya. Bahkan UUD 1945 juga menjamin atas pemenuhan hak-hak asasi manusia tersebut.
“KMPAN sebagai organisasi masyarakat sipil memiliki tanggungjawab untuk terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan demi terwujudnya penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Masyarakat sipil adalah salah satu pilar penting dalam memajukan dan meningkatkan kualitas penegakan HAM,” kata Fadhli Espece.
Ia juga mengingatkan kembali semua pihak terkait di Aceh dan Indonesia, bahwa Perdamaian MoU Helsinki 2005 antara RI-GAM mengamanahkan terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga yang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Baca: Mahasiswa Peringati 17 Tahun Tragedi Simpang KKA
Namun, lemahnya kekuasaan KKR Aceh mengakibatkan ruang geraknya yang cukup terbatas.
“Di tengah kondisi yang seperti ini, Presiden Jokowi selaku pembuat kebijakan dan memiliki wewenang dan kekuasaan seharusnya menepati janji-janjinya terkait isu-isu kemanusiaan. KMPAN juga menilai pemerintah pusat perlu mendirikan lembaga KKR Nasional,” kata Fadhli.
Menurut dia, selain dapat memperkuat keberadaan lembaga KKR Aceh, KKR Nasional juga dapat mencontoh KKR Aceh sebagai role model dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
“Ketiadaan hukuman (impunitas) bagi pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap para pembela HAM merupakan sederet bukti yang menunjukkan bahwa kondisi penegakan HAM di Indonesia masih sangat memprihatinkan,” demikian Sekjen KMPAN, Fadhli Espece.
Baca: Warga Doa Bersama di Simpang KKA