Ramadhan 1440 H

Kajian Zakat Fitrah dalam Mazhab Syafii, dari Waktu, Syarat, Niat, Ukuran, dan Bolehkah Pakai Uang?

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tgk Muhazzir Budiman MA, Dosen STISNU Aceh.

Kajian Zakat Fitrah dalam Mazhab Syafii, dari Waktu, Niat, Ukuran, dan Bolehkah Pakai Uang?

Oleh: Muhazzir Budiman

APABILA ditelusuri dalam literatur fikih Syafiiyah yang mu’tabar (populer) maka dapat diambil konklusi bahwa zakat fitrah adalah sedekah yang diwajibkan dalam agama Islam sebab selesainya puasa Ramadhan satu bulan.

Zakat fitrah merupakan suatu bentuk upaya mencukupkan orang-orang faqir-miskin pada hari Idul Fitri agar mereka bisa bergembira bersama orang-orang muslim lain.

Selain itu juga sebagai pensucian orang-orang yang berpuasa dari kelalaian dan kekuruhan selama berpuasa satu bulan Ramadhan.

Zakat fitrah wajib atas orang merdeka saat terbenam matahari malam hari raya Idul Fitri untuk diri sendiri dan orang-orang yang nafakah mereka dalam tanggungannya.

Dalilnya adalah hadis “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah setelah bulan Ramadhan atas manusia satu sha’ kurma atau gandum untuk tiap-tiap orang-orang yang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan yang muslim”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dan hadis “tunaikanlah zakat fitrah untuk tiap-tiap orang merdeka dan budak, yang kecil atau besar ukuran setengah sha’ gandum atau kurma”. (H.R. Daruquthni).

Baca: Orang Tua Harun Korban Kerusuhan 22 Mei Lapor ke Komnas HAM karena Merasa Ditekan Oleh Kepolisian

Syarat orang yang membayar zakat fitrah ada tiga:

Pertama, Islam.

Maka orang kafir asli tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, tetapi diwajibkan untuk budaknya dan karabatnya yang muslim karena ia wajib menanggung nafakah mereka.

Adapun kafir karena murtad maka zakat fitrahnya diwuqufkan hingga kembali kepada Islam.

Kedua, merdeka, maka tidak wajib zakat fitrah atas budak.

Ketiga, ada bekal lebih dari nafakah wajib selama satu malam dan hari idul fitri.

Maka orang yang tidak ada bekal lebih dari biaya hidupnya dan orang-orang dalam tanggungannya untuk satu malam dan hari idul fitri adalah tidak wajib zakat fitrah atasnya.

Baca: Benarkah Tidur Siang di Bulan Ramadhan Jadi Ibadah? Berikut Penjelasannya

Adapun syarat orang-orang yang dikeluarkan zakat fitrah ada dua:

Pertama, Islam. Maka tidak dikeluarkan zakat fitrah untuk yang kafir.

Kedua, mendapatkan waktu wajib zakat fitrah yaitu bagian akhir Ramadhan dan bagian awal Syawal.

Maka dikeluarkan zakat fitrah untuk orang yang mati setelah terbenam matahari dan untuk anak yang lahir sebelum terbenam matahari,walaupun hanya sebentar.

Dan tidak dikeluarkan untuk orang yang mati sebelum terbenam matahari dan anak yang lahir seteleh terbenam matahari.

Oleh karena itu, sebab wajib zakat fitrah adalah terbenamnya matahari akhir Ramadhan pada malam idul fitri.

Waktu wajib menunaikan zakat fitrah adalah sempit seperti waktu kurban, yaitu antara bagian akhir Ramadhan dan bagian awal Syawal.

Kapan waktu bayar zakat fitrah?

Para Syafiiyah menyimpulkan waktu menunaikan zakat fitrah dalam lima waktu.

Pertama, waktu jawaz (boleh), yaitu dari awal Ramadhan.

Kedua, waktu wajib, yaitu setelah terbenam matahari akhir Ramadhan dan malam idul fitri.

Ketiga, waktu sunat, yaitu sebelum salat idul fitri.

Keempat, waktu makruh, yaitu setelah salat idul fitri dan sebelum habis hari Id.

Kelima, waktu haram, yaitu setelah hari Id.

Maka zakat fitrah menjadi qadha dan wajib dibayar dengan segera jika terlambat bayar tidak ada ozor, jika ada ozor maka boleh tidak segera qadha.

Dengan demikian, tradisi masyarakat Aceh membayar zakat fitrah pada malam 25, 26, 27, 28 dan 29 Ramadhan adalah tidak bertentangan dengan konsep fikih.

Tradisi ini masuk dalam kategori waktu jawaz.

Praktek seperti ini dalam masyarakat Aceh karena berbagai pertimbangan yang diambil kebijakan oleh pemimpin-pemimpin mereka untuk kemaslahatan rakyatnya.

Maka tradisi tersebut didukung oleh kaidah fikih yang sangat populer, yaitu: tasharruf al-imam ala al-ra’iyah manuthon bi al-mashlahah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya dikaitkan dengan kemaslahatan”.

Kemaslahatan merupakan suatu hal yang didahulukan dalam agama Islam.

Bahkan pijakan dasar fikih adalah maslahat menurut Ilmu Kawaid Fikih.

Baca: Hukum Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan

Niat, Ukuran, serta Orang yang Membayar dan Dikeluarkan Zakat

Keabsahan zakat fitrah pada agama tergantung atas empat perkara yaitu, niat, ukuran yang dikeluarkan, orang yang membayar, dan orang yang dikeluarkan zakat.

1. Niat adalah dari orang yang membayar untuk dirinya dan orang-orang yang dikeluarkan zakat fitrah.

Niat dilakukan saat memisahkan beras untuk membayar zakat fitrah, atau saat menyerahkan kepada mustahiq zakat atau orang yang menanganinya, dan atau saat sedang membawa beras untuk menyerahkan.

Contoh lafaz niatnya adalah “sahaja aku membayar zakat fitrah untuk diriku dan dua orang anakku karena Allah taala”.

2. Ukuran zakat fitrah yang dikeluarkan untuk satu orang adalah satu sha’ beras.

Satu sha’ setara dengan 3 liter menurut yang ditetapkan dalam kitab Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, dan artikel saya Mengukur Nisab Padi dengan Timbangan Setelah Muncul Mesin Panen Padi Menurut Mazhab Syāfi‘i yang dimuatkan dalam jurnal al-Mabhas.

Orang-orang yang dikeluarkan zakat fitrah adalah istri, pembantu, budak, orang tua dan terus ke atas jika nafakah mereka dalam tanggungannya, anak-anak dan terus ke bawah jika nafakah mereka dalam tanggungannya, dan orang-orang yang dalam kontrolnya secara total seperti orang gila dan lainnya.

Adapun anak zina dan anak yang diingkari dengan sumpah li’an maka zakat fitrahnya wajib atas ibunya.

Adapun jenis harta yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok pada suatu daerah.

Di Aceh makanan pokok masyarakat Aceh adalah beras, maka yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah beras ukuran 3 liter untuk satu orang.

Baca: Mau Masuk Surga Melalui Pintu Khusus? Berpuasalah

Baca: Anak-anak, Puasa, dan Kebahagiaan

Bolehkah Bayar Pakai Uang?

Pada zaman yang serba menggunakan uang sebagai alat pertukaran satu-satunya dan sebagai roda kehidupan maka mengenai jenis harta yang dikeluarkan untuk zakat fitrah terjadi permasalahan.

Ada sebagian masyarakat Islam tidak lagi membayar zakat fitrah dengan beras, tapi dihargakan dengan uang saja.

Namun jika kita melihat dalam kitab-kitab klasik Mazhab Syafii maka kesimpulannya adalah tidak boleh membayar zakat fitrah dengan uang, tapi harus dengan beras karena tidak ada nas yang menunjukkan boleh.

Alasan lainnya karena harga (uang) adalah bergantung dengan hak-hak manusia.

Dimana hak-hak manusia tidak boleh kecuali harus saling ridha.

Sedangkan zakat fitrah pemiliknya tidak tertentu tapi sudah bercampur-campur, maka tidak terdapat lagi hak-hak tersebut.

Adapun menurut Mazhab Hanafi boleh membayar zakat fitrah dengan uang, bahkan lebih baik daripada bayar dengan beras.

Uang dapat memudahkan faqir-miskin membeli apa saja yang dibutuhkannya pada hari idul fitri.

Boleh jadi orang faqir tidak butuh diberi beras pada hari Id tapi butuh pakaian, daging, dan lain-lain.

Maka diberi uang lebih mudah bagi orang faqir itu untuk membeli yang dibutuhkannya itu.

Baca: Melatih Kesabaran di Bulan Ramadhan

Syeikh Ali Jumah seorang ulama besar dalam Mazhab Syafii dan mufti Mesir berpendapat sama dengan Mazhab Hanafi dalam kitabnya al-Bayan.

Ia menyatakan bahwa bayar zakat fitrah dengan uang lebih sesuai dengan realitas zaman sekarang.

Dengan alasan bahwa pada zaman dahulu alat pertukaran dalam jual beli adalah biji-bijian maka zakat fitrah dengan biji-bijian lebih sesuai dengan realitas.

Adapun zaman sekarang alat pertukaran dalam jual beli hanya dengan uang satu-satunya.

Maka uang lebih mudah bagi faqir untuk membeli apa saja yang dibutuhkannya.

Syeikh Ali Jumah menyatakan bahwa asal disyariatkan zakat fitrah adalah untuk kemaslahatan bagi faqir dan untuk mencukupkannya pada hari Id agar bisa bergembira bersama muslim yang lain.

Oleh karena itu, beras kadang tidak dibutuhkan lagi oleh faqir, tapi yang sangat dibutuhkan adalah uang untuk membelanjakan kecukupannya pada hari Id.

Antara ulama besar syafiiyah lainnya pada zaman sekarang yang berpendapat sama dengan Imam Ali Jumah adalah Imam Ahmad bin al-Shadiq al-Ghimari dalam kitabnya Tahqiq al-Amal fi Ikhraji Zakati al-Fithri bi al-Mali.

Tentunya jika bertaqlid kepada dua ulama tersebut maka ukuran beras dalam ketentuan Mazhab Syafii dihargakan dengan uang.

Namun semua ini adalah mengikuti mana yang lebih yakin hati dalam bertaqlid.

Baca: Kapan Lailatul Qadar? Begini Hadis Rasulullah, Ciri-ciri, dan Cara Mengetahuinya Menurut Ulama

Tetapi perlu diketahui bahwa dalam Mazhab Syafii ada mujtahid tarjih yang menjadi pegangan dalam bermazhab.

Urutan tertib mujtahid tarjih yang diikuti dalam Mazhab Syafii adalah pertama Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Ramli, kemudian Imam Nawawi, kemudian Imam Ramli dan kemudian Imam al-Subki.

Adapun pada zaman sekarang menurut pengakuan para ulama, antara mujtahid tarjih Mazhab Syafii adalah Syeikh Ali Jumah dan Syeikh Wahbah Zuhaili. 

*) PENULIS adalah Dosen Hukum Islam STISNU Aceh, Pengurus harian Dewan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (DPP ISAD). Email: muhazzir86@gmail.com.

Berita Terkini