SERAMBINEWS.COM - Prof Dr Safwan Idris.
Namanya begitu populer.
Seorang akademisi, administrator ulung, ulama, dan pembaharu pendidikan Aceh.
Deretan julukan itu begitu melekat dengan sosoknya.
Semua orang mengenal Safwan Idris.
Ia tokoh Aceh.
Levelnya di forum nasional dan internasional.
Tapi ia juga seorang alumni dayah. Ahli kitab kuning.
Berjiwa murah. Berkepribadian ramah. Seorang yang tawadu' bergelar profesor.
Setiap ucapannya menjadi petuah bagi umat.
Banyak pemikiran briliannya yang sampai kini masih abadi.
Salah satunya menggagas dan mengembangkan sistem pengelolaan zakat, yang kini dikenal nama Baitul Mal.
Ketika ia menjadi Ketua Umum Amil Zakat di tahun 1995, ia memunculkan ide baru tentang zakat.
Baca: Hari Ini 19 Tahun Lalu, Rektor UIN Ar Raniry Prof Safwan Idris Ditembak Dua Pria di Rumahnya
Seperti Baitul Zakat dan Buleun (bulan) Sadar Zakat. Gagasan lainnya Safwan mengusulkan dibentuknya pesantren mahasiswa dan museum.
Hingga saat ini kedua gagasan itu telah terwujud meski Safwan sudah tiada. Seluruh mahasiswa baru UIN Ar-Raniry saat ini wajib mengikuti program pesantren mahasiswa dan tinggal di asrama.
Pada sekitar tahun 2003, Pihak UIN Ar Raniry mendirikan sebuah gedung museum yang megah diberi nama Gedung Museum Prof Dr Safwan Idris MA beberapa tahun setelah ia tiada.
Saat bencana gempa dan tsunami 2004, gedung ini tak luput dari kehancuran. Banyak sisi bangunan yang rusak. Mantan aktivis Aceh, M Muhammad Alkaf dalam tulisannya 'Untuk Dia yang Tidak Pernah Mati: Safwan Idris' menulis sosok Safwan Idris tumbuh dalam dekapan dua tradisi kuat di Aceh, dayah dan Darussalam.
"Pak Safwan menjadi pengobat kehausan orang Aceh tentang makna pemimpin sebenarnya yang telah lama hilang; ahli agama sekaligus admistrator ulung. Hal yang pernah melekat pada dua tokoh besar Aceh sebelumnya, Daud Beureuh dan Ali Hasjmy," tulis peneliti di Aceh Institut ini.
Menurut Alkaf kapasitas intelektual yang dimiliki Safwan Idris adalah hasil tempaan langsung oleh ayahnya, Abu Idris, salah satu ulama yang kharismatik, sekaligus pengikut setia Daud Beureuh.
Alkaf juga menyebutkan Safwan Idris belajar hingga ke Amerika Serikat. Padahal zaman itu, Kuala Lumpur-pun masih terasa jauh.
Mahasiswa UIN Pertama di AS
Istri alm Safwan Idris, Alawiyah dalam sebuah tulisannya yang menyentuh dalam buku 'Kearifan yang Terganjal; Shafwan Idris Ulama dan Intelektual Aceh' menceritakan, betapa sangat gugupnya ketika harus menyusul ke Amerika, karena Safwan melanjutkan studi doktoralnya.
Namun Alawiyah bahagia ketika melihat Bang Safwan, begitu ia memanggil suaminya itu, tampak hadir menyambutnya di Bandara Kuala Lumpur.
Safwan saat itu mendapat beasiswa dari Mobil Oil Indonesia untuk belajar di University of Wiconsin Medison, Amerika Serikat pada tahun 1977.
Ia adalah alumni IAIN AR-raniry pertama yang mendapat kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat, sebuah prestasi yang membanggakan khususnya bagi civitas akedemika IAIN AR-raniry saat itu.
"Bagi yang pernah berjumpa langsung dengannya, tentulah dapat memahami tentang dua kecakapannya yang di atas itu. Gelar akademik dan posisinya yang prestisius itu, tidak membatasinya untuk berjumpa dan berbicara dengan siapapun. Hari ini, dia bicara di panggung nasional. Duduk sederet dengan tokoh penting di negeri ini. Esok lusa, dia bicara di hadapan jamaah meunasah di pelosok Aceh. Tanpa mengurangi sedikit-pun antusiasnya," begitu Alkaf menulis tentang sosok yang dijuluki Mutiara Darussalam tersebut.
Ditangisi rakyat
Hermandar Puteh, Mantan Ketua Divisi Ekonomi (1994-1999) Lingkaran Studi Kreatif Minority, Universitas Indonesia dalam tulisan resensi buku 'Kearifan yang Terganjal; Shafwan Idris Ulama dan Intelektual Aceh' yang dimuat Majalah Gatra mengungkapkan kehilangan guru besar pendidikan yang sekaligus Rektor IAIN Ar-Raniry, Safwan Idris, adalah sesuatu yang sangat mahal dan pahit dirasakan rakyat Aceh.
Hermandar menulis bagi masyarakat Aceh, nama Safwan sangat populer. Safwan Idris lahir pada 5 September 1949 di Desa Siem, Kkecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Kakek dari jalur ibunya, Tgk Ali Lampisang, adalah guru pertama ulama besar Aceh Tgk Mudawali Al-Khalidi.
Demikian juga dari jalur ayahnya. Dalam diri Safwan Idris mengalir semangat pendidikan Islam yang diwarisi dari kakek sepupunya Tgk Hasan Krueng Kale, seorang ulama besar Aceh dan tokoh pejuang tegaknya negara kesatuan RI.
Demikian pula ayahnya Tgk Idris Mahmud, adalah teungku yang menguasai ilmu agama dan seorang pejuang yang bergabung dengan kelompok DI/TII Daud Bereueh yang ikut berjuang dalam rangka menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.
Di awal jabatannya sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar Raniry), Safwan meluncurkan konsep bagaimana mengembangkan kampus ke depan, dengan pola kepemimpinan yang berukhuwah dan bersilaturahmi.
"Dia berangkat dari Masjid Fathun Qarib, yang terletak di tengah-tengah kampus IAIN Ar-Raniry, sebagai sentral pembinaan moral dan intelektual akademika," tulisnya.
Para dosen dan staf IAIN diajak dengan keras oleh Safwan untuk melakukan salat dhuhur berjamaah dalam rangka mengasah jiwa membangun silaturahmi serta interaksi antara dosen, mahasiswa, dan segenap karyawannya.
Kegiatan akademik di ruang kuliah pada tengah hari dialihkan ke masjid dengan kegiatan ekstrakulikuler, secara bergilir dosen-dosen senior diminta mengisi ceramah bebas usai salat dengan bobot ilmiah, bahkan sering dilanjutkan dengan diskusi antarsesama jamaah. Demikian upaya gigihnya dalam mewujudkan IAIN Ar-Raniry sebagai the centre of excellent.
Dalam hal mempersiapkan sumber daya insani, selama masa kepemimpinannya (1996-2000), Safwan mengirim lebih dari 100 tenaga pengajar/dosen untuk menyelesaikan program magister dan program doktor pada berbagai perguruan tinggi terbaik di dalam serta luar negeri (Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Mesir, dan Malaysia).
Safwan juga menambah beberapa program studi baru dan kurikulum yang lebih seimbang antara ilmu agama dan pengetahuan umum.
Dekat dengan rakyat
Safwan dikenal sosok yang selalu dekat dengan masyarakat, baik dalam pergaulan maupun berdakwah ke segala lapisan masyarakat, kalangan atas maupun bawah, dengan bahasa yang sangat lembut, mulia, yang merasuk ke dalam jiwa pendengarnya.
Dalam berdakwah, Safwan berpegang pada Alquran surah An-Nisa ayat 63, yang memerintahkan pada pendakwah mengatakan sesuatu dengan perkataan yang membekas pada audiensnya.
Ia memahami betul bahwa bahwa ajaran Islam sarat dengan nilai psikologis, seperti konsep niat, ikhlas, tawakal, khusyuk, dan ridha. Ketika Safwan ditembak dua pria yang bertamu ke rumahnya di pagi subuh berdarah itu, banyak kalangan yang waktu itu menilai penyelesaian damai di Aceh akan terhambat.
Ini karena peran Safwan dalam Forum Aksi Ulama Aceh, yang bertujuan memberi masukan bagi penyelesaian krisis di Aceh, cukup dominan. Dan ternyata, kekhawatiran itu terbukti. Darurat militer dan darurat sipil diberlakukan, tapi rasa takut bagi masyarakat Aceh masih terus menghantui.
Khusus dalam menyingkap konflik horizontal Aceh itu, atas pertikaian yang tak kunjung reda antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), solusi idealnya hanya dengan menggagas pelaksanaan syariat Islam sebagai tindak lanjut pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Dan, solusi seperti itulah yang juga didambakan oleh Safwan, dalam rangka terciptanya masyarakat madani (civil society), yang bermuara pada tatanan suatu negeri "baldatun tayyibatun warrabbun ghafur". Tapi takdir bekata lain.
Safwan Idris meninggal pada 16 September 2000 setelah ditembak dua pria yang datang ke rumahnya di Jalan Alkindi, Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Sang Mutiara Darussalam itu pergi di tengah pusaran konflik Aceh yang tengah mendidih. Kepergiannya diiringi sejuta air mata dan tangisan rakyat Aceh.(*)