Wiranto Sebut Kebakaran Hutan dan Lahan Tak Parah, Tapi Citra Satelit NASA Berkata Lain
SERAMBINEWS.COM – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menilai kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tak separah yang diberitakan media.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (20/9/2019), Wiranto juga mengatakan bahwa jarak pandang masih wajar dan pesawat masih bisa mendarat.
"Di sana ketika saya melihat dengan Presiden antara realitas dengan yang dikabarkan (media) dengan yang ada itu sangat berbeda. Ternyata kemarin waktu kami di Riau tidak separah yang diberitakan," ujar Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
"Jarak pandang masih bisa, pesawat masih bisa mendarat. Masyarakat banyak yang belum pakai masker. Kami pun tidak pakai masker. Jarak pandang pada siang masih jelas. Awan-awan terlihat," ungkap dia.
Hal berbeda ditunjukan oleh citra satelit milik NASA.
Baca: Rumah Bapak dan Anak Terbakar di Simpang Mamplam, Dua Keluarga Mengungsi
Baca: Video Panas Oknum PNS Pemprov Jabar Viral di WhatsApp, Berikut 8 Faktanya
NASA menampilkan kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dari luar angkasa.
Dari gambar tersebut, tampak bagaimana kabut asap putih menyelimuti seluruh daratan.
Seperti inilah gambar kebakaran hutan di Kalimantan menurut citra satelit NASA yang diambil pada 15 September 2019. (MODIS/NASA)
Gambar tersebut diambil menggunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari satelit AQUA milik NASA, pada Minggu (15/9/2019).
Situs resmi pengamatan Bumi milik NASA, earthobservatory.nasa.gov memperingatkan, gambar yang menunjukkan asap pekat melayang di atas pulau merujuk pada kualitas udara yang sudah sangat berbahaya dan membahayakan kesehatan makhluk hidup di wilayah tersebut.
Disebutkan pula, satelit NASA telah mendeteksi bukti kebakaran di wilayah Kalimantan dan Sumatera sepanjang Agustus, tapi jumlah dan intensitasnya melonjak pada minggu pertama September.
Operational Land Imager (OLI) di Landsat 8 juga mengambil gambar yang menunjukkan api membakar beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan Selatan.
Baca: Rumahnya Berada di Area Apartemen Mewah, Tolak Pindah Meski Diganti 1 Unit Apartemen & Uang Rp 3 M
Baca: Daftar Pasal Kontroversial di RKUHP, Pemilik Unggas yang Peliharaannya Berkeliaran Didenda Rp10 juta
Gambar dari Operational Land Imager (OLI) menunjukkan api membakar beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Foto diambil 15 September 2019. (NASA)
Pada peta di bawah ini, menunjukkan data karbon organik pada Selasa (17/9/2019) dari model GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengasimilasi informasi data satelit, pesawat, dan sistem pengamatan di darat.
Sementara peta ini menunjukkan data karbon organik pada Selasa (17/9/2019) dari model GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengasimilasi informasi data satelit, pesawat, dan sistem pengamatan di darat. (NASA)
Untuk mensimulasikan karbon organik, pemodel memanfaatkan pengamatan satelit terhadap aerosol dan kebakaran.
GEOS-FP juga mengolah data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk memproyeksikan apa yang terjadi di atmosfer.
Baca: Ular Berkaki Ditemukan di Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan, Ini Penjelasan Ahli Herpetologi
Dalam hal ini, asap tetap relatif dekat dengan sumber api karena angin sangat kecil.
GEOS FP, seperti model cuaca dan iklim lainnya, menggunakan persamaan matematika yang mewakili proses fisik untuk menghitung apa yang terjadi di atmosfer.
Model ini menghitung posisi dan konsentrasi partikel karbon organik setiap lima menit.
Model ini mengolah data aerosol baru pada interval tiga jam, data meteorologi baru pada interval enam jam, dan data kebakaran baru setiap hari.
Peta gambut yang tersedia melalui Pusat Atlas Penelitian Kehutanan Internasional Kalimantan menunjukkan, banyak kebakaran terjadi di dalam atau di dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.
Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan, seringkali membara di bawah permukaan tanah sampai berbulan-bulan hingga musim hujan tiba.
Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus (PM2.5).
Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial yang menghangatkan iklim.
PM 2,5 adalah campuran partikel halus yang dikenal memiliki efek kesehatan negatif.
PM 2,5 termasuk jenis aerosol yang mengandung karbon organik dan karbon hitam dan dianggap sangat berbahaya karena partikelnya sangat kecil sehingga bisa masuk ke paru-paru dan aliran darah.
Penelitian kesehatan mengaitkan paparan karbon hitam dengan penyakit pernapasan, masalah jantung, dan kematian dini.
Bukti menunjukkan kemungkinan toksisitas aerosol karbon organik juga, meskipun efek kesehatannya kurang diteliti daripada beberapa jenis partikel lainnya.
Seperti yang telah dilakukan di musim kebakaran yang lalu, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies Robert Field telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.
"Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun ini mengingatkan pada bencana yang sama di tahun 2015," kata Field, yang bekerja pada sebuah proyek untuk memahami bagaimana berbagai variabel meteorologis memengaruhi kemungkinan pembakaran vegetasi.
Petugas BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Sumatera Selatan mencoba memadamkan api kebakaran lahan di kawasan Kabupaten Ogan Ilir, Selasa (11/9/2019). Kebakaran lahan yang meluas dibeberapa titik di Kawasan Sumatera Selatan membuat kualitas udara kota Palembang memburuk. (TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO)
Sebagai bagian dari upaya itu, ia juga bekerja pada proyek ilmu terapan NASA untuk mengintegrasikan lebih banyak pengukuran curah hujan berbasis satelit ke dalam sistem pemantauan bahaya kebakaran yang digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Indonesia (BMKG).
"Hitungan api dari satelit MODIS dan VIIRS belum setinggi di tahun 2015, tetapi peningkatan aktivitas karhutla sebanding dengan 2015," kata Field.
"Namun, perlu diingat bahwa sebagian besar kebakaran terjadi di bawah permukaan tanah, sehingga tidak bisa ditangkap satelit," ungkap Field.
Dua kebakaran besar di Indonesia pada 1997 dan 2015 kondisi El Nino menyebabkan kekeringan yang merupakan faktor utama dalam memperburuk kebakaran.
Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kondisi kering tahun ini, jelas Field.
Ungkapan Wirantopun menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, termasuk warganet.
Beberapa warganet mencoba memberikan gambaran terkini terkait kondisi daerah yang terdampak kabut asap untuk membantah pernyataan Wiranto.
Salah satunya adalah pengguna media sosial Twitter dengan nama akun @rigoshancy.
Dia memberikan gambaran terkait kondisi Pekanbaru pagi kemarin.
"Pekanbaru tadi pagi. Awan aja masi kliatan, warga riau lebay. Ya kan pak Wir?!!" tulis @rigoshancy.
Seorang warganet @wirandagalang yang tinggal di Batusangkar, Sumatera Barat, menyayangkan ungkapan Wiranto yang menyebut keadaan masih aman.
Pasalnya, dia mengaku asap sudah sampai wilayahnya dan kesehatan masyarakat sudah mulai terganggu.
Banyak juga warganet yang menantang pejabat pemerintah untuk tinggal di wilayah terdampak agar dapat merasakan perubahan kualitas udara yang berubah drastis menjadi level berbahaya.
(TribunnewsWIKI/Kompas.com/Gloria Steyvani Putri/Widi Hermawan)
Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul Wiranto Bilang Kebakaran Hutan dan Lahan Tak Parah, Tapi Citra Satelit NASA Berkata Lain