Opini

Antara Sosialita dan Perempuan Aceh

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr. Munawar A. Djalil, MA Pegiat Dakwah, PNS di Lingkungan Pemerintah Aceh

Dr. Munawar A. Djalil, MA Pegiat Dakwah, PNS di Lingkungan Pemerintah Aceh

Secara harfiah sosialita (sosial dan elite) adalah sekolompok orang yang memiliki derajat terpandang (elite) yang dalam kesehariannya bekerja membantu orang-orang yang kurang mampu (sosial). Merujuk kepada makna ini, maka sosialita adalah seseorang atau kelompok yang punya jiwa sosial berempati terhadap orang kurang mampu.

Gerakan sosial ini awalnya berkembang di kalangan borjuis Prancis yaitu kalangan elite yang dimanifestasikan dalam pergaulannya bahwa mereka ingin menunjukan meski kaya bergelimang harta namun tetap dermawan, membantu yang lemah, dll.

Namun di Indonesia tak terkecuali di Aceh praktis sosialita telah terjadi pergeseran yang sangat berbeda dengan makna aslinya. Karena pada kenyataannya mereka identik dengan perempuan berkehidupan mewah, glamor, berfoya-foya, sehingga terkesan cenderung memamerkan kekayaan dengan tujuan lifestyle (gaya hidup) pencitraan diri.

Nah, kalau kita memotret kelompok sosialita khususnya di Banda Aceh, maka tidak heran kita akan menjumpai mereka di ruang-ruang public. Misalnya, mereka sering ngumpul bareng di beberapa restoran/kafe "berkelas". Profesi mereka pun beragam, kalangan anggota dewan, istri pengusaha, istri pejabat, dll. Penampilan dan gaya kelompok ini nyaris berbeda dengan perempuan kebanyakan. Pakaian, tas bahkan semua yang terbalut di tubuh luarnya dapat dipastikan keseluruhannya berharga mahal karena yang dipakai tergolong barang "branded" bukan "kw" alias "kaleng-kaleng".

Terkadang kelompok ini di acara-acara tertentu mengenakan pakaian bercorak sama dengan "dresscode" yang sepakati. Yang menggelikan  di saat mereka berswafoto (selfi), beragam "kegenitan" mereka tunjukan, padahal kalau diperhatikan betul, kebanyakan mereka tidak lagi berusia muda. Namun semua itu, penulis yakin hanya sebuah ekpresi yang patut diapresiasi.

Pada dataran ini meskipun sebagian masyarakat memandang rendah (sebelah mata) terhadap lifestyle sosialita kita, namun bagi penulis selama kelompok ini mau berbuat terutama membantu masyarakat lemah dan mau menjaga diri dari fitnah, apalagi mau mengindahkan kearifan lokal dan keluhuran adat budaya Aceh, maka selama itu pula kita wajib menghargai mereka.

Kenapa tidak, karena merujuk kepada adat budaya Aceh tidak ada satu dogma pun yang melarang mereka berkiprah di baik di ranah domestik maupun publik, asalkan mareka mau menjaga rambu adat budaya tersebut. Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba membangkitkan kesadaran betapa perempuan Aceh begitu dimuliakan dan ditinggikan martabatnya.

Syahdan, berdasarkan sejarah, Aceh telah memunculkan banyak perempuan yang sempat berkiprah dalam dua ranah sekaligus baik domestik (dapur, sumur, kasur) maupun ranah publik. Sebut saja misalnya para pemimpin perempuan (sulthanah) antaranya Sulthanah Safiatuddin Syah, Naqiyatuddin, Kamalat Syah, dimana kedudukan mereka saat itu memiliki karisma dan supremasi yang sangat membanggakan.

Adat budaya Aceh tempo dulu eksistensi kaum perempuan berada pada posisi yang sangat bermartabat.Dalam satu hadih maja yang populer: "Adat bak Poteumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Purtoe Phang, reusam bak laksamana". Putroe Phang yang dimaksudkan adalah seorang perempuan jelita,istri dari Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang Malaysia.

Artinya hukum yang menyangkut peraturan pemerintahan merupakan urusan yang ditangani kaum perempuan, betapa penting dan strategisnya peran perempuan saat itu. Hal ini juga membuktikan betapa masyarakat Aceh masa dulu mengakui persamaan hak laki-laki dan kaum perempuan (egaliter). Dalam fase berikutnya Aceh juga melahirkan para pejuang perempuan yang gigih dan berhati baja melawan kaum imperialis. Antaranya, Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dll.

Adat budaya Aceh tempo dulu juga memberi peluang kepada perempuan untuk mengecap pendidikan tinggi. Begitu banyak dayah manyang (setingkat perguruan tinggi) yang tidak hanya mendidik kaum laki-laki juga perempuan diikutsertakan di dalamnya. Para lulusan dayah inilah baik Teungku agam maupun Teungku Inong yang nantinya mengembangkan pendidikan seluruh Aceh. Kekuatan ini pula menjadi salah satu indikator keberhasilan kerajaan Aceh menjadi salah satu dari enam kerajaan Islam terbesar di dunia.

Di samping itu dalam tataran kultur kekeluargaan di beberapa wilayah di Indonesia, garis keturunan diambil sepenuhnya dari pihak laki-laki. Kultur itu kemudian mempengaruhi semua lini kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbeda dengan Aceh ada sebuah peluang untuk perempuan dalam berkreasi, karena budaya lokal kita masih menganut sistem parental, artinya garis keturunan tidak hanya ditarik dari ayah juga sekaligus dari pihak ibu. Dengan sistem kekeluargaan seperti ini, memberikan sebuah peluang besar untuk diapreasiasikan oleh inong Aceh dalam berkiprah dan mengambil peran dalam pembangunan.

Dari dimensi lain, tugas kerumahtanggaan bukanlah semata-mata kewajiban istri karena perkawinan. Tugas tersebut adalah bagian dari pembagian kerja antara suami istri, sehingga mereka mempunyai saham harta bersama (hareuta seuhareukat), harta yang diperoleh selama perkawinan. Kerana itu sekiranya mereka berpisah, baik karena perceraian atau kematian, maka harta itu dibagi dua.

Dalam kegiatan dan tugas-tugas publik (aktivitas di luar rumah), adat Aceh relatif memberi kedudukan kepada perempuan berkiprah secara penuh, tidak ada larangan dan pembatasan. Karena sebagian besar masyarakat Aceh berprofesi petani, maka apa yang berlaku dalam bercocok tanam menjadi simbol kultur kesetaraan jender. Seperti pepatah "Ureung agam meu`ue umong, Ureng inong jak seumula" (Orang laki-laki membajak sawah, orang perempuan menanam padi).

Dalam perspektif gender pula yang sering dipersoalkan mengenai harta warisan dimana bagian warisan perempuan setengah dari bagian laki-laki, secara kasat mata seolah-olah kemanusiaan perempuan kurang dari laki-laki. Namun yang perlu dijelaskan bahwa hukum warisan Islam termasuk dalam katagori ketentuan hukum "mengatur" bukan "memaksa", artinya kalau para ahli waris bersepakat membagikan secara sama rata atau ada yang mau melepaskan haknya, maka tidak ada halangan dalam Islam.

Namun yang sangat menarik dalam pranata adat budaya Aceh secara khusus telah menyediakan sebuah kearifan lokal untuk memberikan perlindungan dan kesamaan dalam perkara warisan antara laki-laki dan perempuan. Ada dua bentuk kearifan lokal (local wisdom) di Aceh yaitu, "peumeukleh" dan "hareuta peunulang". Biasanya setelah kelahiran anak pertama, orang tua mempelai perempuan memberikan sebuah rumah lengkap dengan pekarangan sebagai harta peunulang kepada anak perempuan, harta ini juga termasuk dalam harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan. Kepada anak laki-laki orang tua juga memberikan sepetak sawah atau kebun sebagai harta peunulang kepada laki-laki.

Kearifan lokal ini yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi masyarakat Aceh, malah secara ril seandainya dihargakan antara peunulang perempuan dengan laki-laki kadang-kadang jauh lebih mahal harta peunulang perempuan. Praktik seperti ini kiranya sangat rasional sebagai upaya menempatkan posisi perempuan Aceh pada status terhormat. Buktinya hampir tidak pernah anak laki-laki mempersoalkan perkara ini. Kalaupun ada, maka anak laki-laki itu telah melanggar adat, bahkan diibaratkan: "lage jak ungke jeurat ureung chik" (bagaikan anak yang tega menggali kuburan orang tuanya).

Oleh karena itu, perempuan Aceh semestinya menyadari bahwa adat budaya sangat memartabatkan mereka, perempuan Aceh tidak pernah dimarginalkan. Bahkan adat budaya Acehlah yang telah membentuk mereka menjadi sosok yang punya jati diri, pejuang, gigih, dan berkepribadian. Nah, untuk kiprah perempuan Aceh berikutnya maka mereka tinggal memilih mau jadi sosialita dengan arti yang sebenarnya atau perempuan yang hanya mengurus dapur untuk suami dan anaknya. Allahu `alam?

Berita Terkini