Selain mundur dari jabatan Dekan Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry, Prof Dr Eka Srimulyani (42) juga meninggalkan Aceh dalam waktu lama. Hari ini, 3 Oktober 2019, akademisi cemerlang kelahiran Nagan Raya ini bertolak dari Jakarta menuju Korea Selatan untuk mengikuti sabbatical leave (cuti meninggalkan tugas akademik dalam waktu tertentu untuk kepentingan riset atau menulis publikasi ilmiah dengan tetap mendapatkan penghasilan dari institusi tempatnya bekerja).
Pengunduran diri Eka memicu kesedihan ratusan mahasiswa di fakultasnya. Pada 4 September lalu mereka berunjuk rasa agar rektor menyikapi dengan serius dan cepat pengunduran diri Prof Eka. Sempat muncul spekulasi bahwa bukan sabbatical leave itulah penyebab utama Eka mundur dan sampai berurai air mata saat menenangkan mahasiswanya yang berdemo saat itu.
Kepada Yarmen Dinamika dari Serambi Indonesia, profesor perempuan termuda di UIN Ar-Raniny dan Anggota Tim Kelompok Kerja Guru Besar Kementerian Agama RI ini mengungkapkan alasan utamanya mundur dari dekan dan lebih memilih bertolak ke Korsel. Sebegitu pentingkah riset tersebut bagi lulusan S3 di UTS Australia ini? Berikut cuplikan wawancaranya.
Apa Anda riset Korsel?
Tema riset saya tentang Diaspora Muslim Indonesia di Korea. Sebenarnya riset ini sudah saya mulai sejak 2016. Sejatinya, sabbatical leave memang tidak harus selalu dalam bentuk riset, bisa juga dalam bentuk kegiatan yang fokus pada menulis untuk publikasi, baik artikel jurnal maupun buku, seperti yang saya rencanakan sekarang. Di sela-sela itu, saya juga dapat memberi kuliah (tamu) di kampus setempat.
Berapa lama dan seberapa penting riset ini sampai Anda harus meninggalkan kewajiban akademik dan administrasi?
Dalam juknis yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sabbatical leave luar negeri seperti ini durasi waktunya maksimum dua bulan, minimum satu bulan. Kegiatan seperti ini adalah bagian dari tridarma perguruan tinggi yang juga merupakan tanggung jawab pengembangan keilmuan sebagai seorang akademisi. Untuk kegiatan sabbatical leave ke luar negeri, Kemenag sementara ini mengalokasikan khusus untuk guru besar saja. Pada tahun 2019, hanya dua guru besar yang mendapat grant dari Kemenag: saya dan satunya lagi dari UIN Alauddin Makassar.
Apakah tak ada alasan utama selain sabbatical leave yang menyebabkan Anda mundur dari dekan?
Saya mengamati dari publikasi, interpretasi, dan spekulasi yang beredar, ada yang memahaminya demikian. Namun, saya secara pribadi dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan sabbatical leave-lah sebagai alasannya. Sebelum menjabat dekan pernahkah Anda tinggalkan kampus karena alasan sabbatical leave?
Pernah beberapa kali saya tinggalkan kampus, walaupun nama kegiatannya bukan sabbatical leave, seperti untuk riset postdoctoral di IIAS Leiden University Belanda tahun 2010, 2012, menjadi visiting scholar di University of Melbourne tahun 2015, tahun 2016 sempat riset lapangan di Korea berafiliasi dengan Sogang University, dan tahun 2017 sempat ikut research fellowship singkat di NTU Singapura. Namun saat menjabat dekan, untuk kegiatan yang memiliki durasi waktu agak panjang ke luar negeri belum pernah saya lakukan, ya baru kali inilah.
Hasil riset Anda nantinya ada nggak manfaatnya bagi Aceh atau bagi UIN Ar-Raniry?
Riset ini akan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam kajian sosial keagamaan. Irisan beberapa bidang keilmuan sosial seperti Asian Studies, Southeast Asian Studies, Islamic Studies, kalau untuk UIN Ar-Raniry sebagai lembaga perguruan tinggi pasti akan ada manfaatnya, karena kinerja dosen dalam bidang penelitian dan publikasi menjadi bagian penting yang akan meningkatkan grade dan akreditasi kampus, terlebih bila terpublikasi di jurnal internasional yang bereputasi seperti yang direncanakan. Dari sisi lain, sebagai dosen yang terus-menerus mengajar, pengayaan materi, dan metodologi dalam bidang keilmuan terkait adalah sebuah keniscayaan, sebagai bagian dari tanggung jawab keilmuan.
Saat bertemu ratusan mahasiswa yang demo 4 September lalu, kenapa Anda menangis. Adakah sesuatu yang Anda sembunyikan?
Dari sejak saya mengundurkan diri medio Agustus lalu, rasa penasaran dan semacam ‘ketidakrelaan’ di kalangan mahasiswa sempat terbaca oleh saya, baik yang mereka sampaikan langsung maupun melalui pesan media sosial. Namun, karena saat itu saya harus berangkat ke luar negeri untuk konferensi, belum sempat bertemu dan berbicara khusus dengan mahasiswa atau dengan pengurus organisasi mahasiswa tentang hal ini. Beberapa dari mahasiswa, terutama perwakilan organisasi mahasiswa, sempat mengantarkan saya ke bandara. Rencananya sekembali saya dari India, kami sudah sepakat untuk bertemu. Tapi akhirnya pertemuan kami justru terjadi di lokasi mereka demo seperti yang viral di video-video itu.
Di puisi yang saya tulis terkait demo tersebut berjudul ‘Pesan Cinta untuk Kopelma’ sepertinya sedikit banyak menyiratkan makna di balik tangis kami bersama, kesedihan saya dan mahasiswa itu sungguh-sungguh real (nyata), tidak dibuat-buat. Sama sekali tidak kami rencanakan dan perkirakan akan bertemu di sana. Mungkin para mahasiswa juga ‘kaget’ tiba-tiba di luar perkiraan mereka saya ada di sana menjumpai, ketika mereka sedang gempita menyuarakan aksi (mungkin ada yang berpikir saya masih di luar negeri).