M ANZAIKHAN, S.Fil.I., M.Ag., Direktur Pematik (Pusat Entrepreneur) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Banda Aceh
Berbicara soal entrepreneur (wirausaha), Aceh tergolong masih minim dibandingkan daerah produktif lainnya. Hal itu terlihat dari kurangnya antusiasme masyarakat untuk berwirausaha dalam memperoleh kesejahteraan finansial. Padahal, menjadi seorang wirausaha merupakan sebuah alternatif dari sempitnya lapangan kerja yang semakin hari kian mencekik. Mayoritas masyarakat Aceh lebih nyaman menjadi pekerja walau dengan gaji apa adanya. Sejatinya, menjadi pekerja berarti mempersempit lapangan kerja, sedangkan menjadi entrepreneur justru membuka lapangan kerja.
Pada dataran mahasiswa lebih memprihatinkan lagi, ketika remaja mulai berpikir untuk berwirausaha terkadang orang tua menjadi dinding pembatasnya. Tidak sedikit orang tua melarang anaknya untuk bekerja agar fokus menimba ilmu di bangku kuliah. Meskipun tidak semua studi ilmu itu orientasinya kerja, realita hari ini justru kuliah itu sendiri pada akhirnya juga digunakan untuk mencari kerja. Ketika gelar sarjana yang diperoleh kelak tidak langsung acceptable, barulah mereka sadar bahwa entrepreneur adalah solusi agar tidak menganggur setelah jadi sarjana. Jika demikian adanya, mengapa kesadaran berwirausaha bagi kaum muda tidak dipupuk sejak awal?
Kebijakan entrepreneur saat ini bukan hanya menjadi perhatian studi profesi saja, bahkan pemerintah sudah menggalakkan program wirausaha pada silabus-silabus mata kuliah tanpa pandang bulu. Jika dulu mata kuliah entrepreneur hanya menjadi sajian renyah jurusan ekonomi, kini semua kampus bahkan Prodi Ilmu Alquran juga memuat kajian tersebut.
Secara tidak langsung ini adalah sebuah sinyal bahwa kesadaran menjadi pebisnis lebih prioritas daripada menyelesaikan sekolah bisnis itu sendiri. Jika kuliah itu mempelajari teori, berwirausaha adalah aspek praktiknya, sebab teori dan praktik terkadang seperti dua eleman yang sangat bertolak belakang.
Pada Sekolah Kejuruan Mesin (STM) misalnya, sering kali teori yang didapat hanya sebatas coretan di atas kertas belaka. Ketika mereka menjalani proses magang di tempat kerja, di sanalah sekitar 80% pengetahuan tentang mesin akan mereka peroleh. Begitu juga kaitannya dengan entrepreneur, keterlibatan untuk terjun langsung ke wilayah tersebut akan menjadi modal berharga mahasiswa, apalagi ketika mereka menjadi alumni kelak.
Ketika seseorang sudah sukses, terkadang netizen tidak melihat background pendidikan mereka. Bukan berarti pendidikan itu tidak perlu, jika keduanya bisa berjalan seirama tentu akan lebih baik daripada berjalan secara parsial. Ingat, praktik tanpa ilmu akan melambat, sedangkan ilmu tanpa praktik adalah nol besar.
Power of k epepet
Sering ditemukan, terjunnya mahasiswa ke dunia entrepreneur adalah masalah yang mendesak (kepepet). Sebagaimana dalam bukunya Eka Prayoga, kepepet terkadang membuat orang menjadi lebih sukses. Sebagai contoh, seseorang akan mampu berlari lebih cepat (melampaui batas kemampuannya) ketika dikejar anjing. Seseorang juga mampu meloncat lebih tinggi bahkan memanjat pohon yang curam ketika dikejar oleh derasnya banjir bandang. Begitu juga dalam berbisnis, ada kalanya dimulai dari kemelaratan ekonomi, utang yang menggunung, bahkan desakan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Semuanya menjadi pemantik yang seandainya tidak begitu (kepepet) mungkin roda kehidupannya masih datar-datar saja.
Pada orientasi perkuliahan, hal senada juga terjadi. Seorang mahasiswa pada umumnya akan peduli dengan tugas makalah ketika besok harus dikumpul. Itu pun jika dosen yang bersangkutan terkenal dengan sosok killer-nya. Karena sudah kepepet dikumpul, memacu alam bawah sadarnya untuk segera mempersiapkan makalahnya dengan metode sistem kebut semalam (SKS). Bahkan, jika tugas makalah diberikan waktu satu tahun, akan dikerjakan malam menjelang akhir tahunnya. Sebab, konsep mahasiswa saat ini adalah: Jika bisa dikerjakan besok, buat apa repot-repot dikerjakan hari ini? Berangkat dari fenomena ini, terkadang perlu seorang pribadi “mengepepetkan” dirinya untuk sukses, atau bahasa lainnya menyibukkan diri dengan kegiatan positif setiap harinya.
Sukses di usia muda
Motivasi menjadi entrepreneur terbilang cukup menjanjikan. Salah satunya adalah mampu meraih sukses di usia yang relatif muda. Berbeda ceritanya sukses dalam jalur pendidikan. Zaman sekarang, di mana persaingan semakin ketat, jangankan ijazah SMA, bahkan lulusan doktor pun masih ada yang belum memperoleh pekerjaan tetap. Konon lagi mereka yang hanya tamatan SD atau sama sekali tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah. Mirisnya lagi, di Indonesia untuk menjadi seorang guru besar (profesor) seakan harus tua dulu, sebab akan ada jenjang akademis dan pengalaman kerja yang harus ditempuh yang itu semua tidak dapat diperoleh kecuali dengan usia (durasi) yang panjang.
Berbeda ceritanya dengan jalan hidupnya entrepreneur, sukses dalam ranah ini tidak mesti harus menjadi tua. Tidak perlu mengabdi atau turunnya penganugerahan akademik dari otoritas yang lebih tinggi. Cukup mengembangkan usahanya dengan segala kreativitas yang mumpuni maka bisa saja sukses tahun depan. Keuntungan sukses di usia muda tentu memiliki banyak kelebihan, salah satunya adalah fisik yang masih sehat dan pikiran yang masih energik. Bisa jalan ke mana saja, berpetualang ke mana pun, bahkan memakan apa saja tanpa khawatir kolestrol, gula, atau ginjal.
Cepat menikah
Salah satu yang menjadi dilema anak muda zaman sekarang adalah telat menikah. Belum lagi mereka yang menjalin asmara dengan usia yang tak terlalu jauh, biasanya akan berakhir dengan patah hati karena pihak lelaki (pelamar) yang belum punya maskawin. Mungkin bisa melihat di sekitar kita, oknum yang terlalu fokus mengejar karier pendidikan biasanya telat menikah. Hal itu dikarenakan popularitas di kancah pendidikan saat ini tidak mendukung kemerdekaan finansial. Berbeda dengan para wirausaha, setelah kuliah S1 mereka bisa saja langsung menikah, meskipun program memiliki anak bisa menjadi diskusi kemudian.