SERAMBINEWS.COM - Ada yang menarik saat aktivis Papua kembali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
Pemandangan aneh itu terjadi karena ada aktivis Papua yang mengenakan Koteka alias penutup kemaluan di di Pengadilan Negeri Jakarta.
Pemandangan langka itu pun mengundang perhatian warga yang menghadiri persidangan.
Enam aktivis Papua kembali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
Agenda persidangan kali ini adalah tanggapan Jaksa Penuntut Umum, P Permana terkait eksepsi atau nota pembelaan yang kala itu dibacakan oleh kuasa hukum aktivis Papua ini.
Pantauan Kompas.com pada 14.25 WIB, tampak enam aktivis Papua menghadiri ruang sidang Kusumaadmaja 3.
Dua orang diantara enam orang aktivis ini tampak tetap mengenakan koteka meski sempat ditegur majelis hakim pada pekan lalu.
Adapun yang kala itu mengenakan pakaian koteka adalah Anes Tabuni dan Ambrosius Mulait.
Mereka juga mengenakan mahkota khas adat Papua di kepala mereka.
Saat duduk di kursi ruang persidangan, para aktivis ini juga sempat bernyanyi bersama.
Mereka menyanyikan lagu adat Papua dengan judul "Hidang Makhendang".
Mereka didakwa berbuat makar. Ada tiga berkas perkara.
Perkara empat terdakwa menjadi satu berkas, yaitu Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Isay Wenda.
Sementara, terdakwa Anes Tabuni dan Arina Elopere masing-masing satu berkas perkara terpisah.
Penjelasan PN Jakpus
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Makmur sebelumnya menanggapi pernyataan beberapa aktivis Papua yang merasa terdiskriminasi terkait teguran majelis hakim karena penggunaan koteka saat persidangan di PN Jakpus.
Makmur mengatakan, teguran majelis hakim itu tidak berniat untuk mendeskriminasikan mereka.
"Kami sama sekali tidak berniat menunjukkan sikap yang mengarah kepada diskriminasi atau pengucilan terhadap adat istiadat dari teman-teman di Papua," ujar Makmur di PN Jakpus.
Makmur mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan beberapa pimpinan Pengadilan Negeri Jayapura terkait pemakaian koteka saat persidangan.
Menurut pimpinan pengadilan di Jayapura, belum pernah ada terdakwa yang menggununakan koteka .
"Pada prinsipnya penjelasan resmi dari pengadilan yang dimintai pendapatnya tersebut menyatakan bahwa di Papua sendiri tidak pernah ada kejadian terdakwa menghadap ke persidangan dengan menggunakan pakaian dalam bentuk koteka," kata dia.
Makmur mengatakan, menurut informasi dari pengadilan di Jayapura, biasanya koteka itu dikenakan hanya dalam upacara-upacara adat.
Makmur menambahkan, terkait perizinan mengenakan pakaian koteka saat persidangan, ia menyerahkan ke majelis hakim yang memimpin persidangan.
"Untuk selanjutnya kebetulan hari ini sidang, apakah persoalannya majelis hakim tetap mempersilakan yang bersangkutan untuk menggunakan koteka di luar persidangan atau majelis hakim bersikap lain untuk tidak memperkenankan yang bersangkutan untuk menggunakan pakaian koteka.
Itu adalah kewenangan sepenuhnya dari ketua majelisnya," tuturnya.
Apa ti Koteka?
Serambinews.com melansir Wikipedia, Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Pulau Papua.
Koteka terbuat dari kulit labu air, Lagenaria siceraria.
Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur.
Secara harfiah, kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai.
Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya.
Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara.
Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka.
Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Namun, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka.
Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang.
Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari.
Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah.
Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai.
Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah.
Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek sebagai pengganti koteka.
Ini tidak mudah.
Suku Dani di Lembah Baliem saat itu kadang-kadang mengenakan celana, tetapi tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka.
Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye antikoteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk.
Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci.
Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit. (Kompas.com/Serambinews.com)
• Perusahaan Sosial Asal Inggris Temui Wali Kota Langsa, Jajaki Persoalan Pengolahaan Sampah
• Mohamad Khairuddin Bocah 11 Tahun Disandera Abu Sayyaf, Keluarga: Dia Ikut Pamannya Cari Ikan
• Petugas Gaul Tangkap Tiga Ekor Ular di Tamiang, Dua Kobra Satu Sanca Menyelinap di Doorsmeer
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sempat Ditegur Hakim, 2 Aktivis Papua Tetap Pakai Koteka di PN Jakpus", .
Penulis : Cynthia Lova