Qanun tersebut juga dengan jelas telah menetapkan kriteria aliran sesat dan menyimpang dari Islam di antaranya;
* Mengingkari atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan ahlussunnah wal jamaah;
* Menafsirkan Al Quran dan Hadist tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir dan Hadist;
* Menghina dan/atau melecehkan para keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW;
* dan mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i yang sah.
Itulah kriteria aliran dan ajaran sesat yang – menurut penulis – telah marak berkembang di beberapa tempat di Aceh akhir-akhir ini dan menimbulkan keresahan serta kekhawatiran ummat.
Parahnya, kesesatan dan penyimpangan tersebut disampaikan dalam masjid tanpa ada sikap tegas dari pemerintah untuk membasminya.
Lebih keji lagi, praktek ibadah yang sudah dilakukan ratusan tahun oleh masyarakat Islam di Aceh seperti: maulid, ziarah kubur, tawassul, zikir berjamaah dan lain sebagainya yang sudah menyatu sebagai nilai adat dan budaya Aceh disesatkan, dibid’ahkan bahkan dikafir-kafirkan.
Padahal, Qanun tersebut tegas menyebutkan (larangan) pada pasal 7 ayat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan aliran sesat (4) Setiap orang dilarang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau memberi peluang yang patut diduga digunakan untuk penyebar aliran sesat (5) Setiap orang dilarang dengan sengaja menuduh orang lain sebagai penganut atau penyebar Aliran Sesat.
• Bayar Rp 10 Ribu Dijamin Masuk Surga, Pemimpin Aliran Sesat ini Mengaku Dirinya Rasul
• Jumlah Aliran Sesat di Jawa Barat Terbanyak di Indonesia
Dan, secara sadar masyarakat atau kelompok masyarakat telah melakukan pelaporan sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 12 ayat 2 kepada pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini Pemerintah Aceh, baik provinsi maupun kabupaten/kota bahkan ke tingkat gampong, terkesan membiarkan dan lambat dalam mengambil tindakan, sehingga terjadilah kericuhan di beberapa masjid yang awalnya dipicu oleh tuduhan “menyesatkan” amalan masyarakat umum di Aceh, implikasinya adalah BKM selaku pihak yang memberikan ruang kepada orang-orang dianggap menimbulkan perpecahan ummat.
Menjustifikasi kelompok masyarakat main hakim sendiri – sebagaimana pandangan Prof. Dr. Al Yasa’Abubakar – menurut hemat penulis kurang tepat.
Karena seharusnya, pihak berwenang bertindak lebih cepat dan tepat serta memberikan hukuman ‘Uqubat ta’zir sebagaimana diamanahkan Pasal 18 ayat 2; berupa cambuk di depan umum 30 kali atau paling sedikit 15 kali.
Ataupun konsekwensi hukum lainnya sesuai hukum kepada oknum-oknum yang telah menyesatkan dan mengkafirkan amalan masyarakat Aceh.
Respon cepat ini penting, sehingga tidak membuka peluang kepada masyarakat untuk bertindak massal.
Oleh karena itu, sikap pemerintah mengganti pengurus BKM yang terindikasi melanggar Pasal 7 ayat 4, yakni orang-orang yang dengan sengaja menyediakan ruang, fasilitas atau memberi peluang yang patut diduga menyebarkan paham menyimpang adalah langkah yang tepat.