Kupi Beungoh

Adat dan Aliran Sesat

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mustafa Husen Woyla, Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD).

Adat dan Aliran Sesat

(Tanggapan Kepada Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar)

Oleh: Mustafa Husen Woyla*)

KEISTIMEWAAN dan Kekhususan Aceh merupakan salah satu semangat yang melandasi lahirnya Qanun Nomor 08 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah.

Keistimewaan dan Kekhususan tersebut salah satunya adalah Otonomi Khusus dan Pelaksanaan Syariat Islam sesuai dengan apa yang sudah diyakini oleh Rakyat Aceh sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam sampai hari ini.

Bagi orang Aceh, hukum Islam dengan hukum adat merupakan nilai yang hidup sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.

Seperti disebut dalam ungkapan maja Aceh; adat ngôn hukôm lagée szat ngôn siféut.

Oleh karenanya, aqidah yang dimaksud dalam qanun tersebut adalah ahlussunnah wal Jamaah (Pasal 1 poin 20), hal ini sejalan dengan aqidah yang sudah dianut oleh rakyat Aceh dari dulu sampai sekarang.

Karena, ahlussunnah wal Jamaah yang dimaksud adalah pengikut mazhab empat (Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hanbali) dalam fiqh dan Asy’ariyyah serta Maturidiyyah dalam bidang tauhid, sebagaimana telah masyhur disebutkan dalam kitab-kitab klasik.

Bahkan dalam Qanun Meukuta Alam yang menjadi dasar hukum dalam Kesultanan Aceh.

Aspek dan definisi inilah – menurut hemat penulis – dikesampingkan oleh Prof. Dr. Al Yasa’Abubakar dalam tulisannya berjudul “Aliran Sesat dan Peran Serta Masyarakat” (Serambi Indonesia, edisi 01/02/2020) dan menjadi sebab tanggapan ini dituliskan.

Aliran Sesat dan Peran Serta Masyarakat  

Hal ini perlu ditegaskan, karena kehadiran berbagai pemikiran dan aliran sesat saat ini di Aceh telah sangat meresahkan.

Sehingga, masjid sebagai sarana ibadah dan BKM selaku instrumen pengelolanya harus mampu melepaskan diri dari apa yang sudah diamanatkan dan tidak terjebak dengan kesesatan yang terselubung dengan kedok “Kembali kepada Al Quran dan Hadist” hingga akhirnya menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Menurut pantauan penulis, berdasarkan data Sistem Informasi Masjid (SIMAS) Kementerian Agama Republik Indonesia; dari 104 Masjid yang berada dalam Wilayah Kota Banda Aceh, tidak lebih dari 5 Masjid yang mencuat ke publik dengan kasus pembubaran kajian yang dianggap oleh warga sekitar sebagai ajaran yang menyimpang atau sesat.

Berdasarkan Pasal 1 poin 23 Qanun Nomor 08 tahun 2015, Aliran Sesat adalah paham atau pemikiran yang dianut atau diamalkan oleh orang Islam yang dinyatakan oleh MPU sebagai paham atau pemikiran yang menyimpang berdasarkan dalil-dalil syara’ yang dapat dipertanggungjawabkan.

Qanun tersebut juga dengan jelas telah menetapkan kriteria aliran sesat dan menyimpang dari Islam di antaranya;

* Mengingkari atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan ahlussunnah wal jamaah;

* Menafsirkan Al Quran dan Hadist tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir dan Hadist;

* Menghina dan/atau melecehkan para keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW;

* dan mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i yang sah.

Itulah kriteria aliran dan ajaran sesat yang – menurut penulis – telah marak berkembang di beberapa tempat di Aceh akhir-akhir ini dan menimbulkan keresahan serta kekhawatiran ummat.

Parahnya, kesesatan dan penyimpangan tersebut disampaikan dalam masjid tanpa ada sikap tegas dari pemerintah untuk membasminya.

Lebih keji lagi, praktek ibadah yang sudah dilakukan ratusan tahun oleh masyarakat Islam di Aceh seperti: maulid, ziarah kubur, tawassul, zikir berjamaah dan lain sebagainya yang sudah menyatu sebagai nilai adat dan budaya Aceh disesatkan, dibid’ahkan bahkan dikafir-kafirkan.

Padahal, Qanun tersebut tegas menyebutkan (larangan) pada pasal 7 ayat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan aliran sesat (4) Setiap orang dilarang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau memberi peluang yang patut diduga digunakan untuk penyebar aliran sesat (5) Setiap orang dilarang dengan sengaja menuduh orang lain sebagai penganut atau penyebar Aliran Sesat.

Bayar Rp 10 Ribu Dijamin Masuk Surga, Pemimpin Aliran Sesat ini Mengaku Dirinya Rasul

Jumlah Aliran Sesat di Jawa Barat Terbanyak di Indonesia

Dan, secara sadar masyarakat atau kelompok masyarakat telah melakukan pelaporan sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 12 ayat 2 kepada pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini Pemerintah Aceh, baik provinsi maupun kabupaten/kota bahkan ke tingkat gampong, terkesan membiarkan dan lambat dalam mengambil tindakan, sehingga terjadilah kericuhan di beberapa masjid yang awalnya dipicu oleh tuduhan “menyesatkan” amalan masyarakat umum di Aceh, implikasinya adalah BKM selaku pihak yang memberikan ruang kepada orang-orang dianggap menimbulkan perpecahan ummat.

Menjustifikasi kelompok masyarakat main hakim sendiri – sebagaimana pandangan Prof. Dr. Al Yasa’Abubakar – menurut hemat penulis kurang tepat.

Karena seharusnya, pihak berwenang bertindak lebih cepat dan tepat serta memberikan hukuman ‘Uqubat ta’zir sebagaimana diamanahkan Pasal 18 ayat 2; berupa cambuk di depan umum 30 kali atau paling sedikit 15 kali.

Ataupun konsekwensi hukum lainnya sesuai hukum kepada oknum-oknum yang telah menyesatkan dan mengkafirkan amalan masyarakat Aceh.

Respon cepat ini penting, sehingga tidak membuka peluang kepada masyarakat untuk bertindak massal.

Oleh karena itu, sikap pemerintah mengganti pengurus BKM yang terindikasi melanggar Pasal 7 ayat 4, yakni orang-orang yang dengan sengaja menyediakan ruang, fasilitas atau memberi peluang yang patut diduga menyebarkan paham menyimpang adalah langkah yang tepat.

Bahkan, jika terbukti melanggar aturan sudah selayaknya Pemerintah mengganjarnya dengan hukuman yang berlaku sebagaimana diamanahkan dalam Qanun No. 08 tahun 2015.

Jika terus dibiarkan atau diberikan ruang kepada oknum-oknum yang berpotensi memecah belah ummat, maka dikhawatirkan masyarakat Aceh akan menentukan sikapnya sendiri.

Karena bagi orang Aceh (sebagaimana Narit Maja);

geutém maté bak limông pat malée: keusa agama allah jipeuhina, dua ma ngôn ku teuh diseumalée, lhée aneuk dara teuh jipeukaru, peut inông peureumöeh ka göp cuca, limông céu di peuiséük ië jipeuthöe jan seumula.

Jelaslah, bagi Aceh agama adalah marwah yang sama harganya dengan darah.

Semoga Allah menjauhkan kita dari pemahaman menyimpang dan prilaku radikal serta dilindungi dari orang-orang yang berlagak panitia surga-neraka. Amin.

*) PENULIS adalah Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah dan Pengamat Bumoe Singet.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini