SALAM SERAMBI

Gencarkan Perang Narkoba di Aceh

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Siswa SMP mengikuti acara sosialisasi dan penyuluhan bahaya Narkoba yang berlangsung di SMP Negeri 1 Wih Pesam, Bener Meriah, Sabtu (22/2/2020). Humas Bener Meriah

BERDASARKAN hasil survei nasional, Aceh berada di urutan keenam sebagai provinsi paling rawan narkoba di Indonesia, setelah Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) Pusat diwakili Deputi Pemberdayaan Masyarakat BNN RI, Irjen Pol Drs Dunan Ismail Isja MM dalam sambutannya saat berlangsung Panen Perdana Jagung Hibrida di Batee Raya, Kecamatan Juli, Bireuen, Jumat (21/2/ 2020), sebagaimana diberitakan Harian Serambi Indonesia, Minggu kemarin. Jagung hibrida yang dipanen itu merupakan Program Grand Design Alternative Development (GDAD) atau program pengembangan
tanaman alternatif pengganti ganja.

Menurut Dirjen Pol Dunan Ismail, jumlah pecandu narkoba di Aceh pada tahun lalu tercatat 52.328 orang. Data ini didapat dari pengadilan negeri di seluruh Aceh pada tahun 2019. Selain itu, pengadilan juga telah menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap 20 orang bandar narkoba di Aceh.

Menurut Dunan, kondisi tersebut tentunya sangat mengganggu bagi pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan Aceh di masa depan. Oleh karenanya, berbagai pendekatan humanis dalam menanggulangi narkoba di Provinsi Aceh terus
digalakkan, termasuk melakukan program GDAD yang terus dimonitor
oleh Bappenas.

Apa yang disampaikan Irjen Pol Dunan Ismail itu tentu saja membuat hati kita miris, karena begitu banyak pecandu narkoba di provinsi yang hanya berpenduduk 5,2 juta jiwa ini. Belum lagi kalau dibandingkan dengan data tahun 2018, jumlah pecandu narkoba di provinsi ini sudah mencapai 117.000 lebih. Lebih ironis lagi, pecandu narkoba di Aceh justru dari kalangan orang yang belum punya penghasilan tetap, yakni pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya mencapai 69.066 orang. Sedangkan dari kalangan pekerja mencapai 48.000 orang lebih. Sekitar 5.400 orang di antaranya kini sedang menjalani hukuman di lembaga-lembaga pemasyarakatan yang tersebar di
seluruh Aceh. Belum lagi yang menjalani hukuman di LP Tanjung Gusta Medan, di Batam, Riau, Lampung, bahkan Jawa Timur, dan Jakarta.

Di Aceh sendiri sudah sejak 2015 dideklarasikan oleh Wakil Gubernur Muzakir Manaf bahwa Aceh darurat narkoba. Tahun lalu Kepala BNN Provinsi Aceh, Brigjen Pol Faisal Abdul Naser juga menyatakan bahwa kondisi narkoba di Aceh sudah lampu
merah.

Namun hingga tahun 2020 ini belum terlihat langkah-langkah konkret dan terencana secara komprehensif yang dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh dalam upaya memerangi narkoba. Seolah semuanya menjadi tanggung jawab BNN.

Kini tentu sudah sangat mendesak upaya bersama secara bahu-membahu melibatkan semua instansi terkait untuk memutus mata rantai narkoba pada setiap gampong di Aceh. Selama ini kita dengar hanya Pemko Langsa yang serius memutus
mata rantai narkoba di gampong. Wali Kota Langsa sudah menginstruksikan perangkat desa dan warga setempat untuk mengusir jika ada bandar atau pengedar sabu di kampung tersebut.

Selain Langsa, belum ada wali kota atau bupati yang setegas dan seberani ini memerangi bandar dan pengedar narkoba di Aceh. Oleh karenanya, sudah sangat mendesak upaya yang bersungguh-sungguh untuk mengajak mengajak para para keuchik dan tokoh pemuda memerangi narkoba di desa-desa.

Memberantas narkoba memang lebih baik dilakukan di gampong-gampong, antara lain, melalui strategi ‘pageue gampong’. Wali kota dan bupati lainnya di seluruh Aceh perlu meniru langkah tegas dan strategis yang dilakukan Wali Kota Langsa agar kampung kampung di Aceh memiliki kewaspadaan dan ketanggapan dalam mendeteksi jaringan narkoba dan memberantas hingga ke akar-akarnya.

Kepala daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota harus berada di garda terdepan bersama BNNK dan unsur kepolisian dalam menggencarkan perang melawan narkoba ini, sebelum semuanya jadi terlambat dan penyesalan tak ada lagi
gunanya.

Julukan Aceh selama ini sebagai “lumbung ganja” sudah sangat menyakitkan. Jangan lagi karena ketidakpedulian kita suatu saat Aceh digelari sebagai “lumbung sabu-sabu”. Mari kita selamatkan generasi penerus Aceh dari jerat narkoba
agar eksistensi dan tamadun Aceh tetap terjaga. Ingat, Aceh bisa-bisa hanya tinggal nama bila generasi mudanya ters berasyik- masyuk dengan sihir narkoba.

Berita Terkini