Di tempat itu Sengeda melukis seekor gajah putih di helai “neniyon” atau pelepah bambu kering. Sengeda kemudian memainkan lukisan “neniyon” itu dengan memanfaatkan efek sinar matahari, sehingga terkesan lukisan gajah menjadi sangat hidup dan berwarna putih.
Putri sultan yang berada tak jauh dari tempat itu melihat pantulan “cahaya” gajah putih dan langsung menarik perhatiannya. Ia pun mendekati Sengeda dan menayakan tentang binatang bertubuh besar dan berbelalai itu.
Sengeda kemudian menceritakan, bahwa lukisan yang ia buat adalah sosok gajah putih yang terdapat di hutan Kerajaan Linge.
Ia bersedia menangkap dan menyerahkannya kepada putri, asalkan mendapat perintah dari Sultan. Masa itu Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Alaidin Ri'ayah II, berkuasa pada 1539-1571.
Sultan memerintahkan Cik Serule menangkap gajah putih yang dilukisan Sengeda di awal. Cik Serule sempat gusar sebab sama sekali tidak mengetahui tentang gajah putih. Tapi Sengeda member jaminan, bahwa ia mampu menangkap gajah putih.
Sekembali ke Tanoh Linge, Sengeda mempersiapkan upacara penangkapan. Ia sendiri yang bertindak sebagai --semacam --pawang.
Di sebuah kawasan hutan, Sengeda dan seluruh peserta upacara memainkan alat-alat bunyi yang mengeluarkan beragam bebunyian, mengiringi jangin (nyanyian), sampai akhirnya muncul sosok gajah berwarna putih. Anehnya, gajah itu diam saja.
Sengeda kemudian menarikan gerak-gerakan tertentu yang mirip gerakan belalai gajah, diiringi tabuhan musik yang mistis. Sengeda memainkan gerak tarinya dengan sangat indah dan khidmat.
Tangannya membuat gerak salam berulang-ulang, sampai akhirnya gajah mulai bergerak. Gajah itulah yang selanjutnya diantarkan ke Kesultanan Aceh Darussalam dan diserahkan kepada putri sultan oleh Sengeda.
Masyarakat Gayo menyebut gajah putih yang ditemukan Sengeda adalah penjelmaan Bener Meriah, yang mati akibat pengkhianatan Reje Linge XIV.
Seiring dengan itu, borok Reje Linge XIV terkuak, ia mendapat hukuman dan kekuasaannya dicabut. Sejak itu tampuk kekuasaan Kerajaan Linge diserahkan kepada Sengeda.
Dalam upacara perkawinan Gayo, gerakan yang diperagakan Sengeda adalah gerakan “guru didong” yang mengajak pengantin pria (aman mayak) untuk bangun dan menari. Aman mayak dalam bagian ini ibarat gajah putih yang awalnya diam.
Tari Guel terbagi kepada empat babak, munatap, redep atau dep, ketibung dan cincang nangka. Munatap berisi gerak salam yang khidmat oleh “guru didong,”diikuti dengan bangkitnya aman mayak dari duduk (munuwet) serta gerak sining lintah.
Babak Redep atau Dep guru didong dan aman mayak memainkan gerakan kepur nunguk dan diikuti dengan perubahan irama musik yang sebelumnya lembut menjadi redep, lebih riuh dan gerakan penari menjadi lincah.
Babak berikutnya, bunyi-bunyian makin meriah dalam irama “ketibung” dengan gerakan dan puncak kemeriahan adalah irama “cincang nangka” atau mencencang nangka. Umumnya seluruh pengiring dan yang menyaksikan tarian tersebut akan ikut menari bersama sambil menaburkan “tepung tawar."