Gajah Bener Meriah

Gajah Bener Meriah, Abang Kul dan Tragedi Gajah Putih

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Nur Nihayati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seniman Gayo menari bersama gajah. Gerak Tari Guel, meniru gerak belalai gajah.

Ragam gerak dalam tari Guel terdiri dari munatap atau salam semah, sining lintah, kepur nunguk, semer kalang (sengker kalang) dan dah-papan.

Laporan Fikar W.Eda  |  Bener Meriah

SERAMBINEWS.COM, REDELONG--Orang Gayo dan gajah punya hubungan sangat kuat. Pertama, orang Gayo memanggil gajah denga sebutan "abang kul" artinya abang paling besar atau abang terbesar atau abang besar.

Dalam struktur kekerabatan adat Gayo, yang dipanggil "abang kul" memperoleh kehormatan sebagai orang yang dituakan. "Kul" dalam bahasa Gayo, berarti besar. Itu boleh jadi terkait tubuh gajah yang memang hewan besar.

Bupati Bener Meriah Tgk Sarkawi menjelaskan prihal ini saat mengawali pertemuan dengan Dirjen KSDA KLHK, Wiratno dan wakil rakyat Aceh di Komisi IV DPR RI, Muslim, dari Partai Demokrat, pada 24 Februari 2020 lalu.

Mempertegas pernyataan ini, Bupati Sarkawi menyatakan bahwa tidak satu ekor gajah pun yang mati di tangan  orang Gayo, meski gajah telah berulang kali mengobrak-abrik tanaman dan kebun, juga rumah penduduk. 

Gajah Bener Meriah (1) Dihalau dengan Dentum Petasan

Berdalih Gatal, Seorang Pria Pamer Alat Vitalnya di Halte

Islamic Jammer Karya Mahasiswa UIN, Bikin Heboh Setelah Dua Tahun Jadi Jawara

Maksudnya, semarah-marah orang Gayo kepada hewan berbelai itu, tidak tega untuk menjeratnya, menombak, atau meracuninya. "Kita ingin gajah tetap terlindungi, tapi gajah juga tidak merusak kebun dan rumah penduduk," kata Bupati Sarkawi.

Di Bener Meriah terdapat nama-nama kampung yang terkait dengan gajah, seperti Pondok (dari Ponok) Gajah, Timang Gajah, Arul Gading (lembang gading --gajah), Atu Gajah (batu gajah), Serempah (sisa makanan gajah atau tora ni gajah masuk Aceh Tengah) dan lai-lain.

Semua nama-nama tersebut, disinyalir memiliki hubungan demgan gajah. Seperti Pondok Fajah atau Ponok Gajah, menurut cerita Marwan Hakim (75  tahun) adalah tempat lintasan gajah.

Ia masih ingat ketika masih kecil, gajah sering melintas di sana.

Selain itu, tarian Gayo yang terkenal, Tari Guel, terkait dengan kemunculan gajah putih, sebagai jelmaan dari pemuda bernama Bener Meriah atau Bener Merie. Kisah ini  bagian dari legenda gajah putih yang terus diingat sampai sekarang.

Tari Guel merupakan akar seluruh tari di Gayo. 

Masyarakat mengaitkan Tari Guel dengan tragedi  Bener Meriah dan Sengeda, dua bersaudara kandung putra Reje Linge XIII dari ibu dari Keraton Malaka.  Ayah mereka, Reje Linge XIII, menjadi penguasa di Pulau Lingga (sekarang Kepulauan Riau, pen) setelah pembebasan Malaka oleh Kerajaan Aceh Darussalam dari cegkaraman Portugis.  

Penulis sejarah Gayo, MH. Gayo dalam "Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda" terbitan PN.

Balai Pustaka 1982, menyebutkan Raja Linge XIII masa itu duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dan ikut serta dalam  pembebasan Kerajaan Malaka dari  Portugis pada 1511.

Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di Sumatera, dan keluargnya diungsikan ke Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada masa inilah Kerajaan Aceh membantu pembebasan Malaka. Hubungan Kerajaan Aceh dan Malaka makin erat dan berkembang. Terjadi pula perjawinan politik antara Keraton Aceh dan Keraton Malaka.

Putra Sultan Malaka, bernama Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya, seorang putri Sultan Malaka dinikahkan dengan pembesar Kerajaan Aceh, yakni Reje Linge XIII yang ikut serta dalam perang mengusir Portugis dari Malaka.

Pada tahun 1533, tulis MH Gayo, terbentuklah Kerajaan Johor baru yang dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah.

Reje Linge XIII  duduk dalam kabinet sebagai wakil dari Kerajaan Aceh Darussalam. Oleh Sultan Johor Alaudin Mansyur Syah, menugaskan Reje Linge XIII membangun sebuah pulau di Selat Malaka yang masuk dalam wilayah Kerajaan Johor.

Pulau tersebut  belakangan dikenal dengan nama Pulau Lingga.

Perkawinan Reje Linge XIII dengan putri Keraton Malaka tadi melahirkan dua putra. Paling tua bernama Bener Merie atau Bener Meriah dan adiknya bernama Sengeda. Reje Linge XIII sendiri meninggal dan dimakamkan di Pulau Lingga.

Suatu ketika, istri Reje Linge XIII, bersama kedua putranya, Bener Meriah dan Sengeda saat masih kecil, pindah ke Kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika  Bener Meriah dan Sengeda beranjak  dewasa, barulah diberitahu oleh sang ibu, asal usul putranya itu.  Abang beradik ini lalu pulang  menjenguk Tanoh Linge, tanah leluhur ayahandanya, Reje Linge XIII.

Sebagai identitas diri, kepada Bener Meriah dan Sengeda diberikan cincin warisan Reje Linge XIII. Ketika itu, di Linge yang berkuasa Reje Linge XIV, putra Reje Linge XIII dari istri yang berbeda.

Kedatangan Bener Meriah dan Sengeda ke Linge  mendapat penolakan keras dari Reje Linge XIV yang berkuasa. Kehadiran   Bener Meriah dan Sengeda dicurigai merebut tampuk kekuasaan.

Dengan penuh siasat, Bener Meriah dan Sengeda diperintah bunuh atas tuduhan telah membunuh Reje Linge XIII. Bener Meriah menemui ajal. Tapi tidak dengan Sengeda. Ia diselamatkan  Cik Serule, Perdana Menteri Kerajaan Linge masa itu.

Suatu malam Sengeda mimpi bertemu Bener Meriah, yang memberi petunjuk tentang adanya  gajah putih dan cara menangkapnya. Gajah tersebut kelak diberikan kepada Sultan Aceh sebagai hadiah untuk putri sultan.

Dalam satu sidang tahunan di Kesultanan Aceh Darussalam, Cik Serule datang memenuhi undangan  sebagai utusan Kerajaan Linge.

Sengeda yang ia selamatkan, dibawa serta ke istana Sultan. Pada saat sidang berlangsung, Sengeda—sesuai petunjuk mimpinya—mencoba menarik perhatian putri sultan dengan cara bermain-main di Balai Gading.

Di tempat itu Sengeda melukis seekor gajah putih di helai “neniyon” atau pelepah bambu kering. Sengeda kemudian memainkan lukisan “neniyon” itu dengan memanfaatkan efek sinar matahari, sehingga terkesan lukisan gajah menjadi sangat hidup dan berwarna putih.

Putri sultan yang  berada tak jauh dari tempat itu melihat pantulan “cahaya” gajah putih dan langsung menarik perhatiannya. Ia pun mendekati Sengeda dan menayakan tentang binatang bertubuh besar dan berbelalai itu.

Sengeda kemudian menceritakan, bahwa lukisan yang ia buat adalah sosok gajah putih yang terdapat di hutan Kerajaan Linge.

Ia bersedia menangkap dan menyerahkannya kepada putri, asalkan mendapat perintah dari Sultan. Masa itu Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Alaidin Ri'ayah II, berkuasa pada 1539-1571.

Sultan memerintahkan Cik Serule  menangkap gajah putih yang dilukisan Sengeda di awal. Cik Serule sempat gusar sebab sama sekali tidak mengetahui tentang gajah putih.  Tapi Sengeda member jaminan, bahwa ia mampu menangkap gajah putih.

Sekembali ke Tanoh Linge, Sengeda mempersiapkan upacara penangkapan. Ia sendiri yang bertindak sebagai --semacam --pawang.

Di sebuah kawasan hutan, Sengeda dan seluruh peserta upacara memainkan alat-alat bunyi yang mengeluarkan beragam bebunyian, mengiringi jangin (nyanyian), sampai akhirnya muncul sosok gajah berwarna putih. Anehnya, gajah itu diam saja.

Sengeda kemudian menarikan gerak-gerakan tertentu yang mirip gerakan belalai gajah, diiringi tabuhan musik yang mistis. Sengeda memainkan gerak tarinya dengan sangat indah dan khidmat.

Tangannya membuat gerak salam berulang-ulang, sampai akhirnya gajah mulai bergerak. Gajah itulah yang selanjutnya diantarkan ke Kesultanan Aceh Darussalam dan diserahkan kepada putri sultan oleh Sengeda.

Masyarakat Gayo menyebut gajah  putih yang ditemukan Sengeda adalah penjelmaan  Bener Meriah, yang mati akibat pengkhianatan Reje Linge XIV.

Seiring dengan itu, borok Reje Linge XIV terkuak,  ia mendapat hukuman dan kekuasaannya dicabut. Sejak itu tampuk kekuasaan Kerajaan Linge diserahkan kepada Sengeda.

Dalam upacara perkawinan Gayo,  gerakan yang diperagakan Sengeda adalah gerakan “guru didong” yang mengajak pengantin pria (aman mayak) untuk bangun dan menari. Aman mayak dalam bagian  ini ibarat gajah putih yang awalnya diam.

Tari Guel terbagi kepada empat babak, munatap,  redep atau dep, ketibung  dan  cincang nangka.  Munatap berisi  gerak salam yang khidmat oleh  “guru didong,”diikuti dengan bangkitnya  aman mayak dari duduk (munuwet) serta gerak sining lintah. 

Babak Redep atau Dep  guru didong dan aman mayak memainkan gerakan kepur nunguk dan diikuti dengan perubahan irama musik yang sebelumnya lembut menjadi redep, lebih riuh dan gerakan penari menjadi lincah.

Babak berikutnya, bunyi-bunyian  makin meriah dalam irama “ketibung” dengan gerakan dan puncak kemeriahan adalah irama “cincang nangka” atau mencencang nangka. Umumnya seluruh pengiring dan yang menyaksikan tarian tersebut akan ikut menari bersama sambil menaburkan “tepung tawar."

Ragam gerak dalam tari Guel terdiri dari munatap atau salam semah,  sining lintah, kepur nunguk, semer kalang (sengker kalang)  dan dah-papan. 

Munatap (salam semah)adalah gerakan yang mempertemukan ujung jari tangan memebentuk segi tiga sebagai wujud  penghormatan khidmat dan diikuti gerakan merentang tangan kanan persis belitan belalai gajah saat mencabut sesuatu. Kepur Nunguk adalah gerakan  burung Punyuk yang mengibas-ngibaskan ekor dan sayap. 

Sining lintah, adalah geliat lintah di atas permukaan tanah dimana kaki ikut berlari-lari kecil. 

Semer kalang atau sengker kalang adalah gerakan burung elang  menerkam mangsa. Dah papan, perpaduan  dari semua gerakan  yang ditarikan secara bebas.

Tari ini ditutup dengan suasana meriah dan gembira.(*)

Berita Terkini