SERAMBINEWS.COM, HONG KONG - Demonstran Hong Kong menyerukan kemerdekaan, saat mereka melakukan unjuk rasa menentang UU Keamanan Nasional yang hendak diterapkan China.
Para demonstran pro-demokrasi itu meneriakkan "Kemerdekaan Hong Kong, satu-satunya jalan keluar."
Mereka mengungkapkan kekecewaan pada Beijing yang secara signifikan membatasi kebebasan dan otonomi Hong Kong, yang telah tercantum dalam kebijakan "satu negara dua sistem".
Kebijakan itu tertuang dalam Deklarasi Bersama 1997 saat Inggris menyerahkan kendali atas bekas wilayah jajahannya, ke China.
Pihak berwenang di Hong Kong lalu menangkap sedikitnya 180 demonstran pada Minggu (24/5/2020), sebagaimana diwartakan Newsweek.
"Polisi telah mengambil tindakan tegas untuk menegakkan hukum.
Hingga jam 9.30 malam, setidaknya 180 orang telah ditangkap terutama karena pelanggaran seperti berpartisipasi dalam dewan yang tidak sah, dewan yang melanggar hukum, dan perilaku tidak teratur di tempat umum," kata kepolisian Hong Kong.
Video yang tersebar di media sosial menunjukkan kerumunan demonstran mengangkat tangan dan menyanyikan Glory to Hong Kong, sebuah lagu yang dikarang saat demonstrasi Hong Kong 2019.
Foto-foto yang tersebar online juga menunjukkan polisi menyuruh para demonstran tiarap sebelum melakukan penangkapan.
Kepada Newsweek, peneliti senior Human Rights Watch Maya Wang memperingatkan, otonomi daerah Hong Kong sedang terancam.
Dia menjelaskan bahwa "keputusan ini secara mendasar akan mengubah Hong Kong."
"Pembatasan pada begitu banyak kebebasan dan nilai-nilai fundamental yang berbeda ini akan mengubah cara hidup kita."
"Ini akan berdampak pada, misalnya, kebebasan media, kebebasan pers, kebebasan masyarakat sipil," terangnya.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne, dan Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne merilis pernyataan bersama, yang menyatakan keprihatinan tentang tindakan China.
"Membuat undang-undang seperti itu atas nama Hong Kong tanpa melibatkan rakyatnya, legislatif, atau peradilan jelas akan merusak prinsip 'Satu Negara, Dua Sistem', di mana Hong Kong dijamin otonomi tingkat tinggi."