Seniman Berkarya

Herman RN, Butuh Lima Tahun Menembus KOMPAS, Dua Tahun Menembus SERAMBI  

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Jalimin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Herman RN, Sastrawan Aceh.

Laporan Fikar W Eda | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Tidak banyak sastrawan negeri ini yang karyanya menembus media nasional di Jakarta, seperti KOMPAS. Selain  ruang terbatas, persaingan semakin sengit dan ketat.

Sastrawan Aceh, Herman RN, membutuhkan waktu lima tahun, sampai cerita pendeknya  berjudul "Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku," diterbitkan di rubrik Seni KOMPAS. Cerpen tersebut juga berhasil masuk dalam Buku Cerpen Pilihan KOMPAS, terbit 2011. Untuk ini, Herman mendapat honorarium Rp 2 juta.

Kisah beratnya perjuangan menembus KOMPAS, disampaikan Herman dalam "Obrolan Malam" bersama penyair  Mustafa Ismail yang disiarkan melalui instagram, Minggu (31/5/2020) malam.

Herman RN, lahir di pelosok Kluet, Aceh Selatan, 20 April 1983, bukanlah jenis manusia yang mudah menyerah.

Ia  membuktikan bahwa tekad disertai kesungguhan dan tidak berhenti belajar, telah mengantarkan dirinya sebagai sastrawan diperhitungkan di Indonesia.

Selama lima tahun itu, Herman telah 83 kali mengirim naskah  cerpen ke KOMPAS. Mulai mengirim pada 2005, dan baru dimuat pada 2010.

"Saya merasa perlu menembus KOMPAS setelah saya banyak menulis di media lokal di Aceh," kata Herman.

Memang pada 2006, cerpen karyanya dimuat REPUBLIKA, tapi itu hasil pemenang lomba. Waktu itu Herman ikut Lomba Cipta Cerpen Nasional,  diselenggarakan Creative Writing Institute (CWI) bekerja sama dengan Kemenpora RI, pada 2005. Herman menjadi juara III. Karya para pemenang dimuat di REPUBLIKA.

Kemenangan di lomba ini pula yang mengantarkan Herman pertama sekali naik pesawat dan menginjakkan kakinya di Jakarta.

Tapi Herman belum merasa puas dan terus menimbun hasrat menulis di KOMPAS. Itulah alasan kenapa Herman terus mengirim naskah ke koran tersebut.

Pengalaman "menunggu karya dimuat media," juga dialami Herman saat mulai merintis karir sebagai penulis prosa, puisi dan esai di SERAMBI INDONESIA. Herman mengaku membutuhkan waktu dua tahun, mulai 2002 -2004,  sehingga karyanya tayang di SERAMBI.

Herman menjalani masa kecil  di kampung halaman bersama nenek dan kakek, terpisah dengan kedua orang tua yang merantau ke Bener Meriah (dulu masuk kawasan Aceh Tengah). Sejak SD, SMP, hingga SMA, sekolah di kampung dengan dibiayai kakek. Setelah kakek meninggal, biaya sekolah ditanggung oleh Pakcik (adik ayah).

Tahun 2002 mulai kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat tsunami tahun 2004, sempat berpikir berhenti kuliah karena Pakcik yang biasa membiayai kuliah mengaku tidak mampu lagi membiayai kuliah.

Melihat teman-teman masih ada yang kembali ke bangku kuliah, akhirnya Herman memutuskan tetap kuliah dengan mencari biaya sendiri. Kadang ia jadi buruh bangunan. Akhirnya baru bisa menyelesaikan kuliah sarjana tahun 2007. Tahun 2008 melanjutkan kuliah di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI) Universitas Syiah Kuala dan selesai dengan pujian (cum laude).

Sejak mahasiswa, sudah mulai mencoba menulis, terutama karya sastra.  Ia berhasrat karyanya bisa dimuat SERAMBI. Baru 2005 karyanya terpampang di koran tersebut dan sejumlah media lokal lainnya yang terbit di Aceh.

Herman membutuhkan perjuangan tidak ringan guna memenuhi hasratnya itu. Ia rela menyisihkan uang makannya, pergi ke tempat rental komputer untuk menulis dan memprint naskah. Ia mengantarkan sendiri  naskah ke redaksi SERAMBI, kala itu di Desa Baet Aceh Besar. Ia berjalan kaki dari Simpang Mesra ke Kantor SERAMBI, untuk menghemat ongkos. Itu dia lakukan selama dua tahun!

Kalau saat ini Herman menjadi salah seorang pemikir dan penulis prosa dan puisi yang baik di Aceh, itu ia peroleh berkat semangat pantang menyerah.

Herman juga mengikuti berbagai lomba menulis. Beberapa prestasi yang berhasil diraihnya, antara lain Juara I menulis cerita rakyat se-Aceh (Dinas Kebudayaan Aceh, 2005); Harapan I menulis cerita rakyat se-Indonesia (Pusat Bahasa, 2006); Juara III menulis naskah radio se-Aceh (Dokarim, 2006); dan Juara III menulis cerita rakyat se-Indonesia (Pusat Bahasa, 2007).

Kemudian Juara I menulis cerita rakyat se-Aceh (Dinas Kebudayaan Aceh, 2008); Juara II menulis esai lingkungan (Walhi, 2011). Tahun 2009, ia diberikan anugerah sastra untuk kategori prosa oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh.

Sejak itu, Herman mulai sering menjadi fasilitator menulis kreatif. Kerap menjadi juri lomba baca dan tulis puisi, cipta cerpen, dan menulis esai. Sempat dipercaya sebagai redaktur budaya (sastra) pada salah satu harian lokal terbitan Banda Aceh. Sejak 2007 sampai sekarang  mengelola media adat "tuhoe" pada Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh. Pernah pula menjadi pengelola media adat theChiek pada LSM Prodeelat.

Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan naskah radio terkumpul dalam beberapa antologi bersama.

Adapun karya tunggalnya antara lain Indahnya Nikmat Tuhan (cerita anak, 2006); Putroe Kaoy (cerita anak, 2016); Pembunuh Ketujuh (antologi cerpen, 2016); Arsitektur Rumah Tradisional Aceh (bacaan anak sekolah SMA, 2018); Asyi dan Lanskap Tarian Tradisional Aceh (cerita anak, 2019); Jurnalistik Praktis (buku Jurnalistik, 2018); Panduan Menulis Praktis (buku ajar menulis kreatif, 2019).

Tahun 2013-2015, Herman mendapatkan kesempatan menjadi dosen pada Fakultas Sastra dan Sains Kemasyarakatan di Fatony University, Thailand. Sejak tahun 2015 menjadi dosen tetap di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala. Di sela-sela kegiatan mengajar, ia menyempatkan diri menjadi peneliti dan tetap menulis di media masa.(*)

Viral Suami Pukul Wajah dan Antuk Kepala Istri, Diduga Soal Biaya Belanja Rumah Tangga

Ekspor Belasan Ribu Ton Kopi Arabika Gayo Masih Tertunda

Peringati Hari Lahir Pancasila, Kompi 1 Batalyon C Pelopor Brimob Polda Aceh Bersihkan Masjid

Berita Terkini