16 Juni 1948 dalam Sejarah

‘Di Tiang Pancang, Mereka Membaca Tangis Soekarno’

Penulis: Fikar W Eda
Editor: Nur Nihayati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fikar W Eda saat membaca puisi di tiang pancang pada lahan bekas Hotel Atjeh Banda Aceh beberapa waktu lalu

Tanpa pengeras suara, secara bergantian mereka membacakan puisi tentang Banda Aceh dan kesaksian berbagai peristiwa mutakhir yang terjadi di bumi Aceh.

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Para penyair duduk di ujung masing-masing tiang pancang pada lahan bekas Hotel Atjeh Banda Aceh, Minggu (22/3/2009) sore selepas Ashar.

Tanpa pengeras suara, secara bergantian mereka membacakan puisi tentang Banda Aceh dan kesaksian berbagai peristiwa mutakhir yang terjadi di bumi Aceh.

Ada pula yang menari di ujung tiang, menyiratkan luka hati.

Ekspresi penyair dan aktivis seni Aceh itu berakhir menjelang kumandang azan maghrib.

Sederet penyair yang ambil bagian dalam “Pentas Seni Membaca Tiang Pancang Hotel Atjeh” itu
antara lain AA Manggeng Putra, LK Ara, Salman Yoga, Dino Umahuk, Jamal Sharif, Fikar W.Eda,
Rahmad Sanjaya, D Keumalawati, Devie Komala Syahni, Ikhwannulfitri, dan Muzzakir, penari Rubbani Wahed dari Samalanga.

Acara yang digagas Forum Seni Budaya Aceh (Forum SeBA) itu sedianya diselenggarakan Sabtu (21/3/2009) sore.

Namun batal karena hujan lebat menyiram Kota Banda Aceh.

Ini tiang tiang pancang pada lahan bekas Hotel Atjeh Banda Aceh (For Serambinews.com)

Hari Ini 72 Tahun Lalu, Ketika Soekarno Menolak Jamuan Makan Malam Saudagar di Hotel Atjeh

Seulawah, Burung Besi yang Kini Teronggok Sepi

Korban Puting Beliung di Aceh Utara Sudah Sepekan Mengungsi, Begini Kondisinya

Membaca tiang pancang bekas Hotel Atjeh adalah membaca air mata Soekarno ketika mengharapkan bantuan rakyat Aceh untuk pembelian pesawat terbang Dakota Seulawah 001, pada 16 Juni 1948.

Sebuah prasasti pada selembar logam yang dipasang di bagian depan, bersisian dengan jalan
raya depan Masjid Raya Baiturrahman menyiratkan dengan jelas, bagaimana Presiden Pertama RI
Soekarno hadir dan menitikkan airmata di tempat itu.

Riwayat pendek tersebut ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Aceh.

Diawali pengantar penyair Fikar W.Eda tentang keberadaan Hotel Atjeh.

Tentang tangis sang Presiden yang mengharap sokongan rakyat ketika kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung.

Puluhan tiang pancang yang terpacak di bekas areal Hotel Atjeh itu sebetulnya akan digunakan untuk menyangga pembangunan kembali hotel bersejarah tersebut.

Sebuah konsorsium besar di bawah menagemen Qualiti Hotel International, seperti tertera dalam website-nya,merencanakan melanjutkan pembangunan Hotel Atjeh pada 2007 silam.

Namun krisis ekonomi dan moneter yang parah menyebabkan rencana itu urung terlaksana.

D Keumalawati memilih membaca puisi di atas rumput.

Suaranya menderu bersama angin sore. Vokalis Sanggar Matahari, Devie K Syahni mengumandangkan “Kangen” puisi karya Rendra.

Salman Yoga, pimpinan Teater Reje Linge yang kini menjadi dosen di Darussalam membacakan sekitar lima judul puisi lanskap.

Tak banyak orang menyaksikan peristiwa menjelang senja itu.

Masyarakat yang melintas di kawasan Taman Sari sesekali hanya melirik keramaian di tiang pancang.

Cuma satu dua orang yang berhenti menikmati atraksi gratis kawanan penyair yang telah lama kehilangan ruang berekspresi karena Aceh disibukkan dengan gemuruh rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.

Perupa Aceh, Mahdi Abdullah merencanakan kembali memanfaatkan ruang tiang pancang bekas Hotel Atjeh itu untuk ruang ekspresi.

Mahdi adalah satu-satunya pelukis Aceh yang pernah berpameran tunggal di Hotel Atjeh pada 1990 dan 1995.(fikar w eda)

Berita Terkini