Saat ini, Ambiya kuliah di Universitas Cut Nyak Dhien Cabang Idi jurusan Ilmu Hukum. Sedangkan adiknya Cut Anisa kuliah di Banda Aceh.
Selama ini, ungkap Ambiya, ia kerap mendapat perhatian dari kalangan pejuang GAM di Aceh, tapi minim mendapat perhatian dari pemerintah.
“Harapan kami agar pemerintah lebih memperhatikan anak-anak pejuang GAM yang sudah tidak ada lagi ayah dan ibunya. Jangan diabaikan,” harap Ambiya, yang saat ini sangat mengharapkan memiliki sepeda motor, dan membutuhkan biaya kuliah.
Begitu juga harapan Muzakir, anak mantan pejuang GAM Raja Ubit, ia berharap pemerintah memperhatikan anak kombatan GAM yang ayahnya telah gugur dalam perjuangan.
“Kami juga mengharapkan pemerintah Aceh menuntaskan butir-butir MoU Helsinki, seperti bendera, himne, dan lambang Aceh, karena itu adalah hartkat dan martabat Bangsa Aceh,” pinta Muzakir.
Seperti diketahui tanggal 8 September 2004 adalah hari kelabu bagi perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada hari itu, satu pejuang gerilya GAM yang amat disegani di wilayah Peureulak, Aceh Timur syahid.
Ia adalah Ishak Daud, yang dikenal sebagai Panglima GAM Wilayah Peureulak.
Ishak Daud syahid dalam satu pertempuran hebat dengan prajurit TNI di kawasan Babah Krueng, Peureulak Timur, Aceh Timur.
Ishak Daud syahid dengan penuh luka tembak di bagian kepala dan dada.
Ikut pula istrinya, Cut Rostina syahid di sisinya dalam pertempuran terakhir itu.
Ishak Daud bersama istrinya dimakamkan di Desa Blang Glumpang, Kuala Idi Rayeuk, Aceh Timur, tiga hari setelah tertembak.
Sejak peristiwa kelabu itu, GAM berduka.
Bendera bintang bulan setengah tiang berkibar menjadi saksi bisu atas syahidnya Sang Panglima.
Dalam rentetan perjuangan GAM membebaskan Aceh dari Indonesia, sosok Ishak Daud amat berpengaruh.