Hingga saat ini kedua gagasan itu telah terwujud meski Safwan sudah tiada.
• Beasiswa Aceh Carong, Terwujudnya Mimpi Faiz Maulana Merajut Cita-cita Bekerja di Sektor Migas
Hingga tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, seluruh mahasiswa baru UIN Ar-Raniry wajib mengikuti program pesantren mahasiswa dan tinggal di asrama.
Pada sekitar tahun 2003, Pihak UIN Ar Raniry mendirikan sebuah gedung museum yang megah diberi nama
Gedung Museum Prof Dr Safwan Idris MA beberapa tahun setelah ia tiada.
Saat bencana gempa dan tsunami 2004, gedung ini tak luput dari kehancuran. Banyak sisi bangunan yang rusak.
Mantan aktivis Aceh, M Muhammad Alkaf dalam tulisannya 'Untuk Dia yang Tidak Pernah Mati: Safwan Idris' menulis sosok Safwan Idris tumbuh dalam dekapan dua tradisi kuat di Aceh, dayah dan Darussalam.
"Pak Safwan menjadi pengobat kehausan orang Aceh tentang makna pemimpin sebenarnya yang telah lama hilang; ahli agama sekaligus admistrator ulung. Hal yang pernah melekat pada dua tokoh besar Aceh sebelumnya, Daud Beureuh dan Ali Hasjmy," tulis peneliti di Aceh Institut ini.
Menurut Alkaf kapasitas intelektual yang dimiliki Safwan Idris adalah hasil tempaan langsung oleh ayahnya, Abu Idris, salah satu ulama yang kharismatik, sekaligus pengikut setia Daud Beureuh.
Alkaf juga menyebutkan Safwan Idris belajar hingga ke Amerika Serikat.
Padahal zaman itu, Kuala Lumpur-pun masih terasa jauh.
Mahasiswa UIN Pertama di AS
Safwan adalah alumni IAIN AR-raniry pertama yang mendapat kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat.
Sebuah prestasi yang membanggakan khususnya bagi civitas akedemika IAIN AR-raniry saat itu.
Safwan saat itu mendapat beasiswa dari Mobil Oil Indonesia untuk belajar di University of Wiconsin Medison, Amerika Serikat pada tahun 1977. (Serambinews.com/Yeni Hardika)