Pengesahan Undang Undang Cipta Kerja (UU CK) atau Omnibus Law memunculkan gelombang penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Selain buruh, rencananya secara nasional hari ini juga mahasiswa sudah bersepakat turun ke jalan memprotes UU tersebut. Namun, pemerintah membuka pintu dialog dan ruang aspirasi melalui penyusuan peraturan pemerintah sebagai turunan UU CK.
Aksi unjuk rasa buruh dan komunitas lainnnya yang menentang unjuk rasa di berbagai daerah, termasuk Aceh, sebagiannya berakhir dengan kericuhan dan pengrusakan. Di beberapa daerah polisi terpaksa mengamankan para pengunjuk rasa yang dianggap keterlaluan. Aksi penolakan pun bermunculan dari berbagai platform media sosial.
Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto, menyebut UU CK tersebut diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja. Sedangkan Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, UU CK akan mampu membangun ekosistem berusaha yang lebih baik. Menurut Puan, pembahasan UU CK yang dimulai DPR dan pemerintah sejak April hingga Oktober dilakukan secara transparan dan cermat. Dia menegaskan, muatan UU CK mengutamakan kepentingan nasional.
UU CK terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya mengatur dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Pertanyaannya, mengapa muncul protes? Dari pengamatan selama ini, ada dua hal yang menjadi substansi penolakan. Pertama lantaran proses kelahiran UU itu yang dinilai tidak transparan sejak awal. Kedua, pasal-pasal di dalam UU itu merugikan pekerja.
Inilah antara lain beberapa pasal kontroversial Omnibus Law soal Ketenagakerjaan. Pasal 42 ayat 1, Tenaga asing hanya perlu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk bekerja di Indonesia, tanpa Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) seperti diatur di beleid sebelumnya. Pasal ini dinilai sangat memudahkan izin kerja tenaga asing.
Pasal 61 dan Pasal 61A, karyawan kontrak bisa diberhentikan sewaktu-waktu. Perusahaan juga bisa membuat status karyawan kontrak seumur hidup. Pasal 78, waktu lembur paling banyak empat jam sehari atau 18 jam seminggu. Merujuk UU Ketenagakerjaan tahun 2003, sehari maksimal 3 jam lembur atau seminggu selama 14 jam.
Pasal 79 ayat 2, selama seminggu, perusahaan bisa memberikan hari libur hanya satu hari setelah enam hari bekerja. Ini dinilai sebagai pengurangan waktu istirahat.
Pasal 88C, upah minimum hanya berlaku di tingkat provinsi. Pengaturan di tingkat kabupaten/kota tidak diharuskan. Selain itu, pemberlakuan Upah Minimum Sektoral di tingkat kabupaten/kota juga terancam hilang. Jika merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pekerja tidak bisa menerima upah di bawah standar minimum. Pasal ini menghapus Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang bagi buruh merugikan.
Pasal 156, perusahaan membayar pesangon sebanyak 25 kali upah, di mana 19 kali ditanggung pengusaha dan enam kali ditanggung pemerintah. Beleid sebelumnya mewajibkan pesangon sebanyak 32 kali upah dengan skema 23 kali ditanggung pengusaha dan sembilan kali oleh pemerintah. Pasal ini dinilai sebagai pengurangan pesangon.
Pasal 165, pemeriksaan penggunaan keuangan Lembaga Pengelola Investasi tidak menyertakan BPK sehingga dinilai tidak transparan dan berpotensi korupsi.
Itulah antara lain hal-hal yang hari-hari ini menimbulkan gelombang unjuk rasa di berbagai penjuru tanah air. Dan, di media sosial, berbagai protes juga berlangsung dengan penggalangan opini yang arahnya menunjukkan sikap tidak terima UU CK. Berbagai kalangan, mulai buruh, mahasiswa, LSM, akademisi, para politisi nonkoalisi pemerintah sudah sudah menandatangani petisi penolakan Omnibus Law itu.
Bagi kita yang paling penting adalah aksi-aksi unjukrasa yang dilakukan oleh siapapun dan di manapun hendaknya tidak sampai mengganggu aktivitas masyarakat yang memang sudah sangat terbatas di tengah pandemi ini. Kita juga berharap, pemerintah dapat mengakomodir aspirasi yang sedang berkembang terhadap UU CK melalui PP yang dibuat nanti.