Oleh Dr. Murni, S.Pd,I., M.Pd, Wakil Ketua STAI Tgk. Chik Pante Kulu
Subhanallah Wahdahu Wabihamdihi
Khalikul badri walaili `Azza wa Jalla
Ulön Pujoe po sidroe po
Syukör keu Rabbi Yaa `aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia
Tajak prang musöh beuruntöh dum sitrèe Nabi
Nyang meu ungki keu Rabbi keu po nyang Esa
Meusoe hantem prang cit malang ceulaka tuböh rugoe roh
Syuruga tan röh rugoe roh bala nuraka
(Tgk. Chik Pante Kulu)
Beberapa bait Hikayat Prang Sabi di atas, merupakan karangan seorang ulama dan pujangga. Karyanya benar-benar sangat fenomenal. Setelah Hikayat Prang Sabi selesai dibacakan kepada seluruh pemuda baik pria maupun wanita dalam sekejab, darah mereka mendidih, menggelegar, dan semangat jihad mereka berubah bagaikan sejuta rencong yang siap menghujam Kaphé Belanda tanpa merasa takut mati sedikit pun di medan perang. Sehingga Prof A Hasjmy, (1971:37) menjadikan Hikayat Prang Sabi sebagai "Puisi Perang" terbesar di dunia. Lalu, siapa pengarang Hikayat Prang Sabi hingga membuat Kaphé Belanda sangat ketakutan, stress dan panik dalam menghadapi mujahidin Aceh sehingga menjadikan Perang Kolonial Belanda di Aceh menjadi perang terlama dari 1873-1942.
Ia adalah Teungku Chik. H. Muhammad Pante Kulu, lahir pada 1251 H, (1836 M) di Gampong Pante Kulu, Kecamatan Titeue Keumala Kabupaten Pidie, dalam suatu keluarga ulama yang ada hubungan kerabat dengan kelompok ulama Tiro (Tgk. Ismail Jakub, 1952:29-92).
Setelah belajar Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), pada ibunya Tgk. Nyak Ummi Kalsum, dan tulisan Arab, tajwid, nahwu dan sharaf pada ayahnya Tgk. H. Abdullah karena pada saat itu Kerajaan Aceh Darussalam menggunakan bahasa Aceh, Melayu dan Arab sebagai bahasa resmi. Selanjutnya pemuda Muhammad melanjutkan pelajarannya di Dayah Tiro yang dipimpin Tgk. Chik. Muhammad Amin Dayah Cut, seorang tokoh ulama Tiro yang baru pulang menunaikan ibadah haji di Mekkah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh.
Setelah belajar beberapa tahun di Dayah Tiro sehingga mahir berbahasa Arab dan menamatkan beberapa kitab ilmu pengetahuan, maka dengan izin gurunya Tgk. Chik. H. Muhammad Amin, pemuda Muhammad yang telah bergelar Teungku di Rangkang (setingkat asisten dosen) melanjutkan studinya ke Mekkah sekaligus menunaikan Rukun Islam kelima, ibadah haji.