“Kadang-kadang terlihat jelas tonjolannya,” ujar Wardiah.
Melihat Talita mengalami sakit, maka sang kakek, Razali membawa cucunya ke RSUZA Banda Aceh untuk berobat.
Hasil pemeriksaan di RSUZA, Talita ternyata tak hanya sakit mata, melainkan juga bocor jantung.
Tetapi matanya ketika itu belum bisa diobati karena ketika itu ia masih berusia di bawah enam bulan.
Berselang beberapa bulan kemudian, sang kakek meninggal dunia dan Talita ibunya yang sudah janda dan kakaknya Sri Rahayu yang masih berusia sembilan tahun.
Kehidupan Talita semakin tidak menentu, rumah mereka juga tidak layak huni, maka perangkat desa sepakat membangun satu unit rumah untuk keluarga miskin ini.
Rumahnya berlokasi terpisah di kebun pinang sekitar 7 Km arah selatan Kantor Camat Makmur.
Rumah ini juga sekitar 15 Km lebih dengan ruas jalan nasional Banda Aceh - Medan.
Sejak tidak ada lagi kakek dan ayahnya, Talita berkembang seadanya, mata tidak bisa melihat dan terdapat benjolan putih di kedua matanya.
Ketika ia mendengar panggilan namanya, dengan jari lentik ia mencoba membuka matanya, mungkin ingin melihat secara samar-samar.
Ketika Talita mendengar ada suara anak-anak lain bermain di luar rumah, ia juga ikut gembira dengan suaranya tidak jelas.
Ia bangun dengan kedua tangan dan kepala menopang ke tanah, kedua kaki ke atas mencoba
berjalan.
Hanya beberapa menit sudah capek kemudian ibunya membawa
pulang.
Wardaniah mengatakan ia menghidupi dua anaknya dengan membelah pinang milik warga.
Ketika pergi membelah pinang, Talita ikut dibawa dan ditidurkan dalam ayunan dekat dengannya.