BAND ACEH - Secretary General Achehnese Civil Society Task force (ACSTF) Juanda Djamal mengatakan, ACSTF berupaya untuk mengoptimalkan implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Aceh. Hal ini disampaikannya dalam diskusi series yang diadakan ACSTF, pekan lalu.
Sebagaimana diketahui, Achehnese Civil Society Task force (ACSTF) bekerja sama dengan Global Partnership for the Prevention of Armed Conflict (GPPAC) melakukan review implementasi UU Nomor 11/2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. “ACSTF berupaya mengoptimalkan implementasi UU tersebut di masa depan,” kata Juanda dalam Focus Group Discussion (FGD) series menghadirkan perwakilan dari GAM, politisi, NGO, aparatur pemerintah, akademisi, dan pengusaha.
FGD tersebut melahirkan sejumlah pemikiran. Pertama, kata Juanda Djamal, ACSTF menyiapkan semua produk regulasi turunan UU No.11/2006 seperti peraturan pemerintah, perpres, dan qanun. Khususnya regulasi yang sudah ditetapkan agar dilakukan review kembali jika substansi dari regulasi tersebut sulit dilaksanakan ataupun tidak sesuai dengan substansi perdamaian, pembangunan kesejahteraan rakyat (RPJMA), dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJPA).
“Kita juga menyiapkan rencana exit strategy berakhirnya dana otsus, kendatipun melakukan lobi agar diperpanjang, namun kerangka jangka panjang dapat dipersiapkan agar Pendapatan Asli Aceh (PAA) dapat ditingkatkan, khususnya sumber-sumber dari pengelolaan Sumber Daya Alam. Termasuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dipersiapkan secara jenjang regenerasi yang sistematis dan sesuai dengan strategi pembangunan ekonomi,” katanya.
Terkait pengentasan kemiskinan, selama lima tahun ke depan (2021-2025) dapat dilakukan konsentrasi penuh pada pengembangan sektor riil agar memastikan kualitas dan kontinyuitas produksi, selanjutnya SDM yang sudah disiapkan dapat diarahkan untuk melakukan produksi hilir dalam lima tahun selanjutnya (2025-2027), sehingga lapangan kerja dapat lebih terbuka dan kualitas hidup keluarga dapat ditingkatkan.
Sedangkan pembangunan perekonomian Aceh dapat difokuskan pada peluang dan kebutuhan regional, menguatkan konektifitas dengan wilayah terdekat, memastikan badan investasi yang mengelola keuangan, pengembangan kualitas koperasi dan korporasi, fungsionalisasi pelabuhan internasional yang dilengkapi fasilitas dan kemudahan ekspor-impor, dan konsentrasi penuh pada pengembangan BPKS sebagai hot-spot pertumbuhan ekonomi baru yang berhasil.
Hal penting lainnya yakni perlunya forum multi-stakeholder yang lebih representatif agar dapat merumuskan rencana strategis pembangunan Aceh dan membentuk Dewan Diplomasi Aceh (DDA) agar komunikasi politik Aceh-Jakarta dapat terus dijaga.
“ACSTF berupaya menghimpun kembali gagasan dan pemikiran politik yang berserakan, selanjutnya berupaya agar pemikiran-pemikiran tersebut dirumuskan menjadi kerangka strategis dalam menciptakan kondisi politik kebangkitan Aceh di masa depan,” tandasnya.(sak)