Dia berharap, perbankkan di Aceh harus benar-benar menjadi mitra utama dalam pengucuran KPR dan modal kerja untuk pengembang.
Sehingga, akan dapat memproduksi rumah secara berkelanjutan dan sehat.
Dia mengungkapkan perbankan di Aceh belum sepenuhnya berpihak kepada pengembang dalam pembiayaan karena skema yang diterapkan sangat ketat.
Afwal berharap perbankan di Aceh harus dipacu lagi, sehingga pro-aktif dalam membantu pengembang menyediakan rumah layak huni bagi MBR.
Diakuinya, pengembang harus berjibaku dengan perbankan dalam mendapatkan kredit konstruksi atau juga kredit bagi konsumen.
Baca juga: Rumah Subsidi Masih Jadi Primadona, Harga Belum Ada Kenaikan, Masih Berkisar Rp 150 Jutaan
"Dengan kondisi perbankan hari ini, maka pengembang akan terus mengalami kesulitan dalam membangun perumahan," katanya.
Dia berharap pemerintah juga memacu perbankan agar lebih terbuka dalam menyalurkan pembiayaan, sehingga perekonomian kembali bergulir dengan baik lagi.
"Tanpa dukungan perbankan, sektor properti tentunya akan jalan di tempat, termasuk usaha pendukungnya," tambahnya.
Selain itu, Ketua Apresi Ace ini meminta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar mempermudah proses perizinan.
Dia mengatakan pemerintah pusat sudah mengeluarkan aturan tentang perizinan pembangunan perumahan, tetapi di tingkat bawah selalu bermasalah.
Afwal mengungkapkan masih banyak terdapat perbedaan kebijakan antar satu daerah dalam penerapan aturan/kebijakan, sehingga bisa menggangu produksi rumah hingga memakan waktu lama.
Begitu juga dengan perbankan, seharusnya tidak menunggu waktu meminta bagi hasil atau kewajiban setiap bulan.
Dia menambahkan, pembiayaan perbankan tidak sesuai proses yang dilaksanakan pengembang.
Dia mencontohkan, seperti modal awal hanya 20 % dari jumlah pengajuan kredit.
Setelah itu pengembang dipacu untuk membangun rumah dengan jumlah melebihi kucuran dana tersebut.