Opini

Mengurangi Kemiskinan Berat, Biar Mawah Saja!

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fahmi Yunus, Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Manajemen, University of Sheffield, Peneliti ICAIOS

Oleh Fahmi Yunus, Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Manajemen, University of Sheffield, Peneliti ICAIOS

Mungkin Ihsanurijal, Kepala BPS Provinsi Aceh, sudah membayangkan pro dan kontra yangakan terjadi setelah ia menyampaikan data  tentang profil kemiskinan Aceh secara online hari, Senin (15/2/2021) lalu. Karena, seperti biasa, data tentang kemiskinan yang disampaikan Badan Pusat Statistik sering memunculkan pro dan kontra, menjadi data menarik untuk pemberitaan media massa, diskusi di media sosial hingga warung kopi.

Dan, benar, seperti biasa pula reaksi publik beragam-macam saat mendapatkan Aceh, lagi-lagi, meraih predikat pemuncak sebagai provinsi termiskin di Aceh.

Laporan BPS tersebut menjelaskan bahwa pada angka kemiskinan di Aceh pada periode September 2020 sebesar 15,43 persen, setara dengan 833,91 ribu orang. Jika dibandingkan dengan data bulan Maret 2020, maka dalam kurun waktu 6 bulan, jumlah orang miskin di bertambah 19 ribu orang. Jika kita telisik ke belakang, pada bulan September 2019, jumlah penduduk miskin sebesar 809,76 ribu jiwa. Artinya, dalam periode setahun antara September 2019 hingga 2020 terjadi penambahan jumlah orang miskin lebih dari 24 ribu jiwa.

Bukan hanya kali ini Aceh meraih "prestasi" provinsi termiskin. Untuk tingkat Sumatera, menurut laporan cnbcindonesia.com (19/2) sejak 19 tahun lalu Aceh selalu masuk dalam kategori provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi. Memang angkanya sempat mengalami penurunan, namun dianggap tidak signifikan. Lantas, dapat dipastikan kritikan pedas mengalir kepada pimpinan Aceh dan aparaturnya yang selama ini dianggap bertanggungjawab memimpin masyarakat Aceh.

Kritikan atas ketidakbecusan pemerintah daerah dalam mengatasi permasalah sosial di Aceh bukanlah mengada-ada. Alasannya, alokasi dana untuk mensejahterakan masyarakat Aceh tidaklah sedikit dan sumbernya pun variatif. Contoh sederhana, selain memiliki sumber dana melalui anggaran tahunan (APBA), Aceh bersama provinsi Papua, Papua Barat dan Yogyakarta, adalah daerah khusus yang mendapakan alokasi dana otonomi khusus (otsus).

Menurut laporan Bappenas, Aceh sudah menerima alokasi dana otsus sebesar Rp 47,6 triliun sejak tahun 2015-2020. Artinya, dengan dana yang berlimpah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, Aceh seharusnya sudah keluar dari zona provinsi paling miskin.

Tapi kenyataannya tak sesederhana itu. Selama ini tanggung jawab menangani masalah sosial khususnya dalam mengurangi jumlah orang miskin di Aceh identik menjadi tanggung jawab pemerintah daerah semata. Apalagi dengan melihat cara-cara yang dilakukan, yaitu melalui pendekatan top-down dan memposisikan orang miskin sebagai objek belaka.

Diperparah dengan tata kelola pemerintahan yang amburadul, dugaan akan maraknya praktik korupsi, kolusi hingga nepotisme. Semua itu menjadi bukti bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak kepada pemerintah daerah untuk mengatasi masalah kemiskinan. Lantas, jika kita berada pada titik di mana asa kepada pemerintah sudah pupus, maka kepada siapa kita menaruh harapan?

Show must go on. Sebagai manusia kita diberi akal dan kemampuan untuk mengatasi masalah sendiri atau ikut membantu meringankan beban orang lain.

Mulai dari gampong

Pertanyaannya adalah darimana memulainya dan bagaimana caranya? Baiklah, jika kita coba urai lagi data BPS yang menjelaskan bahwa sebagian besar angka kemiskinan itu berasal dari wilayah perdesaan di Aceh. Mengutip data bulan September 2020, terdapat sebanyak 17,96 persen orang miskin berada di wilayah perdesaan, sementara di kota hanya 10,31 persen. Artinya, kita bisa mulai lebih fokus pada wilayah perdesaan.

Lantas bagaimana caranya? Ada bermacam cara dan aksi yang dapat dilakukan pada tataran akar rumput dengan mengoptimalkan pengetahuan lokal yang ada di dalam masyarakat, khususnya masyarakat gampong. Dalam buku "Local Knowledge Matters: Power, Context and Policymaking in Indonesia", Nugroho, Carden Antlov (2018) mengidentifikasi tentang bagaimana pengetahuan lokal (local knowledge) di Indonesia bertahan dan berkembang hingga digunakan dalam proses pengambilan kebijakan.

Salah satunya adalah praktik mawah di Aceh. Menurut kajian tersebut, praktik mawah mampu menjadi solusi alternatif bagi masyarakat miskin yang mengalami kesulitan akses untuk mendapatkan modal. Namun, hal yang paling penting dan menjadi pembeda antara mawah dengan praktik bantuan modal lainnya, seperti yang dipraktikan oleh lembaga perbankan, yaitu mawah memberikan posisi yang setara antara pemodal dan pekerja.

Penerima mawah tidak hanya berada dalam posisi pekerja (labour) dalam relasi antara atasan dan bawahan, tapi mereka juga dapat bersama-sama dengan pemodal dalam menentukan kesepakatan. Dengan kata lain, ada ruang terbuka untuk berdialog mulai dari awal transaksi hingga kesepakatan pembagian hasilnya. Dan yang tak kalah pentingnya, mawah sudah sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ekonomi syariah.

Halaman
12

Berita Terkini