Jurnalisme Warga

Meudrah Naskah Kuno di Rumoh Manuskrip Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

AYU ‘ULYA, Tim Research and Development (R&D) The Leader dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

“Kita kuliah di universitas bergelar nama dua ulama besar; Abdurrauf as-Singkili (Syiah Kuala) dan Nuruddin ar-Raniry. Tapi sejauh mana kita mengenal kedua sosok tersebut?  Pernahkah kita menelaah karya-karya mereka?” tanya Hermansyah, filolog yang cukup masyhur di kalangan anak muda Aceh.

Belum selesai tercengang oleh pertanyaan tersebut, Cek Midi pun menambahkan kejutan baru. Dia menyebutkan bahwa walau belum banyak disadari, nyatanya Aceh tak hanya memiliki sulthanah (ratu), tetapi juga ulama perempuan yang menuliskan karya yang luar biasa. “Pocut di Beutong. Dialah yang menuliskan ‘Nazam Aceh’ (Syair Perempuan Tasawuf Aceh). Naskahnya sudah kita terjemahkan, ‘Munajat Sufi Para Perempuan Aceh’. Luar biasa beliau,” ujar Cek Midi.

Lantas, Nabhani AS, budayawan Aceh ikut memperkuat pernyataan akan pentingnya peran manuskrip kuno Aceh. “Untuk Aceh, jangan tanyakan di mana sisa bangunan bekas-bekas sejarah? Namun tanyakan, mana karya-karya yang dilahirkan oleh pemikir-pemikir Aceh zaman dahulu? Itulah kemajuan sebuah peradaban yang diukur lewat kemajuan pengetahuan. Aceh pelopor pengetahuan dari segi kemajuan peradaban,” kata mantan pengurus Majelis Adat Aceh itu.

Fadhlan Amini, seorang professional tour guide Aceh  yang ikut menggaungkan wisata religi sebagai opsi istimewa bagi perkembangan pariwisata di Aceh, turut mengamini pernyataan tersebut. Menurutnya, masyarakat Aceh tidak akan percaya diri untuk maju dan berkembang, terutama secara ekonomi, selama belum mampu mengenal diri mereka sendiri.

“Kita kerap terjebak dalam inferiority complex dikarenakan kehilangan jati diri (lossing identity). Kita minder. Sebab, merasa budaya dan orang luar negeri itu lebih keren daripada kita. Makanya penting untuk memahami sejarah kita sendiri, agar tidak tergerus globalisasi,” ucapnya.

Di akhir acara, Dr Teuku Zulkhairi MA—yang tampak antusias melibatkan anak muda dalam Meudrah Naskah Kuno Aceh tersebut—memberikan wejangan mendalam. “Saat kita mulai meninggalkan khazanah di masa lalu, orang luar justru sangat antusias dengan hal yang kita tinggalkan. Saya berpikir, tugas kita sebagai generasi muda Islam adalah bagaimana merevitalisasi kembali karya-karya ulama kita terdahulu. Apa yang telah ditulis, kita pelajari kembali. Bukan berarti kita kembali ke masa lalu, tapi bagaimana menjadikan masa lalu sebagai batu loncatan kita di masa depan. Jadi, kita tidak bergerak ke depan dengan melupakan masa lalu.” Nah, poin ini yang saya anggap sangat penting. 

Berita Terkini