Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021.

Ahmad Humam Hamid*)

DALAM ranah seni rupa, atau tepatnya seni lukis Indonesia, Pirous menempati posisi yang unik dan istimewa, karena ia adalah pelopor bahkan pendiri seni lukis kaligrafi, tepatnya kaligrafi Islam di Indonesia.

Pirous, dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia kemudian mendapat suatu tempat tersendiri yang banyak seniman dan pelukis sangat memimpikannya.

Ketika Pirous berumur 40 tahun, tepatnya pada tahun 1969, ia pergi ke Amerika Serikat untuk mencari ilmu dan memperluas wawasan keseniannya.

Ia belajar seni design grafis di The College of Art and Design, Rochester Institute of Technology, Rochester, New York.

Ia belajar dengan rain dan tekun, menyaksikan berbagai pameran dan eksebisi seni.

Dalam kegiatan dan perenungan sebagai pelukis di tengah kerumunan seni modern di New York itu, Pirous merasa terjaga dari tidur panjangnya.

Ia berpikir kalau ia pelukis, lalu siapa dirinya yang sesungguhnya.

Secara lebih serius pertanyaannya menjadi siapa AD Pirous itu yang sesungguhnya?

Kalau dipersempit lagi pencarian diri itu, pelukis apa yang menjadi  asosiasi dari AD Pirous itu?

Menariknya pertanyaan dan keputusannya untuk menekuni dan menjadikan kaligrafi sebagai jalan hidupnya ia temukan di Amerika.

Kalau ada yang sungguh menyentak dan mengharukan tentang pencarian itu adalah ketika ia menemukan dirinya, sekaligus dengan menemukan Aceh yang sesungguhnya.

Dalam konteks menemukan dirinya dan menemukan Aceh yang sesungguhnya, Pirous adalah contoh klasik pribadi yang tergoncang dan mungkin bingung ketika behadapan dengan gelombang besar seni rupa global.

Namun justeru karena goncangan itu pula ia segera menemukan dirinya justeru dalam pelukan dan dekapan tanah indatunya, Aceh.

Ceritanya sangat sederhana, namun dalam.

Suatu hari ia menyaksikan sebuah eksibisi seni Islam Modern dan Traditional Timur Tengah dan Afrika Utara di Metropolitan Museum of Art, di New York.

Ia menyaksikan hampir seluruh keping lukisan yang dipamerkan di situ menunjukan ekspersi kaligrafi yang indah.

Ia mulai merasakan ada sesuatu yang sangat familiar dengan dirinya, dan itu, apalagi kalau bukan Aceh.

Jiwanya mulai menerawang mengingat masa kecilnya di Meulaboh dan sebagian Pantai Barat Selatan yang pernah jalani.

Alquran, kuburan-kuburan tua, dan mesjid, yang semuanya berurusan dengan huruf-huruf Alquran yang indah, dan itu adalah kaligrafi.

Ia mulai teringat di hampir semua tempat di Aceh bertebaran kaligrafi, mulai dari yang sangat kuno, sampai dengan yang sangat kontemporer.

Kejutan Aceh dalam kontemplasi pencarian diri itu sebenarnya telah dirasakannya sebelumnya, ketika ia menyaksikan sejumlah praktisi seni rupa Jepang dan Cina yang lebih senior dirinya memamerkan apa yang mereka punya dengan kebanggaan yang memadai.

Misalnya ia sangat ingat betapa perupa Jepang memamerkan karyanya dengan warna kental seni klasik, bahkan kuno, yang berakar pada tradisi Budha Zen, Jepang.

Baginya itu adalah proklamasi “egoisme” yang lazim dan unik dari seorang seniman. 

Ketika ia memutuskan untuk menjadi pelukis kaligrafi, ia merasakan ada semangat dan darah baru dalam hidupnya, karena ia telah menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang dari dirinya, Aceh.

Kehilangan Aceh bagi Pirous pada saat itu adalah lazim dialami oleh perantau Aceh.

Uniknya, ia menemukan dirinya dan menemukan “Acehnya” yang klasik dan unik, ketika ia makan, hidup, bergaul, dan belajar di salah satu pusat metropolis terbesar di jagat raya, New York,  Amerika Serikat.

Ia hanyut dan gamang hanya sebentar, untuk kemudian  menemukan kembali pegangannya yang telah hilang, Aceh.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)

Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia asal Aceh, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Hidayah di Nanggroe Kaphe

Hilangnya Aceh dari Pirous sebenarnya hanya masalah kejauhan secara fisik dalam waktu yang relatif panjang.

Ia telah terkepung dengan dunia akademiknya sebagai pengajar di ITB dan bahkan ia semakin terhela dengan jaringan seni rupa internasional yang sudah menjadi bagian penting kehidupan kesehariannya.

Lagi pula, Pirous sudah meninggalkan Aceh pada umur yang sangat muda, 18 tahun, tinggal di Medan, untuk kemudian menetap di Bandung, dan memilih seni lukis dan mengajar seni lukis di ITB sebagai jalan hidupnya.

Akhirnya Pirous menemukan Aceh, justeru di tengah-tengah sebuah proses evolusi penyerapan dan pengkayaan seni rupa dengan kerangka mindset barat sekular.

Orang Aceh mungkin akan mengatakan itu adalah “hidayah” Allah untuk hambanya, dan hidayah itu menggunakan kosokata Aceh didapatkan ketika ia sedang belajar di “naggroe kaphe”.

Sungguh sebuah perjalanan musafir yang kembali ke tanah asalnya dalam dekapan religi.

Awalnya hanya tertumpu kepada memori, kemudian menjelma menjadi sebuah imajinasi virtual yang berkelanjutan, untuk kemudian menyatu menjadi identitas. Inilah awal dari identitas baru Pirous.

Proses penemuan diri dam proklamasi identitas Pirous di New York dalah titik awal pertumbuhan dan kebangkitan dirinya yang mulai fokus dalam seni lukis kaligrafi.

Dan itu adalah tonggak penting bagi pertumbuhan kaligrafi Indonesia.

Ia telah menemukan, walaupun tidak sangat baru untuk ukuran seni lukis Islam internasional, sebuah ranah eksperesi iidentitas ummat Islam Indonesia, yang titik awalnya dimulai dari Aceh.

Ia telah berjanji kepada dirinya, bahwa proses penemuan Aceh di New York untuk jalan hidupnya barulah sebuah ikrar awal, dan itu babak pendahuluan dari sebuah kerja keras yang baru.

Baca juga: VIDEO Dihiasi dengan Kaligrafi, Batu Nisan Putroe Balee Pidie Disebut Dijadikan Batu Asah

Baca juga: VIDEO Berhias Kaligrafi dan Aneka Seni Aceh Ini Dia Guntomara

Mengumpulkan Harta Karun di Aceh

Segera setelah ia mendarat di Indonesia, pulang ke Bandung, ia segera bergerak pulang ke Aceh.

Ada harta karun yang bertebaran ataupun telah tertimbun ratusan tahun di seluruh Aceh, dan itu adalah kekayaan seni yang mahal yang mesti dikumpulkan dalam bentuk baru.

Pirous ingin menjadikan seni kaligrafi tidak hanya sebagai penegasan identitas dirinya, bahkan juga sebagai identitas ummat Islam Indonesia dan bahkan identitas Indonesia.

Ia ingin menggali akarnya, dan itu adalah Aceh.

Pirous melakukan ziarah estitika Islam ke tanah kelahirannya pada tahun 1971, sekaligus ingin menggali akar dari kaligrafi Aceh.

Ia mengunjungi masjid masjid tua, mendatangi berbagai kuburan yang bernisan made in atau meungkin replika India atau mungkin juga Persia.

Ia bahkan  mengunjungi berbagai situs bersejarah Aceh abad ke 16 dan 17.

Menurut sebuah cerita ia bahkan menghabiskan banyak waktu di Pesantren Tanoh Abee, Seulimeum yang terkenal sebagai salah satu gudang berbagai transkrip dan manuskrip, termasuk berbagai estetika  klasik Islam di Aceh.

Tak terhitung coretan yang digoreskan pada halaman yang cukup banyak tentang deskripsi objek yang didapatkan.

Cukup banyak foto yang diabadikan yang pada awalnya hanya sebuah perjalanan napak tilas, namun kemudian menjadi mata air inspirasi kaligrafi Pirous yang tak pernah kering.

Baca juga: Mengenal Said Akram, Maestro Kaligrafi Kontemporer Asal Aceh yang Karyanya Mendunia

Pameran Pertama di Indonesia

Pada tahun 1972 Pirous membuat pameran tunggal kaligrafi di lobby Chase Manhattan Bank di Jakarta.

Pameran kaligrafi ini tidak hanya pertama untuk Pirous, akan tetapi juga menjadi pertama untuk Indonesia.

Pirous telah memulai sebuah babak baru estetika Islam Nusantara dengan mengambil titik mula, Aceh.

Ia telah mempersembahkan kepada ummat Islam Indonesia sebuah kontribusi seni dalam bentuk keindahan ekpresi keindahan kalam-kalam Allah Azza Wajalla.

Kaligrafi Indonesia kemudian terus berkembang.

Penemuan identitas diri Pirous, kemudian membuat banyak orang-orang terpelajar, kaya, dan berkuasa juga mempunyai sarana untuk menyatakan identitas dirinya melalui lukisan kaligrafi.

Cobalah berkunjung ke rumah atau kantor orang terpelajar, orang kaya, atau penguasa, dan lihatlah ke dinding.

Hampir dapat dipastikan akan ada satu atau dua lukisan kaligrafi yang bertengger, mungkin saja goresan Pirous atau perupa kaligrafi lainnya.

Lukisan itu bagi pemiliknya adalah penegasan diri kepada orang lain tentang cita rasa dan kebanggaan estetika Islami di tengah hiruk pikuk uang, kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan berbagai temali lain yang berurusan dengan kehidupan.

Pirous telah membuka jalan penuntun kepada mereka yang mungkin larut, atau takut larut dan terjebak dengan modernitas, tentang menjadi Islam dan bangga dengan keislaman.

Kaligrafi islami yang dimulai oleh Pirous kini telah menjadi bagian penting dari seni rupa dan bahkan budaya Nusantara.

Suatu hari kelak ketika kaligrafi terus menerus berkembang dan terus membesar dan menjadi kekayaan bangsa, Pirous akan dikenang sebagai pemula dan pendiri.

Mungkin catatan sejarah tentang Pirous akan  beranalogi dengan  sejarah lingua franca Melayu Hamzah Fansuri.

Bukankah Hamzah yang merobah bahasa melayu dari bahasa tutur menjadi bahsa tulisan.

Bukankah kemudian Pirous yang memulai kaligrafi Nusantara?

Memang Pirous dan Hamzah Fansuri mempunyai kesamaan.

Keduanya  berkaitan dengan tanah Fansur, Barus di Pantai Barat Sumatera.

Ayah Pirous adalah Pirous Noor Muhammad warga Barus berdarah Gujarat yang pindah ke Meulaboh pada tahun duapuluhan dan kawin dengan gadis Meulaboh Hamidah.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA ADA DI SINI

Berita Terkini