Saat itu, TNI tengah melakukan penyergapan di kamp GAM di kawasan Teupin Kruet, Gampong Beusa Baroeh (sebelumnya Desa Beusa Seberang), Kecamatan Peureulak Barat, Aceh Timur.
Dalam insiden itu, Wan Jawiw diduga tertembak. Dia melarikan diri menggunakan sepeda, tetapi akhirnya tertangkap.
Sejak saat itulah namanya menghilang. Wan Jawiw dianggap telah meninggal dunia.
“Kami di kampung ketika itu sampai membuat kenduri, karena menganggap Cek Wan sudah tidak ada lagi,” ungkap Keuchik Gampong Paya Dua, Ibrahim, kepada Serambinews.com.
Anggota DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky diakun Facebooknya menceritakan, Wan Jawiw sempat menjalani masa-masa kelam dalam tahanan.
Baca juga: Kisah Pilu Pengantin di Manado, Calon Suami Tewas Loncat dari Lantai 7 di Hari Pernikahan
Baca juga: Profil dan Sosok Abdee Slank, Gitaris dan Pendukung Jokowi yang Kini Jadi Komisaris Telkom
Baca juga: Kapal Karya Indah Rute Ternate-Sanana Terbakar di Tengah Laut, 181 Orang Dievakuasi
“Dari Peureulak ke Langsa dan kemudian diboyong ke Jakarta saat satuan yang menangkap Wan Jawiw ditarik dari Aceh,” tulis Iskandar.
Beratnya penyiksaan ketika itu diduga berdampak pada kondisi Wan Jawiw saat ini yang seperti linglung.
“Kondisinya tidak stabil, seperti linglung. Dengan kawan-kawan seperjuangannya saja, ia baru ingat setelah diceritakan kisah-kisah masa lalu,” ujar Keuchik Ibrahim.
Wan Jawiw saat ditanyai Serambinew.com juga mengakui penyiksaan yang dia terima, dan beberapa bekasnya masih terlihat sampai sekarang.
Tetapi dia membantah kalau dirinya sempat terkena tembakan.
"Hana keunong timbak, cuma teugrop. Biasa wateinyan, meunan beureutoh (bude), meunan teugrop," tuturnya.
Wan Jawiw kemudian menceritakan kisahnya, hingga akhirnya 17 tahun kemudian ia baru bisa pulang kampung.
Semua tak lain karena keterbatasan yang dia miliki.
Keterbatasan ekonomi, bahasa, dan ketidakmampuannya dalam baca tulis.
Wan Jawiw mengaku, selama di Jawa ia ditahan di markas Korp Marinir Cilandak, Jakarta Selatan.