SERAMBINEWS.COM - Hari ini dalam sejarah, 17 tahun yang lalu, tokoh pembela hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib meninggal dunia saat sedang melakukan penerbangan.
Munir merenggang nyawa di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974.
Kala itu, sang aktivis sedang melakukan perjalanan selama 12 jam dari Jakarta ke Bandara Schiphol, Amsterdam.
Tujuannya datang ke negara kincir angin itu ialah untuk melanjutkan studi di Ultrecht.
Namun baru beberapa jam setelah burung besi yang ditumpanginya itu lepas landas, Munir mengeluh kesakitan dan harus bolak-balik ke toilet, sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Peristiwa ini tepatnya terjadi pada 7 September 2004 silam.
Kematian Munir tidak langsung disangka sebagai pembunuhan.
Dia sempat dikira sakit hingga akhirnya meninggal sekitar pukul 08.10 waktu setempat, dua jam sebelum pesawatnya mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam.
Dugaan sakit itu muncul karena Munir terlihat bolak-balik ke toilet selama penerbangan, selepas transit di Bandara Changi, Singapura.
Baca juga: Nasib Pollycarpus Pasang Badan dalam Pembunuhan Munir, Jualan Telur Asin dan Meninggal Karena Corona
Pilot Pantun Matondang kemudian meminta awak kabin terus memonitor kondisi Munir.
Saat badan pegiat HAM itu lemas di kursi bernomor 40G, seorang penumpang di bangku 1J yang adalah dokter berusaha memberinya pertolongan.
Munir pun pindah kursi ke sebelahnya.
Dua jam sebelum mendarat, saat diperiksa, Munir telah meninggal.
Setibanya pesawat di Bandara Schipol sekitar pukul 10.00 waktu setempat, 10 petugas polisi militer langsung masuk ke pesawat.
Selama 20 menit, penumpang dan kru pesawat tidak diizinkan turun untuk dimintai keterangan.
Sesudahnya, jenazah Munir pun diturunkan dan diurus otoritas bandara.
Proses autopsi sebagai bagian dari prosedur penanganan kematian di dalam penerbangan internasional dilakukan.
Munir diracuni
Kabar mengejutkan datang dua bulan setelah pemakaman Munir.
Pada 12 November 2004, Kepolisian Belanda mengumumkan hasil autopsi Munir.
Hasilnya, ditemukan jejak senyawa arsenik.
Baca juga: Mantan Terpidana Kasus Munir, Pollycarpus Meninggal Dunia Akibat Terinfeksi Covid-19
Munir tewas karena diracuni.
Dilansir dari Kompas.com edisi Selasa (7/9/2021), hal itu diketahui setelah dokter forensik National Forensic Institute (NFI) Belanda, menemukan racun arsenik dalam jumlah yang signifikan pada tubuh Munir.
Komposisi racunnya sangat besar, bahkan cukup untuk melumpuhkan seekor sapi besar.
Menurut pengadilan, racun tersebut diberi melalui minuman jus jeruk saat Munir di pesawat.
Hal itu terungkap dari surat dakwaan Pollycarpus Budihari Priyanto, salah satu pilot yang bertugas membawa Munir ke Belanda.
Pollycarpus menjadi terdakwa dan terpidana dalam kasus Munir.
Ia dihukum 14 tahun penjara sebagai pelaku pembunuh Munir.
Pada 29 Agustus 2018, dia bebas murni setelah memperoleh bebas bersyarat pada 2014.
Pollycarpus kemudian meninggal dunia pada 17 Oktober 2020, akibat corona.
Saat Munir dibunuh, seharusnya status Pollycarpus cuti.
Namun, ia justru ada dalam satu pesawat dengan Munir.
Baca juga: Aktivis Aceh Gelar Diskusi Merawat 16 Tahun Kematian Munir di Kamp Biawak Limpok, Bahas Temuan TGPF
Hal itu diketahui dari film dokumenter Garuda's Deadly Upgrade (2005).
Dalam film itu memperlihatkan surat tugas Nomor GA/DZ-2270/04 tertanggal 11 Agustus 2004.
Surat tugas tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan.
Gara-gara surat itu juga, Indra pun turut menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir dan divonis 1 tahun penjara pada 11 Februari 2008.
Di persidangan, Indra membantah terlibat di dalam kasus pembunuhan tersebut.
Namun, muncul dugaan bahwa surat tugas itu dibuat setelah Indra menerima surat dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Deputi V BIN Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono turut terseret dalam perkara ini.
Muchdi diketahui menyerahkan diri sebelum diperiksa oleh kepolisian.
Namun, di dalam persidangan pada 13 Desember 2008, Muchdi Pr akhirnya divonis bebas dari segala dakwaan.
Tuntutan kasus pembunuhan Munir akan kadaluarsa
Meski Pollycarpus Budihari Priyanto dan Indra telah divonis, hingga saat ini, kematian Munir belum menemui titik terang.
Bahkan, setahun lagi penuntutan kasus pembunuhan Munir akan kedaluwarsa.
Ini lantaran perkara tersebut hanya dianggap sebagai pembunuhan berencana biasa.
Berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) angka 4 KUHP, hak penuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup dianggap gugur karena kedaluwarsa setelah 18 tahun.
Padahal, temuan Tim Pencari Fakta (TPF) dan fakta persidangan menyebutkan ada dugaan keterlibatan intelijen negara dalam peristiwa tragis itu.
Namun anehnya, dokumen TPF itu hilang dan tidak ada di Kementerian Sekretariat Negara.
Kontras sudah menggugat keterbukaan informasi TPF hingga Mahkamah Agung, tetapi ditolak.
Akhirnya penegakan hukum tidak tuntas sampai ke akarnya.
Baca juga: Mengenang 16 Tahun Meninggalnya Munir, Pejuang Kemanusiaan yang Dibunuh di Udara
Hanya eksekutor dan perantara yang diproses hukum.
Adapun mantan kepala BIN yang diduga terlibat dalam perencanaan pembunuhan masih bebas dari jerat hukum.
Sempat ada cahaya harapan
Sebenarnya, cahaya harapan agar kasus serta dalang di balik pembunuhan Munir terungkap sempat menyala.
Itu ketika SBY yang masih menjabat sebagai presiden RI membentuk tim investigasi independen atau tim pencari fakta untuk mengungkap kasus pembunuhan di udara tersebut.
Akan tetapi, hasil investigasi itu tidak pernah dibuka ke publik.
Mengutip Kompas.com edisi 7 September 2020, pada 2016 lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) sempat membuat keputusan agar Presiden Joko Widodo dapat mengumumkan hasil penyelidikan yang dilakukan tim pencari fakta.
Namun, Sekretariat Negara justru mengajukan banding atas keputusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Banding akhirnya dimenangkan pemerintah di tingkat PTUN pada 16 Februari 2017.
Kontras dan Imparsial pun berupaya mencari titik terang dalam kasus pembunuhan Munir dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun, kasasi MA memperkuat putusan PTUN pada 13 Juni 2017.
Ini berarti temuan TPF kembali tertutup dan tidak dapat dipublikasikan kepada publik.
Hingga kini, masyarakat masih berharap agar titik terang pembunuhan kasus ini dapat terungkap.
Seperti kata Presiden SBY pada 2004 silam, pengungkapan kasus Munir akan menjadi ujian bagi sejarah negeri ini.
SBY sendiri hingga akhir periode kedua masa pemerintahannya tak kunjung membuka informasi siapa di balik kasus pembunuhan Munir.
Sikap SBY berbeda jika dibandingkan dengan pernyataannya pada 13 Februari 2012.
Saat itu, dihadapan wartawan Istana Kepresidenan, SBY menyatakan, tak ingin meninggalkan utang pengungkapan kasus pembunuhan Munir kepada pemerintahan selanjutnya.
Setelah tampuk kepemimpinan berpindah ke tangan Presiden Joko Widodo, hingga di tahun kedua periode pemerintahan, dalang di balik kasus pembunuhan Munir masih tak kunjung terungkap.
(Serambinews.com/Yeni Hardika/Kompas.com/Wahyuni Sahara/Dani Prabowo)