Hadirnya orang-orang muda di pimpinan DPRA membuat espektasi publik terhadap kinerja lembaga itu sangat besar. Salah satunya ditujukan ke Hendra Budian, politisi Golkar yang dipercaya sebagai salah seorang Wakil Ketua DPRA. Ia ingin mendobrak kebiasaan lama. Sebagai orang muda, Hendra datang membawa standar baru. Kerja-kerjanya sebagai wakil rakyat dipublis secara berkala sebagai bentuk transparansi dan memanfaatkan media sosial untuk menampung aspirasi masyarakat.
Sebagai sosok yang mewakili banyak orang, Hendra Budian menegaskan bahwa ia datang dengan gagasan-gagasan segar untuk pembangunan serta berusaha dekat dengan warga. Hari ini, Kamis (30/9/2021), tepat dua tahun Hendra Budian berada di Gedung DPRA. Sudah banyak yang ia lakukan, namun masih lebih banyak yang akan dilakukan. Hendra tak ingin sekedar numpang lewat. Ia berkeinginan meninggalkan legacy (warisan) dari pemimpin muda di DPRA.Berikut wawancara khusus wartawan Serambi, Muhammad Nasir, dengan Hendra Budian:
Bagaimana pandangan Anda tentang pembangunan Aceh selama ini?
Pembangunan Aceh banyak lika-likunya, tapi harus kita akui berjalan lambat, agak downgrade. Memang ada kendala secara nasional, seperti Covid-19 yang tidak boleh diabaikan. Tahun 2020, banyak sekali dana yang direfocusing. Ini menjadi PR kami di DPRA untuk mendorong pembangunan menjadi lebih baik di 2022 atau tahun ketiga kami di sini.
Selama 2 tahun di DPRA, apa yang sudah Anda lakukan?
Saya ada konstituen responsibility bersama kawan-kawan tim. Kita memanfaatkan ruang yang tersedia untuk menyerap dan memperjuangkan aspirasi konstituen. Alhamdulillah, dua tahun di DPR, dari 232 desa di Bener Meriah, saya sudah berkunjung ke 198 desa. Ditambah 45 desa di Aceh Tengah. Kerja-kerja perwakilan dapil kita laksanakan maksimal lewat reses, pansus, dan kunjungan sosial.
Sebagai anak muda, apa legacy yang ingin Anda tinggalkan untuk Aceh?
Pertama, 2022 nanti Otsus sudah 15 tahun, sisa 5 tahun lagi hingga 2027 dan besarannya tinggal satu persen dari DAU nasional. Dari 15 tahun itu, kita belum melihat yang mercusuar dari Otsus. Menurut saya, program atau proyek multiyeras akan menjadi legacy (warisan) dari otsus.
Soal peran dan fungsi, apalagi dikorelasikan dengan pemimpin muda, ada espektasi publik yang besar dan ini kami rasakan. Oktober ini, sudah tahun ketiga dan yang menjadi konsentrasi adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Kita tidak menyebutkan revisi, tapi penguatan UUPA. Ini legacy yang harus ditinggalkan nanti.
UUPA harus mendapat tempat di setiap kementerian atau lembaga di pusat, agar tidak ada peraturan menteri yang menegasikan UUPA. Makanya, kita ada agenda advokasi penguatan UUPA. Dengan latar belakang organisasi masyarakat sipil, saya ikut terlibat dalam penyusunan rancangan UUPA pada 2006 lalu. Sekarang saya jadi salah satu pimpinan DPRA, jadi kembali akan terlibat dalam penguatan UUPA.
Bagaimana pandangan Anda tentang keberlanjutan otsus?
Politik kita sama dengan Papua, minta dana otsus diperpanjang seumur hidup. Nanti kan ada negosiasi. Kalau soal peluang, saya lihat Papua. Saya juga tak sepakat jika otsus seumur hidup, karena tidak memunculkan kemandirian orang Aceh. Tapi,jika kita dapat 15 atau 20 tahun lagi otsus sebesar 2 persen dari DAU nasional maka Aceh sudah siap menuju kemandirian.
Apa sasaran dari penguatan UUPA, kebijakan langsung atau simbolis?
Penguatan UUPA itu nanti tentu terkait soal pembangunan Aceh, bukan cuma infrastruktur, tapi sosial, politik, budaya, serta kesejahteraan. Munkin nanti ada semacam kreasi dalam penguatan UUPA yang akan kita advokasi ke depan, tentu ingin melakukan penguatan sosial, politik dan kesejahteraan.
Mengapa selama ini Anda rajin menerima audiensi warga, apa yang ingin dicapai?
Ekspetasi publik ini besar, maka banyak sekali kami menerima tamu audiensi, bahkan yang di luar kewenangan tugas DPRA. Tapi menerima mereka saja sudah sesuatu yang baik untuk masyarakat. Kedua, saya memiliki pengalaman mendorong advokasi dari luar gedung ini. Sehingga, saya dan kawan-kawan tim harus dekat dengan masyarakat.
Sebenarnya, selama 2 tahun ini kita hanya sebagai fasilitator. Misalnya ada masyarakat yang ingin bertani, tapi lahannya masuk ke hutan lindung, maka kami pertemukan mereka dengan dinas kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Minimal mereka tahu persoalan dan juga untuk meredam hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi di masyarakat.
Saya aktif di medsos personal, itu sebagai pertanggung jawaban saya terhadap orang yang saya wakili. Responsnya sangat baik, bahkan saya harus membentuk tim untuk mencatat pesan-pesan yang masuk. Saya memanfaatkan itu sebagai masukan.
Selama ini masyarakat berpandangan bahwa DPRA melekat dengan pokir, penganggaran, dan Qanun, sebenarnya selain itu apa yang dilakukan DPRA?
Ya memang itu tugas yang diatur oleh undang-undang. Tugas kita ada tiga, pengawasan, legislasi, dan penganggaran. Cuma menjadi lebih, ketika sumber ekonomi Aceh tak hanya berpaku pada APBA. Aceh tidak memiliki sumber ekonomi lain, itu yang kami sebut dengan ekonomi pelat merah. Jadi, ekonomi Aceh hanya ditopang oleh PT APBA dan CV APBK. Sementara sektor industri sangat kecil. Investasi belum hidup, investasi Uni Emirat Arab yang akan masuk di Singkil baru akan dimulai.
Makanya publik jenuh dengan dinamika DPR karena hanya disitu-situ saja. Kita masih belum bisa melakukan kreasi lain, kenapa? karena platform ekonomi hanya di APBA. Bayangkan jika kita tidak melakukan penguatan UUPA , Otsus kita berkurang dari 2 persen jadi 1 persen setara DAU, ini akan jadi apa? Otsus kita sekarang Rp8 triliun, kalau nanti jadi 1 persen maka tingga Rp 4 triliun.
Bagaimana pandangan Anda tentang polemik APBA-P?
Saya mau strike, itu usulannya datang dari eksekutif. Kami sebagai pimpinan menampung itu, selanjutnya dibawa ke pimpinan fraksi. Dalam diskusinya, ada dua pandangan, pertama kenapa ada APBA-P? karena realisasi lambat, 2021 realisasi baru 38 persen di pengujung September, ini membahayakan. Kita memprediksikan Silpa akan ‘sehat dan gemuk.’
Di sisi lain, kawan-kawan beranggapan kalau persoalannya di realisasi maka tinggal percepat realisasi, ngapain perubahan. Bagi saya, yang penting pembangunan itu berhasil, mau perubahan atau tidak, bukan persoalan. Ini soal bungkusan saja, uangnya kan itu-itu saja. Kalau melihat waktu, tidak mungkin lagi perubahan.
Kita mempersilakan eksekutif untuk buat Pergub. Kita di DPRA tidak mau mengambil risiko, kita punya janji-janji, jalan ini harus dibangun, jembatan ini harus dibangun, ini harus cepat. Karena masyarakat menanyakan kepada kita. (*)