Oleh Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M.Sc. Dosen di Jurusan Teknik Mesin dan Industri, USK
TANPA terasa tiga tahun telah berlalu sejak 2018 saat dicanangkannya secara resmi pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun oleh Presiden Joko Widodo. Ketika itu harapan begitu membuncah.
KEK Arun digadanggadang bakal menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi kawasan industri bagi Aceh. Menjadi penerus masa keemasan zona industri vital Lhokseumawe dengan kilang LNGnya dulu. Namun apalah daya. Asa itu ternyata masih jauh panggang dari api.
Hingga Agustus 2021 realisasi investasi KEK Arun baru sebesar Rp 3,3 triliun. Masih jauh dari harapan awal yang memproyeksikan potensi investasi Rp 53 triliun. Realisasi investasi sebesar Rp 3,3 triliun itu berasal dari dua BUMN yaitu PT PIM dan PT PLN yang sudah berada di lokasi (Serambi Indonesia, 30 Agustus 2021). Presiden Jokowi sendiri sudah mewanti-wanti ketika berucap dalam acara peresmian KEK Arun kala itu.
Beliau mengingatkan bahwa pintu telah dibuka lebar-lebar oleh pemerintah pusat, dan kini tugas utama adalah bagaimana menarik investor sebanyak- banyaknya untuk melaburkan dananya di KEK Arun. Berbagai analisis muncul dari kalangan pakar, akademisi dan publik. Mencoba menyoroti dan mengupas problematika yang mendera pengelolaan KEK Arun. Bukan hal yang mudah memang menarik investor besar untuk segera menanamkan modalnya di KEK Arun.
Perlu upaya yang keras, strategi yang jitu dan keterampilan manajemen yang mumpuni, serta kreativitas tinggi dalam mengatur langkah menuju kesuksesan pengelolaan KEK Arun. Itu yang terlihat oleh Dr. Mohd Heikal dalam tulisannya “Meramu Formula KEKAL” (Serambi Indonesia, 13 Juli 2021). Menurut beliau, kunci utama adalah kepemimpinan yang kuat dengan kemampuan komunikasi, koordinasi, kolaborasi, kreativitas, dan inovasi.
Adapun Profesor Apridar menyitir masih adanya miskomunikasi antara pengelola local dengan pemerintah pusat dalam mengeksekusi regulasi yang ada (Serambi Indonesia, 8 Juni 2021). Muncul keluhan di pihak lokal yang mempertanyakan kebijakan pusat dalam hal biaya sewa lahan dan durasi sewa yang tidak memihak kepada kenyamanan investor. Namun ternyata tersendatnya akselerasi pengelolaan KEK bukan saja dialami oleh KEK Arun.
Dari sejumlah total 15 KEK yang ada di seluruh Indonesia, hanya empat KEK yang berjalan sesuai dengan rencana, yaitu KEK Galang Batang, KEK Mandalika, KEK Kendal, dan KEK Sei Mangkei (Kompas, 22 September 2021). Sisanya 10 KEK masih bergulat dengan masalahmasalah, dan bahkan 1 KEK diusulkan untuk dicabut karena berjalan di tempat. Menurut Founder Jababeka Group Setyono Djuandi, hal ini disebabkan oleh regulasi yang terlalu umum sehingga kurang kondusif bagi iklim investasi dan pemenuhan fasilitas yang menarik minat investor.
Sejatinya KEK memiliki kekhasan potensi dan keunggulan sumber daya alam. Sehingga diperlukan regulasi khusus dan fasilitas khusus yang disesuaikan dengan kekuatan daerah lokasi KEK dan keperluan investor. Berkaca dari analisis di atas dapatlah kita sedikit urai benang merah yang melilit secara mendasar ini.
Betapa sesungguhnya masih terus diperlukan upaya memahami faktor-faktor lokal yang spesifik. Untuk kasus KEK Arun, semua pihak yang berkepentingan harus urun rembuk dan duduk bersama kembali untuk mencari solusi bagaimana keluar dari masalah yang ada. Tidak ada salahnya jika tata ulang pengelolaan KEK Arun diangkat kembali. Pada hemat saya, bola panas berada di tangan kita sendiri, yaitu stakeholder yang ada di Aceh.
KEK Arun adalah milik Aceh yang dikelola dengan sebesar-besar manfaat untuk kemaslahatan rakyat Aceh. Sehingga mindset tersebut perlu ditanamkan dalam-dalam di benak para stakeholder lokal (pemda, akademisi, industri dan publik).
Dengan mindset yang kuat tentang kepemilikan sejati KEK Arun, segala upaya dan langkah yang dipikirkan akan memihak kepada kepentingan rakyat Aceh. Artinya semua tindakan dan eksekusi kebijakan yang muncul akan bermuara kepada kemaslahatan publik Aceh. Pemerintah Aceh harus berani membuat terobosan dan tekanan-tekanan ke pusat sekiranya regulasi yang menjadi wewenang pusat dianggap menghambat. Perlu ada penjelasan yang logis dan cukup beralasan dari pihak pemerintah lokal dalam berargumentasi ke pusat.
Investor adalah raja Pada prinsipnya pengelolaan KEK adalah bagaimana merayu investor agar mau dengan rela dan ikhlas menanamkan modalnya dan melakukan aktivitas industri di kawasan kita. Berikan kepada mereka kenyamanan berusaha, infrastruktur yang sempurna dan fasillitas yang memenuhi kebutuhan mereka. Siapa investor yang patut dibidik untuk bersedia masuk di KEK Arun? Fokuslah pada merayu investor dalam negeri dahulu. Artinya investor putra daerah perlu dirangkul untuk bersedia menanamkan investasinya di KEK. Apakah tak ada investor lokal?
Siapa bilang, cukup banyak pengusaha Aceh yang kaya raya, perkebunan, sawit, bus antarkota, industri nilam dan lain-lain yang cukup potensial untuk diundang berpartisipasi meramaikan KEK. Selain investor lokal Aceh, kita perlu juga melirik investor dalam negeri yang punya passion niat baik membangun negeri Aceh dengan tulus.
Cukup banyak pengusaha dalam negeri yang terpikat dengan daerah Aceh yang islami ini. Mereka cinta Aceh dan menganggap Aceh sebagai rumahnya. Kita perlu mendekati pengusaha nasional yang seperti ini. Beri mereka jaminan keamanan, kenyamanan, dan ketenangan dalam berbisnis di KEK Arun. Terakhir baru kita melirik potensi investor luar negeri, yang tentunya juga yang punya hubungan historis dengan Aceh. Seperti investor dari negaranegara muslim seperti Arab Saudi, UEA, Qatar, Brunei, Malaysia dan lain-lain.
Setelah itu investor luar negeri dari Eropa, Jepang dan AS tetap terbuka untuk digarap. Sehingga dalam administrator KEK dipilah-pilah dalam beberapa divisi penarik investor, berdasarkan tingkat kedekatan dengan Aceh. Ada divisi yang menggarap investor lokal Aceh, ada divisi yang menggarap investor nasional, ada divisi yang menggarap investor negara-negara muslim dan ada divisi yang menggarap investor dari negara-negara sahabat lainnya. Bidang Investasi Patut juga menjadi perhatian kita bidang usaha dan industri apa saja yang menjadi prioritas investasi di wilayah KEK Arun.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe mengamanatkan 5 zona dalam kawasan ekonomi ini, yaitu zona pengolahan ekspor, industri, logistik, energy, dan pariwisata. Zona-zona ini mencerminkan bidang-bidang usaha yang menjadi prioritas dalam kawasan. Secara umum kita mengingatkan bahwa kesemua bidang usaha yang menjadi prioritas KEK Arun hendaknya harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mendukung ketahanan lingkungan hidup. Artinya industriindustri yang tidak ramah lingkungan tidak digalakkan untuk berpartisipasi.
Pariwisata menjadi salah satu bidang primadona karena sifatnya yang padat karya, yang memberi dampak langsung kepada kemaslahatan publik. Bekas komplek perumahan karyawan PT Arun yang cukup luas sampai 610 ha, dengan fasilitas gedung dan perumahan sebanyak 1.150 unit dapat dimanfaatkan ulang menjadi kawasan wisata dan peristirahatan. Rumah-rumah tersebut dapat direnovasi dan dijadikan tempat wisata nostalgia bagi para anak cucu bekas penghuni lama.
Sebagai destinasi pariwisata patut pula dipikirkan untuk membangun sebuah kawasan wisata keluarga semacam Disneyland, atau Dufan yang bercirikan budaya Aceh. Atau semacam Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Objek semacam ini tentu akan menarik minat pengunjung keluarga untuk datang ke lokasi KEK Arun.
Akhirnya kita menyadari bahwa banyak opsi dan alternatif kreatif yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan KEK Arun kebanggaan Aceh ini. Tinggal lagi keseriusan kita semua untuk mencari solusi- solusi yang terbaik dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mementingkan kemaslahatan rakyat Aceh.