KUPI BEUNGOH

Potret Ancaman Ketahanan Pangan Aceh Utara

Ketahanan dan kedaulatan pangan, khususnya beras, merupakan sumber kehidupan utama bagi suatu bangsa

|
Editor: Muhammad Hadi
For serambinews.com
Manzahari, S.H (Penggiat Lingkungan). 

Oleh Manzahari, S.H*)

Ketahanan dan kedaulatan pangan, khususnya beras, merupakan sumber kehidupan utama bagi suatu bangsa.

Namun, untuk mencapai swasembada pangan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan kompleks seperti perubahan iklim, cuaca ekstrem, alih fungsi lahan, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan populasi penduduk. 

Dalam tulisan ini, saya akan mendokumentasikan kondisi tanah kelahiran saya, yaitu Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, yang dalam lima tahun terakhir menghadapi krisis pertanian terutama pada komoditas padi akibat gagal panen karena banjir serta kekeringan yang mengakibatkan petani tidak dapat bersawah.

Saya lahir dan tumbuh di Kabupaten Aceh Utara, sebuah wilayah seluas 2.705,26 km⊃2; dengan jumlah penduduk terbesar di Provinsi Aceh, yakni 641.007 jiwa. 

Secara administratif, wilayah ini terbagi menjadi 27 kecamatan dan 852 gampong (desa). Aceh Utara memiliki posisi yang strategis dengan beragam potensi alam, baik di lautan, daratan rendah, maupun pegunungan.

Baca juga: Pemkab Aceh Utara Bangun Mini Mall Modern di Eks Terminal Panton Labu

Namun, dalam konteks ini, saya ingin fokus pada potensi pangan di kawasan daratan rendah. 

Saat ini, Aceh Utara dikenal sebagai lumbung padi terbesar di Provinsi Aceh, dengan luas lahan sawah mencapai 38.417 hektare. 

Mayoritas penduduk disini bermata pencaharian sebagai petani padi dan sangat bergantung pada hasil panen sebagai sumber konsumsi dan penghasilan utama.

Namun, dalam lima tahun terakhir, saya menyaksikan langsung ketahanan pangan di Aceh Utara mulai terancam oleh dua faktor utama, yaitu kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.

Kekeringan terjadi sejak jebolnya Bendungan Irigasi Krueng Pase pada tahun 2020, yang hingga kini belum diperbaiki. 

Akibatnya, sekitar 11.107 hektare sawah di 9 kecamatan (8 di Aceh Utara dan 1 di Kota Lhokseumawe) tidak dapat digarap secara optimal.

 Kondisi ini menyebabkan hasil panen terus menurun setiap tahun, dari 360.353 ton gabah kering giling (GKG) pada 2021, menjadi 323.839 ton (2022), dan hanya 195.577 ton (2023) (Distanpan Aceh Utara, 2024).

Baca juga: Polres Nagan Adakan Gebrakan Pangan Murah ke Warga, Ini Jadwalnya, Beras Rp 62.000 Per Sak Isi 5 Kg

Kalaupun sawah di 9 kecamatan tersebut dapat digarap dengan mengandalkan air hujan, hasilnya sangat terbatas. 

Ironisnya, saat musim hujan tiba, wilayah daratan rendah di Aceh Utara justru dilanda banjir yang terjadi 2–3 kali setiap tahun dan merendam 24 kecamatan. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved