Oleh: Hasan Basri M. Nur
Gampong Aree, sebuah kemukiman yang terletak di Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, tergolong unik dan spesifik. Penduduk setempat terkenal memiliki jiwa wira usaha yang tinggi.
Pasca kemerdekaan RI hingga era 1990-an, penduduk setempat terkesan berlomba-lomba menjadi “boss” dalam bidang perniagaan. Mereka umumnya enggan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau karyawan perusahaan swasta.
Ada satu kalimat populer di kalangan generasi muda era 1980-an: Leubeh get ta meukat campli bak gaki limong daripada jeut keu pegawai (lebih baik kita dagang cabai di kaki lima daripada jadi PNS atau karyawan).
Agaknya, orang-orang di Gampong Aree memiliki kalkulasi sendiri dalam mengukur pendapatan ekonomi antara menjadi karyawan dengan memiliki usaha sendiri.
Pegawai memiliki gaji (pendapatan) yang terukur dan pasti, gaji naik secara berkala dan sangat minim yang tidak memungkingkan seseorang akan menjadi kaya, kecuali ada “main”.
Sebaliknya, menjalankan usaha sendiri, walaupun awalnya hanya sebagai pedagang cabai di kaki lima, namun pendapatannya tidak stagnan, tetapi terus berkembang sesuai kesungguhan.
Baca juga: Polisi Ungkap Kasus Pembunuhan Ibu Guru di Aceh Barat, Ini Pelakunya
Penduduk Gampong Aree umumnya adalah orang-orang yang optimis dalam berusaha. Bisa jadi awalnya seseorang hanya sebagai pedagang cabai di kaki lima, namun 3 tahun ke depan dia akan menyewa toko di depan lapaknya berdiri.
Selanjutnya 2 berikutnya dia menjadi pedagang cabai dalam partai besar atau distributor untuk sebuah kawasan.
Banyaknya contoh pedagang kaki lima asal Gampong Aree yang perlahan merangkak sukses menjadi toke besar semakin memperkuat mereka “berteori”.
“Hana peu ragu keu buet meukat. Bloe siploh peubloe sikureng, lam ruweung meuteumeu laba (Tidak usah ragu pada pekerjaan dagang. Beli sepuluh, jual sembilan, di celah-celah itu kita bisa mendapatkan keuntungan),” adalah petuah indatu yang diyakini kebenarannya oleh orang Gampong Aree.
Oleh sebab itu, maka tak heran jika anak-anak muda di Gampong Aree memiliki tekad yang kuat untuk merantau dalam rangka pewujudan obsesi jiwa “saudagar” yang diwarisi secara turun-temurun.
Hampir di semua pasar di Aceh, lintas Sumatera, bahkan Pulau Jawa hingga semenjung Malaysia, dipastikan ada pedagang asal Gampong Aree. Bahkan, kondisi terkini mereka mulai bertabur di Australia, Selandia Baru, hingga Saudi Arabia.
Baca juga: Dapat Video Call dari Kapolri, Teuku Tegar Abadi Masih Tak Menyangka Apalagi Ditawari Jadi Polisi
Jejak Sejarah Terlantar
Pada Kamis (11/11/2021) lalu saya mendapat undangan intat linto dari salah seorang pemuda tampan yang tinggal di Meunasah Raya, Gampong Aree, namanya Khairul Rijal.
Saya terpana melihat sebuah rumah bergaya Eropa klasik berdiri megah di depan rumah Khairul Rijal yang juga cucu dari seorang saudagar besar pada era Belanda dan Jepang, yaitu Are Kasem, pemilik perusahaan impor Firma Jacob Kasem.
Saya penasaran dan berusaha mendekat untuk memperhatikan rumah tua yang besar itu. Ternyata rumah itu kosong melompong, tak berpenghuni. Beberapa bagian dinding dan lantai mulai bolong, demikian juga kaca jendelanya.
Rumah megah itu telah menjadi “hotel” bintang lima bagi ternak kambing. Saya menyaksikan kambing-kambing beristirahat santai di dalam rumah itu.
Baca juga: Airlangga: Pertumbuhan Ekonomi dan Penurunan Covid-19 Jadi Modal Dasar Capai Tujuan Presidensi G20
“Alangkah beruntungnya kambing-kambing itu, selama Pemkab setempat tidak memberi perhatian pada peninggalan sejarah ini,” gumam batinku.
Setelah saya telusuri, ternyata rumah itu adalah milik Toke Tawi, pemilik Firma Haji Tawi & Son. Toke Tawi adalah saudagar Aceh yang go internasional pada masa Kolonial Belanda hingga awal kemerdekaan.
Pada era Kolonial Belanda dan Jepang, Firma Haji Tawi & Son menjalankan bisnis ekspor impor, mengirimkan komoditi Aceh ke luar negeri via Pulau Pinang dan Singapura serta memasukkan sejumlah hasil indistri dari negeri ke Aceh.
Pada masa Belanda, di rumah Tawi yang kini terlantar itu telah terparkir beberapa mobil sedan. Demikian juga di rumah besar yang ada di depannya, yaitu rumah Are Kasem, kakek dari Khairul Rijal. Namun, sayangnya, rumah keluarga Are Kasem telah dirombak total sehingga tak tampak sisi klasiknya.
Rumah peninggalan Almarhum Toke Tawi yang kini tak terurus menjadi bukti dari jejak saudagar internasional di Gampong Aree dan sekitarnya (termasuk Reubee). Gampong Aree dan sekitarnya adalah kawasan yang melahirkan banyak saudagar pada masa lampau, bahkan ada yang menyebut hingga kini.
Baca juga: Link Kisi-Kisi Soal Ujian SKB CPNS 2021 Semua Formasi Jabatan, Aturan Ujian Hingga Pengolahan Nilai
Museum Sudagar Aceh
Gampong Aree, khususnya Meunasah Ulee Tutue Raya, adalah produsen saudagar pada era Belanda, Jepang. Selain Firma Haji Tawi & Son, terdapat beberapa perusahaan lain yang masyhur pada masanya, seperti NV Permai, Puspa, Permata, dan Firma Jacob Kasem.
Melalui tulisan ini, saya hanya mampu memberi saran kepada Pemkab Pidie untuk mengambilalih rumah Saudagar Tawi, apalagi tak ada ahli waris yang menempati dan merawat rumah kuno itu.
Bupati Pidie, Roni Ahmad SE MSi perlu mendekati ahli waris Tawi untuk melakukan negosisasi ganti rugi sehingga ia menjadi aset Pemkab Pidie. Selanjutnya rumah itu direhab dalam wujud asli dan dijadikan sebagai Museum Saudagar Aceh.
“Bicara Tawi & Son bukan sekedar bicara Pidie, seharusnya tanggung jawab masyarakat Aceh seluruhnya, krn sampai hari ini pun blm ada pengusaha Aceh punya cabang sampai Singapura dan Surabaya,” tulis Shalahuddin Al-Fata, cucu Teungku Chik Hasan Krueng Kale Aceh Besar dalam sebuah kemontar di FB saya.
“Utk itu perlu ada tulisan sekalian menjadikan rumah mrk sbg cagar keberhasilan pengusaha Aceh, sehingga hrs jadi pelajaran knp bisnis mereka tdk ada penerusnya dimana kesalahannya?,” lanjut Shalahuddin yang juga pengusaha di Jakarta.
Dari gedung Museum Saudagar Aceh ini pemerintah dapat membuat berbagai program revitalisasi jiwa wirausaha masyarakat Aceh, khususnya Pidie, dalam menghadapi era perdagangan bebas dan digital.
Museum Saudagar Aceh dari bekan rumah pemilik Firma Haji Tawi & Son ini akan memudahkan dalam memantik kemunculan dan kebangkitan saudagar internasional gaya baru dari Aceh. Pilihan ada pada Ulul Amri Pidie, mari berbuat atau diam membisu melihat jejak sukses indatu? Semoga!
Banda Aceh, 16 November 2021
Penulis,
Hasan Basri M. Nur
Mahasiswa Program PhD pada University Utara Malaysia (UUM) Negeri Kedah, email: hasanbasrimnur@gmail.com
Baca juga: Dapat Video Call dari Kapolri, Teuku Tegar Abadi Masih Tak Menyangka Apalagi Ditawari Jadi Polisi
Baca juga: Pemerintah Siapkan Skema Pelaksanaan Ibadah Haji 2022
Baca juga: Ngotot Wilayahnya Lepas dari Kawasan TWA, Masyarakat Kepulauan Banyak Rela Patungan Kumpulkan Dana