Jurnalisme warga

Pudarnya Gemerlap Batu Giok Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

CHAIRUL BARIAH, Wakil Rektor II Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), Dosen Fakutas Ekonomi Universitas Almuslim, dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Matangglumpang Dua

OLEH CHAIRUL BARIAH, Wakil Rektor II Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), Dosen Fakutas Ekonomi Universitas Almuslim, dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Matangglumpang Dua

Giok adalah batu permata atau batu mulia yang memiliki warna beraneka ragam, di antaranya hijau, merah, lavender, kuning, dan putih.

Secara umum, penilaian kualitas batu giok diberi peringkat A, B, dan C oleh para ahli yang memahaminya.

Ornamentasi kubah dalam Masjid Giok Nagan Raya. (Dok Guntomara)

Setiap pecinta batu giok punya koleksi pribadi dengan perawatan yang baik, sehingga kualitasnya tetap terjaga.

Untuk memastikan batu giok asli dan palsu secara awam dapat kita rasakan dari dinginya batu tersebut pada saat kita tempelkan ke wajah, walaupun lama tetap saja dingin, di samping itu perhatikan teksturmnya cerah, halus, dan konsisten.

Namun, untuk lebih akurat sebaiknya dibawa ke ahli yang paham tentang batu giok.

Memastikan asli atau tidaknya sangat diperlukan karena giok yang kualitas dapat meningkatkan harga jualnya, demikian pula sebaliknya.

Masyarakat terkadang sering terkecoh dengan warna batu yang mirip batu giok, padahal setelah melalui pengujian ternyata batu giok itu ada yang palsu.

Selain dari rasa dingin batu giok juga tembus cahaya, ada yang bercahaya alami di dalam gelap.

Saya pun punya beberapa koleksi perhiasan batu giok yang menarik.

Menurut orang tua, batu giok itu kaya manfaat selain untuk perhiasan.

Tahun 2014, 2015, dan 2016 adalah masa keemasan batu giok terutama di Aceh.

Banyak event yang dibuat dalam rangka pameran batu giok, baik di Kota Banda Aceh maupun di berbagai kota kecil lainnya di Aceh.

Universitas Almuslim (Umuslim), tempat saya mengajar, juga pernah menggelar Pameran Batu Giok pada akhir Januari 2015, bertepatan dengan Hari Jadi Ke-12 Umuslim.

Pameran berlangsung empat hari.

Peserta yang ambil bagian dalam kegiatan tersebut datang dari berbagai kalangan, begitu juga pengunjungnya.

Dalam kegiatan ini peserta pameran memboyong berbagai bongkahan batu giok ukuran besar dan kecil, dari yang mahal sampai yang murah.

Pengunjung dimanjakan dengan tersedianya mesin pemotong dan tenaga ahli seni ukir batu giok.

Pencinta batu giok dapat langsung membelinya sesuai selera dan kemampuan kantong mereka.

Batu yang dipamerkan hanya bentuk perhiasan saja.

Selain di Bireuen, pameran dan kontes batu mulia (giok) tingkat nasional juga pernah diadakan di Takengon dalam rangka HUT Ke-439 kota dingin itu.

Menurut pemberitaan media saat itu, pameran tersebut diikuti 320 peserta.

Mereka berasal dari sejumlah provinsi di Indonesia.

Di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, dan perwakilan kota besar lainnya.

Pameran tersebut dilaksanakan di Gedung Olah Seni (GOS) Takengon sejak 22-26 Maret 2016.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk merangsang kembali gaung batu giok yang sempat redup, padahal deman batu giok sempat melanda seluruh lapisan masyarakat, baik tua maupun muda.

Ada yang menarik pada saat batu giok sedang naik daun.

Bupati Nagan Raya, HM Jamin Idham bersama sejumlah kepala dinas meninjau tambang batu giok di Desa Pante Ara, Beutong, Senin (8/6/2020) (SERAMBINEWS.COM/RIZWAN)

Ada pecinta giok dadakan dan ada pecinta giok sungguhan.

Bagi pecinta giok sungguhan nilai giok dan kualitas selalu jadi prioritas.

Namun, pecinta giok dadakan kurang memperhitungkan risiko yang diterima pada saat nilai batu giok itu turun.

Sebagaimana pengalaman seorang pemuda di Takengon yang rela menjual/menukar sepeda motor kesayangannya bernilai puluhan juta rupiah dengan sebongkah batu giok.

Batu giok yang ditukar tak kunjung dilepas (dijual) karena prediksinya harga akan naik, tapi nyatanya hari demi hari batu giok itu telah pudar dan tak punya nilai jual di mata masyarakat.

Dampak dari permasalahan ini adalah kehidupannya berubah dari naik sepeda motor jadi naik sepeda biasa.

Penyesalan sudah tak berarti.

Lain lagi kisah seorang pria yang berprofesi sebagai dosen yang selalu memakai cincin giok penuh di tangannya dengan berbagai jenis pada saat mengajar.

Sehingga, pimpinan membuat surat edaran tidak dibenarkan seorang dosen memakai cincin berlebihan, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Kisah pengajar yang berasal dari luar Aceh ini jadi pembelajaran untuk kita semua.

Semasa jayanya batu giok dia rela jauh dari anak dan istri, tinggal di kamar sempit yang menjadi tempatnya bekerja untuk mengolah bongkahan batu giok menjadi cincin tanpa memperhitungkan faktor risiko.

Serpihan abu yang dihasilkan dari proses pembentukan batu cincin ternyata merusak pernapasan dan paru-parunya karena ia bekerja tanpa masker di ruang sempit, tanpa sirkulasi udara.

Hal ini diketahui pada saat sang pengajar tersebut beberapa kali tidak mengajar, maka tetangga membuka paksa kamar yang bersangkutan.

Mereka terkejut karena di dalam kamar yang sempit itu banyak onggokan batu giok yang belum diolah serta satu unit mesin pengolahan.

Menurut sahabatnya, karena bapak tersebut sakit-sakitan dia pun pulang ke kampungnya dan akhirnya sang pecinta giok itu meninggal dunia.

Allah lebih menyayanginya.

Alfatihah.

Cerita lainnya tentang seorang pemuda Matangglumpang Dua bernama Dek Gam yang menemukan bongkahan batu.

Bentuknya mirip buah melon warna kuning di dalam sungai yang dikenal dengan nama Krueng Meuh, terletak di Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen.

Menurut ahli, yang ditemukan itu adalah batu giok, tembus cahaya, dan sampai saat ini masih dia simpan dengan baik.

Dek Gam menceritakan awalnya dia pergi bertiga dengan temannya.

Baca juga: Kemenkumham Aceh Adakan Pengawasan Kekayaan Intelektual di Nagan, Sekda Serah Papan Nama dari Giok

Baca juga: Pansus DPRA Dorong Pemerintah Aceh Realisasikan Bantuan Rp 20 M untuk Masjid Giok di Nagan Raya

Namun, yang masuk ke dalam sungai hanya berdua.

Mereka mencari dan membolak-balik setiap batu yang dianggap gemstone, tapi hanya satu yang dideteksi benar dan diyakini sebagai giok.

Pada masa deman giok banyak yang menawar batu tersebut dengan harga 8 sampai dengan 12 juta rupiah.

Namun, Dek Gam berpikir bahwa ke depan harganya pasti lebih mahal, maka selalu dia tahan.

Katanya, “Andai ada yang menawar di atas 15 juta, maka batu itu akan dilepas walaupun saya berharap hargannya mencapai 20 juta rupiah.

” Namun akhirnya, batu tersebut kini menjadi barang antik saja di rumahnya, karena tak ada yang berminat membeli dengan harga di atas Rp 12 juta.

Kemegahan batu giok Aceh sudah tak asing bagi pecinta giok, selain warnanya yang menarik harganya juga bervariasi mulai dari harga di bawah seratus ribu sampai jutaan rupiah.

Sebagai upaya untuk melestarikan batu giok Aceh, Ketua Dekranas Aceh, Ibu Dyah Erti Idawati mempromosikan batu giok Aceh ke Yogyakarta pekan lalu.

Beliau berharap ada pelatihan bagi pengrajin batu giok di Aceh, sebagaimana diberitakan Harian Serambi Indonesia, Minggu lalu.

Selama ini yang ada di Aceh batu giok baru diolah menjadi mata cincin, mata kalung, dan gelang.

Untuk ke depan hendaknya dapat dibuat aneka perhiasan rumah tangga atau wadah yang bermanfaat, termasuk untuk di kantor seperti asbak, sumpit, tempat pulpen, dan vas bunga.

Suatu hari nanti kita berharap ada berbagai aksesori dan sovenir khas Aceh dari batu giok.

Semoga batu giok Aceh ‘meugiwang’ kembali.

Baca juga: Giok Harusnya Datangkan Banyak Laba bagi Aceh

Baca juga: Dyah Erti Idawati, Promosikan Giok Aceh di Yogya

Berita Terkini