Oleh: Dr. Safrizal ZA*)
MENJADI lurah di era Daerah Operasi Militer atau DOM tahun 1990-an penuh dinamika. Jabatan lurah Kota Lhokseumawe dan sekwan di Kantor camat Bireuen yang saya jalani pada masa penerapan Operasi Jaring Merah adalah masa-masa yang penuh tantangan.
Sebagai abdi negara, saya harus bermain cerdas agar diri sendiri dan warga bisa selamat.
Sebagai pemimpin level desa, saya harus menjadi pengayom bagi warga. Itu salah satu ilmu yang saya terima selama belajar di IPDN Jatinangor Jawa Barat.
Saban pagi sekitar pukul 10.00 Wib, Koran Serambi Indonesia yang dicetak di Banda Aceh tiba di Lhokseumawe. Saat itu koran Serambi belum dicetak di Lhokseumawe.
Saya sering ke kedai kupi ATRA untuk membaca Serambi. Di kedai kupi, bisa bertegur sapa dengan warga untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada warga. Demikian juga, warga bisa menyampaikan permasalahan kepada lurah atau keuchik.
Dengan segelas kopi dan beberapa bada (pisang goreng), saya bisa mendengar permasalahan warga.
Baca juga: Inovasi Tanpa Batas, Syukur Tiada Henti
Sebut saja, kedai kupi sebagai pusat berkumpul warga berbagi info dan menyerap berita. Berita kekerasan yang tidak dimuat di Serambi, saya bisa temukan info itu secara bisik-bisik di pojok kedai kupi.
Hampir semua pengunjung kedai kupi sangat senang dengan rubrik Gam Cantoi di pojok kiri bawah. Jika ada yg harus diperdalam biasanya bercerita dengan Hamdani Rukiah wartawan Serambi Indonesia yang kebetulan tinggal di kelurahan kota, entah dimana sekarang bang Hamdani, lama tak jumpa.
Jika ada sebutan keuchik atau lurah berjalan, ya saya salah satunya. Di kantong baju kiri atas, saya sering bawa stempel lurah sebagai cadangan dan bantalan yang saya bungkus dalam plastik.
Warga yang perlu stempel surat atau surat jalan, saya bisa langsung stempel di meunasah, masjid, kedai kupi atau pasar.
Prinsipnya, tidak persulit warga untuk urusan tanda tangan dan stempel. Atau bisa bertemu pak Ahmadi dan Ramli yg siaga juga 24 jam.
Bagi saya dan warga, Serambi itu jadi jendela informasi pembangunan di Aceh secara khusus dan Indonesia. Nyaris pada masa tersebut, berita seputar Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof Ibrahim Hasan selalu menghiasi halaman 1 Serambi.
Ke mana Gubernur Ibrahim Hasan keliling kunjungan kerja Aceh, selalu membawa wartawan Serambi.
Baca juga: Serambi Indonesia, Korannya Orang Aceh
Besoknya, warga menyimak apa saja kegiatan dan humor yang dilontarkannya oleh mantan rektor universitas Syiah Kuala.
Sebut saja joke yang sering diucapkan di podium yakni di Jakarta tidak sungai namun ada jembatan. Di Aceh banyak sungai namun tidak ada jembatan.
Karena tiap hari baca serambi, saya hapal kata terobosan yang diucapkan oleh pak Ibrahim Hasan. Saya juga suka baca kolom Apit Awe karya khas Pak Hasyim KS yang berada di halaman 1 di pojok kanan bawah.
Membaca tulisan Apit Awe, saya seperti dikritik oleh penulis terutama kepada aparat pemerintah. Saya seperti dihadiahi sembetan cambuk rotan dengan mengutip Hadi Maja atau peribahasa Aceh.
Di masa DOM sejak 1989-1998, Serambi dengan lincah bisa terus mencetak koran secara rutin kecuali pada hari- hari libur nasional.
Khusus untuk liburan hari raya idul Fitri dan Idul Adha, saya amati Serambi menambah hari libur terbit tanpa mengurangi biaya langganan. Warga bisa paham serambi tidak beredar karena hari raya di Aceh bisa seminggu libur bagi PNS dan loper koran juga pulang Gampong .
Ada kesepakatan yang tidak tertulis antara pelanggan dengan manajemen Serambi. Tanpa Serambi, saya kesepian info tentang Aceh.
Di era reformasi, saya ingat Serambi tidak terbit sekitar 2 Minggu. Koran terpercaya ini diinstruksikan tidak terbit oleh panglima GAM Ishak Daud.
Baca juga: 33 Tahun Serambi Indonesia: Phaederus, Acta Diurna dan Sjamsul Kahar
Akhirnya serambi bisa terbit lagi. Tentu saja serambi mengirim negoisator yang ulung sehingga ada bisa beredar lagi. Pada masa itu, halaman Serambi penuh dengan lapak berita dari jubir GAM. Ini masa GAM naik daun.
Saya salut kepada redaksi Serambi dalam mengatur keselamatan pembawa berita di lapangan sejak masa DOM hingga konflik.
Bagaimana pun keselamatan nyawa wartawan adalah segala- galanya di atas berita yang ditulis, memang ada dua wartawan serambi yang kemudian bertugas sebagai perwakilan Serambi di Jakarta yakni Kak Nona dan Bang Fikar.
Masa duka Serambi yakni ketika gempa dan smong meluluhlantakkan pesisir Aceh pada Ahad, 26 Desember 2004. Ada puluhan wartawan dan keluarga besar Serambi menjadi syuhada.
Saya menyaksikan kantor redaksi dan mesin cetak Serambi dekat Alue Naga terhempas puluhan meter.
Kalau perangkat keras seperti mesin cetak bisa dipesan secepatnya. Namun menyangkut SDM, itu butuh waktu bertahun-tahun untuj menghadirkan di jajaran manajemen
Setiap hari, saya klik Serambi untuk mengetahui haba di gampong halaman. Saya tidak bisa melupakan asal saya dari gampong.
Serambi menjadi obat rindu melepaskan kerinduan pada nostalgia di Tanoh Endatu dan update situasi perekonomian.
Serambi Sudah teruji bergelut dari masa DOM, konflik, Darurat militer, tsunami 2004, damai hingga di era digital mileniall.
Pengalaman itu mengajar tim serambi untuk selalu adopsi pada teknologi. Pemilihan generasi milenial Bang Zainal Arifin M Nur sebagai panglima di Serambi adalah bagian dari menjawab persoalan-persoalan media cetak yang dimakan oleh media online.
Demikian serambi yang saya bawa dalam sanubari yang juga telah mendidik saya. Terima kasih guree redaksi.
Met HUT Serambi ke 33 pada 9 Februari 2022.(*)
*) PENULIS adalah Dirjen Adwil Kemendagri (Mantan Lurah Kota Lhokseumawe, dan Pj Gubernur Kalimantan Selatan)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.