“Tapi, sejak pandemi Covid-19, pengunjung sepi. Ekonomi warga anjlok. Biasanya, dalam sehari bisa ribuan orang datang ke sini. Bahkan dari luar Indonesia juga ramai,” kata Wati sebagai Pedagang di sekitar PLTD Apung kepada Serambinews.com, Kamis (10/2/2022).
Laporan Romadani | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Bencana ganda gempa dan tsunami sekitar 17 tahun, masih sulit dilupakan oleh sebagian besar masyarakat Aceh.
Bagaimana tidak, ada 250.000 lebih korban jiwa melayang pada bencana yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu.
Kota Banda Aceh disapu oleh air hingga porak poranda.
Kisah pilu itu, menyisakan kenangan sendiri bagi masyarakat Aceh hingga saat ini.
Salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung yang menjadi saksi bisu tsunami Aceh.
Bangkai kapal “raksasa” berbobot mati 2.600 ton itu kini berada di tengah pemukiman warga Punge Blang Cut, Jaya Baru, Kota Banda Aceh.
Sebelum pandemi Covid-19, objek wisata “warisan” tsunami 2004 ini paling laku dan sering penuh sesak.
Baca juga: Peserta City Tour JKPI Puji Banda Aceh, di Kapal Apung Persembahkan Masakan Keumamah
Kapal generator PLTD Apung yang memiliki panjang 63 meter dan luas 1.900 meter persegi itu adalah milik PLN.
Pada Minggu 26 Desember 2004, sekitar pukul 8:45 WIB, kapal itu terseret sepanjang 2,4 Km dari Pantai Ulee Lheue ke daratan akibat bencana ganda gempa dan tsunami setinggi 9 meter.
Saat itu di perut kapal terpasang mesin pembangkit listrik berdaya 10,5 megawatt, berikut tujuh awak pekerja, dua warga Aceh, empat warga Kalimantan, dan satu orang warga Medan.
Pada 2010, mesin generator PLTD Apung dipindahkan dan pengelolaan kapal pun dialihkan ke Kementerian ESDM.
Kemudian, PLTD Apung berubah fungsi dari pembangit listrik menjadi objek wisata andalan Aceh.
Kelak, kapal ini dikenal dengan nama Kapal Apung.
Baca juga: Polda Aceh akan Kirim Tambahan Tiga Kapal Patroli dan Satu Kapal Apung ke Tamiang, Pantau TKI Mudik