Harga Migor Curah Dipatok Maksimal Rp 14 Ribu, Namun Pedagang Warteg Keluhkan Kualitas

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pedagang menjual migor di Pasar Simpang Peut, Nagan Raya, pekan lalu.

Menurut Reynaldi, sejak dulu HET tidak pernah berlaku di pasar tradisional. Ia mencontohkan, sejumlah komoditas pangan harganya di atas HET pada hari ini. "Seperti daging HET Rp 100 - 105 ribu, sekarang sudah tembus Rp 140 ribu. Cabai merah di bawah Rp 35 ribu harganya sudah Rp 77 ribu lebih," tutur Reynaldi.

Reynaldi melihat pemerintah tidak memiliki proyeksi yang jelas soal tata niaga pangan. Sebab, pernyataan mengenai ketersediaan pangan aman, jauh berbeda dengan fakta di lapangan. Sehingga, mempengaruhi gejolak harga.

"Fakta di lapangan harga bergejolak. Pasokan atau kebutuhan dalam negeri kita, harga-harga meningkat dan bergejolak," ucap Reynaldi.

Pemerintah diharapkan berkomunikasi dengan para pelaku pasar, agar kebijakan yang diterapkan sesuai dengan harapan masyarakat. "Untuk setiap kebijakan yang dibuat atau diberlakukan perlu mengundang seluruh stakeholder terutama pelaku pasar atau pedagang," kata Reynaldi.
Pemerintah diharapkan fokus terhadap ketersediaan pangan. Sehingga dapat menekan gejolak harga. "Kalau ketersediaan tidak ada apa yang mau distabilitaskan. 2 pekan ini harapan kami agar pemerintah mengantisipasi gejolak harga," tuturnya.

Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni mengatakan, pedagang warteg tidak menolak kebijakan tersebut. "Untuk harga (Rp 14 ribu per liter) saya pikir warteg-warteg tidak menolak," ujar Mukroni.

Hanya saja, ucap Mukroni para pedagang warteg mengeluhkan kualitas dari minyak goreng curah, yang saat ini beredar di pasaran. Sebab, pedagang warteg membandingkan minyak goreng curah dengan minyak goreng kemasan.
"Kualitas minyak curah kalau bisa sebanding dengan minyak kemasan, karena memang yang di lapangan minyak curah itu kalau dibandingkan kemasan ketika menggoreng agak lama, ya terjadi pemborosan," tutur Mukroni.

Selain itu, Kowantara meminta pemerintah menjaga ketersediaan minyak goreng curah di pasar. Saat ini, minyak goreng curah disebut masih sulit didapatkan. "Warteg menerima harga yang ditetapkan namun meminta kualitas minyak curah sebanding dengan minyak kemasan. Yang kedua, barangnya tersedia. Itu jadi perhatian pedagang-pedagang warteg," kata Mukroni.
Negara Kalah

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menilai keputusan pemerintah melepas harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar menandakan pemerintah kalah menghadapi tekanan pengusaha minyak goreng. "Setelah mengadakan pertemuan dengan produsen minyak goreng, pemerintah memutuskan untuk menaikkan HET (harga eceran tertinggi) minyak goreng curah menjadi sebesar Rp14 ribu per liter," kata Mulyanto.

"Sebelumnya, HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter. Selain itu, pemerintah juga mencabut aturan HET minyak goreng kemasan dan menyerahkannya melalui mekanisme pasar," sambungnya.

Mulyanto menyebut para penimbun yang menahan minyak goreng murah, saat ini sedang sorak-sorai merayakan kemenangan sambil mencibir inkonsistensi kebijakan pemerintah, serta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Menurutnya, tidak aneh kalau pengusaha dapat mendikte pemerintah, karena pasar minyak goreng bersifat oligopolistik.

Dari data Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) pasar minyak goreng dari hulu ke hilir, termasuk terintegrasi ekspor, dominan dikuasai hanya oleh empat produsen. "Mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatur produksi dan harga dalam pasar yang bersifat oligopolistik ini. Karenanya mana sudi mereka diganggu, apalagi harga CPO sedang bagus-bagusnya, menembus angka 2.000 dolar AS per ton," papar Mulyanto.

Mulyanto meminta dalam jangka panjang pemerintah harus berani menata niaga minyak goreng agar menguntungkan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Salah satunya, merubah struktur pasar oligopolistik tersebut dengan mencabut regulasi yang menghambat, serta memberi insentif bagi tumbuhnya pelaku usaha baru di industri minyak goreng ini.

Selain itu, pemerintah juga agar memberikan kewenangan kepada Badan Pangan Nasional (BPN) termasuk juga Bulog untuk menata niaga komoditas pangan tersebut. "Sekarang ini kewenangan BPN hanya pada 9 komoditas beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. Tidak termasuk minyak goreng dan tepung terigu, sementara Bulog hanya ditugaskan untuk beras, kedelai dan jagung," tuturnya.(Tribun Network/fik/nis/sen/wly)

Berita Terkini