Ini diamini oleh Prof Harun bahwa penuturan bahasa Aceh memang memiliki kerumitan tersendiri sehingga sangat jarang ada pidato-pidato yang disampaikan secara penuh dalam bahasa Aceh.
“Mudah-mudahan orang Aceh sadar bahwa mengajarkan bahasa Aceh pada anak sangat penting,” kata Nurdin.
Pernyataan yang lebih menohok disampaikan oleh Dr Abdul Gani Asyik.
Tantangannya adalah bagaimana menjadikan prodi ini menarik sehingga membuat para orang tua “rela” anaknya kuliah di prodi ini.
Ia tak menampik jika semua orang menggebu-gebu menyambut hadirnya Prodi Bahasa Aceh, “Tetapi anak saya jangan kuliah di situ,” katanya menirukan kekhawatiran tersebut.
Menurutnya, perlu ada “jaminan” dalam bentuk qanun akan ketersediaan lapangan pekerjaan secara profesional sehingga tak perlu berkecil hati untuk kuliah di sana.
Hadirnya prodi ini, menurutnya, juga berperan besar dalam mempromosikan bahasa Aceh baku sesuai standar ejaan bahasa Aceh yang berlaku saat ini, yakni Ejaan Bahasa Aceh tahun 1980 dari USK yang dalam penulisannya menggunakan diakritik, serta Ejaan UIN Ar-Raniry tahun 1992 yang penulisannya tanpa diakritik.
Untuk penulisan standar bahasa Aceh harus mengacu pada dua ejaan tersebut, sedangkan untuk berbicara bebas menggunakan dialek apa saja, mengingat Aceh memiliki banyak subbahasa, di antaranya bahasa Gayo dan Anuek Jamee.
Saya sendiri termasuk yang menyambut baik dan perlunya prodi tersebut.
Sebagai orang Aceh yang lahir dan besar di Aceh, saya pun menyimpan keresahan yang sama terhadap eksistensi bahasa Aceh.
Dalam aktivitas sehari-hari, saya sering berhadapan dengan orang-orang yang canggung ketika berbahasa Aceh karena sejak kecil tidak pernah diajarkan bahasa Aceh di rumah.
Ada juga orang yang ketika ditanya atau disapa dalam bahasa Aceh justru menjawab dengan bahasa Indonesia, padahal mereka jelas-jelas bersuku Aceh.
Namun, yang lebih menyedihkan ialah ketika mendapati kenyataan ada orang Aceh yang menertawai saudaranya yang berbicara bahasa Indonesia dengan logat bahasa Aceh.
Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Nurdin AR dalam diskusi tersebut bahwa bahasa menunjukkan bangsa, semestinya tak perlu merasa malu dengan logat yang justru bisa menunjukkan identitas seseorang.
Karena itulah, ketika kita melihat seorang tokoh berbicara di televisi, dengan mudah kita tahu dari mana ia berasal.