SERAMBINEWS.COM - Kisah pemuda bernama Abudzar Ghifari ini mengingatkan saya akan kisah hidup Sahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar Al Ghifari.
Dikisahkan dalam sejumlah riwayat, Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu 'anhu yang bernama asli Jundub bin Janadah adalah sahabat Rasulullah yang terkenal karena ketaatan dan kesederhanaannya.
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia.
Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.
Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar menempuh perjalanan sangat berat dan penuh resiko untuk bisa bertemu langsung dengan Rasulullah Muhammad SAW di Kota Mekkah.
Jarak yang jauh tidak jadi penghalang untuk menemui sosok Nabi Muhammad yang kala itu dikucilkan oleh kaum kafir Quraisy.
Untuk diketahui, Ghifar yang ditabalkan di belakang nama Abu Dzar adalah nama suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak.
Baca juga: Hubungan Bisnis dengan Rusia Makin Mulus, Turki Dapat Ancaman Sanksi dari Amerika Serikat
Kabilah Ghifar ini tinggal di lembah Waddan yang menyambungkan Makkah dengan dunia luar.
Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan penuh resiko di Kota Mekkah, Abu Dzar akhirnya bertemu Rasulullah SAW dan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Perjuangan Abu Dzar untuk bertemu Rasulullah dan menyatakan keislamannya, membuat Baginda Nabi kagum dan bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya. Benar, Allah menunjuki siapa yang Dia kehendaki! Abu Dzar Al-Ghifari, salah seorang yang dikehendaki Allah beroleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya mendapat hidayah dan kebaikan."
Kisah pemuda bernama Abudzar yang akan kita ulas ini memang tidak lah sebanding dengan kisah Abu Dzar sang Sahabat Rasulullah.
Namun, apa yang dilakukan pemuda bernama Abudzar Ghifari ini adalah sebuah langkah berani yang mungkin akan sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini.
Ia memutuskan resign atau keluar dari sebuah perusahaan besar karena ketakutannya terhadap dosa bernama riba.
Sebelum memutuskan resign, hari-harinya selalu diliputi kegalauan dan kegelisahan.
Baca juga: Tips Mempertahan Bisnis, Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu Bagikan Caranya
“Setiap hari saya pergi ke bank untuk menegosiasikan bunga dari kredit maupun simpanan perusahaan di bank. Setelah berhasil, saya membawa uang itu ke kantor, semua ikut senang. Tapi setelah sampai di rumah, perasaan menjadi tidak tenang, saya merasa sangat berdosa,” ujar Abudzar ketika ditemui Serambinews.com di warung mie aceh miliknya, Jumat 26 Agustus 2022 lalu.
Warung Mie Aceh “Ghifari’s Family” ini beralamat di Jalan Tegal Parang Selatan 1 Nomor 24, Mampang Jakarta Selatan.
“Padahal rumah itu kan harusnya menjadi tempat untuk menenangkan diri. Tapi saya merasa hidup ini tidak pernah tenang,” kata Abudzar melanjutkan ceritanya kenapa menanggalkan status karyawan di perusahaan besar itu.
Berawal dari Aceh
Abudzar Ghifari adalah pemuda kelahiran Tomang, Jakarta Barat tahun 1984.
Ayah ibunya adalah perantau asal Reubee, Kecamatan Delima Kabupaten Pidie, Aceh.
Ayahnya, M Jafar merantau ke Jakarta pada tahun 1978. Ia merupakan orang kepercayaan dari Ibrahim Risjad (almarhum), konglomerat asal Aceh yang merupakan mitra bisnis dan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, konglomerat pendiri Salim Group.
Abudzar mengawali karirnya di sebuah perusahaan mitra kerja BUMN pada tahun 2007, di Aceh.
Baca juga: Kisah Sukses Faiz Daffa Bos Antarestar, Rintis Bisnis Sejak Usia 11 Tahun, Kini Raup Omzet Rp 1 M
Perusahaan nasional tempat dia bekerja bergerak di bidang produksi beton dan kontruksi dengan markas di Jakarta.
Ketika pertama kali bergabung di perusahaan ini, Abudzar berposisi sebagai staf lapangan pada proyek kontruksi pada masa rehabilitasi dan rekontruksi kembali Aceh dan Nias setelah bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 2004 lalu.
“Saya bekerja di perusahaan itu selama 13 tahun. Ketika awal bergabung pada tahun 2007, gaji saya masih sebesar Rp 1,9 juta per bulan,” ungkap Abudzar.
Hingga pada bulan Desember 2020, Abudzar memutuskan keluar dari perusahaan itu.
Saat itu, gajinya sudah berada di kisaran angka Rp 9 juta per bulan.
Jumlah itu sudah lebih dari cukup bagi Abudzar untuk menafkahi keluarganya, karena dia tidak harus mengontrak dan memiliki beberapa warisan yang menghasilkan, seperti rumah kost, toko, dan sawah di Aceh.
Lalu apa yang membuatnya sampai resign dari perusahaan itu?
“Saya ingin keluar dari zona nyaman,” kata Abudzar yang awalnya enggan menyinggung tentang ketakutannya terhadap riba yang sangat mengganggu kehidupannya.
Baca juga: Jadi Ketua PUAN Aceh, Ini Profil Shella Saukia Crazy Rich Aceh Sering Bagikan Tips Sukses Bisnis
Baju kaos bertulis “Berani Bisnis Tanpa Riba” yang dipakainya, serta sejumlah pesan moral dan ayat Alquran yang menghiasi dinding warungnya, membuat saya bertanya lebih mendalam.
Barulah Abudzar lebih terbuka dalam berbagi cerita “hijrahnya”.
Ia mengaku merasa bosan serta takut dengan rutinitasnya yang sudah dijalani bertahun-tahun sebagai staf yang mengurus kontrak, tagihan, simpanan, dan pinjaman keuangan perusahaan ke perbankan.
Ia semakin galau ketika dalam beberapa kesempatan pengajian yang dihadirinya, Ustaz membahas tentang betapa besarnya dosa riba.
“Saya merasa pekerjaan saya sehari-hari berurusan dengan yang mungkin dilarang oleh agama, ini mungkin ya. Saya enggak tahu juga persisnya bagiamana, tapi saya merasa ada yang salah dengan pekerjaan saya,” ujarnya.
Semenjak aktif hadir ke pengajian, ia mulai merasa resah dan gelisah dengan pekerjaannya. Dia merasa bersalah, jangan-jangan rezeki yang diperolehnya tidak berkah. Apalagi dari pekerjaan itu dia menafkahi istri dan anak-anaknya.
“Sebenarnya urusan sama banknya tidak masalah, cuma transaksinya ini yang bermasalah,” ungkap Abudzar.
“Keragu-raguannya di wilayah transaksi ya,” tanya Asrizal H Asnawi, anggota DPR Aceh yang sedari tadi menyimak percakapan kami.
“Iya betul sekali,” ujar Abudzar.
Setahun sebelum memutuskan resign atau pada tahun ke-12 Abudzar bekerja di perusahaan itu, dia sempat meminta pindah bagian, agar tidak lagi berhubungan dengan tagihan dan proyek-proyek perusahaan di bank.
“Hampir setiap hari selama delapan saya berurusan dengan bank,” kata dia.
“Jadi saya ngotot minta pindah bagian. Tapi karena saat itu sedang masa covid, ada pertimbangan-pertimbangan lain. Akhirnya saya memutuskan resign,” lanjut dia.
Itu adalah keputusan besar dalam hidup Abudzar, ketika orang sangat butuh pekerjaan di masa pandemi, Abudzar malah resign dan dia tidak mendapatkan pesangon, melainkan hanya diberi uang pisah atas kebijaksanaan pemimpin perusahaan.
Dari Taksi Online Hingga Ayam Goreng Sabana
Saat kebimbangan itu datang, atau sebelum memutuskan resign dari perusahaan, Abudzar mencoba berbisnis kecil-kecilan, yakni sewa mobil untuk taksi online, dan belakangan juga buka usaha dagangan ayam goreng dengan merek dagang Sabana dengan sistem franchise (bagi hasil).
Untuk usaha ayam Sabana, Abudzar membuka outlet, lebih tepatnya disebut gerobak, pertamanya di Pasar Pedok Tebet, seberang Pancoran.
Beberapa bulan kemudian, dia membeli gerobak kedua dengan wilayah penempatan di kawasan Cipinang.
Taksi online dan kedua outlet ayam Sabana ini dia percayakan pengelolaannya kepada orang lain.
Pada saat resign dari perusahaan, kata Abudzar, pendapatannya dari hasil sewa mobil dan dagang ayam goreng, masih jauh dibandingan dengan gajinya sebagai karyawan.
“Bagaimana rasanya menjadi pedagang?,” tanya Asrizal.
“Bedanya sih, saat menjadi pedagang seperti sekarang, tidak punya utang dan hidup lebih tenang. Itu aja sih,” kata Abudzar.
“Emang waktu menjadi karyawan punya utang?” tanya Asrizal lagi.
“Banyak juga, karena kita menunggu dan berharap pada gaji di akhir bulan. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah tidak ada utang, tidak ada beban pekerjaan, karena waktu kita atur sendiri,” ujar Abudzar.
Minta Izin Ibu dan Berdiskusi dengan Istri
Saat keinginan resign dari perusahaan semakin kuat, Abudzar membicarakan ini dengan ibundanya dan istrinya.
Bagaimana tanggapan istri?
“Awalnya sih berat juga. Tapi saya memberi syarat, terserah mau kerja apa saja, yang penting jangan ada utang,” timpal Nuri, istri Abudzar yang sedari tadi menyimak pekerjaan kami.
Nuri yang duduk bersama dua anak mereka, Syakil dan Syanum, mengatakan, pada bulan-bulan pertama Abudzar keluar dari perusahaan, kehidupan mereka terasa berat, karena tidak lagi punya uang bulanan.
Nuri harus bisa mengatur uang hasil jualan secara cermat.
“Tapi itulah namanya perjuangan,” timpal Abudzar.
Selain masalah keuangan, hal terberat yang dirasakan Abudzar setelah resign adalah omongan orang.
Karena ketika dia resign, banyak perusahaan swasta memberhentikan karyawan, karena perekonomian sedang goyah akibat wabah Covid-19.
“Banyak yang menyangka saya dipecat atau dirumahkan karena pengurangan karyawan. Awalnya, ibu juga berpikir seperti itu. Tapi setelah saya beri pengertian, Alhamdulillah beliau mengerti dan mendukung keputusan saya,” ungkap Abudzar.
Dari pembicaraan kami, pekerjaan Abudzar di perusahaan itu tergolong sangat ringan.
Tugasnya setiap hari menyetor uang perusahaan ke bank, membuat penawaran dan kontrak kerja, serta mengurus kredit untuk klien perusahaan.
Dengan bidang kerjanya, Abudzar tidak setiap hari harus stanby di kantor.
Ia hanya pergi ke kantor untuk mengambil atau menyerahkan dokumen kontrak atau uang, lalu pergi ke bank untuk menyetor uang serta berbagai dokumen lainnya.
Namun, ternyata kemudahan pekerjaan itu tidak berjalan sebanding dengan beban rohani yang harus dijalaninya.
Uang besar yang dia bawa pulang ke kantor, memang membuat banyak orang senang dan mendatangkan pujian.
Tapi, jiwa Abudzar tidak pernah tenang, bayangan dosa riba terus menghantui hari-hari dan malam-malam yang dilaluinya.
“Sebab jumlah bunga bank yang saya negosiasikan itu menimal angkanya Rp 500 juta. Itu bunga yang sangat besar dan seluruhnya saya setor ke kantor,” katanya.
“Apalagi saya sebagai orang yang langsung menegosiasikan bunga itu. Nah, sepemahaman saya, dengar-dengar dalam pengajian, saya bisa disebut sebagai pelaku utama dari riba, karena bisa dikatakan saya sendirian dalam proses negosiasi bunga bank ini,” kata dia.
“Bahkan, orang di kantor yang menerima uang bunga bank itu menjadi pelaku kedua, ketiga, atau keempat. Pelaku utamanya saya, meski saya tidak ikut menikmati uang itu,” lanjutnya.
Nuri, istri Abudzar juga merasa risau dengan keadaan suaminya saat itu.
“Saya kasihan melihat Bang Abu, karena jiwanya seperti selalu gelisah. Bahkan, kerap mengigau dalam tidurnya. Dalam igauannya dia sering menyebut kata-kata riba, terkadang juga menangis,” ujar Nuri.
“Akhirnya saya merelakan, ya sudah. Kita putuskan mengambil jalan ini. Syarat saya jangan sampai ada utang.
Alhamdulillah, ternyata Allah membuka jalan. Usaha kecil-kecilan ini mulai berkembang, dan terasa lebih berkah,” ungkap Nuri.
Setelah mendapat restu dari ibundanya (kini sudah almarhumah), dan kerelaan dari sang istri, tepat pada tanggal 31 Desember 2020, Abudzar mengantarkan surat pengunduran dirinya ke perusahaan tempatnya bekerja.
Dia resign setelah menyelesaikan tugas terakhirnya atau setelah tutup buku pada akhir tahun.
Buka Usaha Mie Aceh
Dua tahun setelah keluar dari perusahaan, berbekal tabungannya dari hasil sewa mobil dan jualan ayam goreng Sabana, Abudzar mulai mengepakkan sayap bisnisnya.
Dua bulan lalu, Abudzar membuka usaha mie aceh dengan nama “Mie Aceh Ghifari’s Family” yang beralamat di Jalan Tegal Parang Selatan 1 Nomor 24, Mampang Jakarta Selatan.
Abudzar mengatakan, keputusannya membuka usaha mie aceh ini sebagai bagian dari pengabdiannya kepada almarhumah ibundanya.
“Dulu ibu meminta saya kalau bisa membuka bisnis yang ada hubungannya dengan Aceh. Memang tidak mesti mie aceh, tapi yang ada hubungannya dengan Aceh,” ungkap Abudzar.
Sayangnya, keinginan almarhum ibunya ini baru bisa dia wujudkan setelah hampir dua tahun sang ibu kembali kepada Sang Pencipta.
“Beliau kembali kepada Allah pada awal tahun 2021 atau setelah dua bulan saya resign dari perusahaan. Saat itu saya belum punya cukup modal untuk membuka usaha mie aceh,” kata dia.
“Alhamdulillah sekarang saya bisa mewujudkan amanah beliau agar saya membuka usaha yang ada hubungannya dengan Aceh, yakni mie aceh, sesuai dengan kemampuan saya,” ujarnya.
“Mungkin beliau ingin agar saya dan anak-anak tidak pernah lupa dengan asal usul kami sebagai orang Aceh,” ujar Abudzar yang beristrikan perempuan Betawi.
Adapun menu di warung Mie Aceh Ghifari’s Family ini sama seperti menu standar di kebanyakan warung mie aceh di Jakarta.
Selain menu utama mie aceh dengan berbagai varian rasa, juga tersedia kari kambing pada hari tertentu, canai dengan berbagai varian rasa, martabak telor, dan aneka minuman.
Kini, Abudzar pun mulai menjalani hidup dengan lebih tenang, jauh dari bayang-bayang dosa karena riba.
Dalam surat Albaqarah ayat 275 Allah berfirman:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Serta Albaqarah ayat 275:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.(*)