Kisah pemuda bernama Abudzar Ghifari yang akan kita ulas ini memang tidak lah sebanding dengan kisah Abu Dzar Al Ghifari, sang Sahabat Rasulullah SAW.
Namun, apa yang dia lakukan adalah sebuah langkah berani, yang mungkin akan sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang saat ini.
Ia memutuskan resign atau keluar dari sebuah perusahaan besar karena ketakutannya terhadap dosa bernama riba. Berikut kisahnya.
SEBELUM memutuskan menanggalkan status karyawan, Abudzar melalui hari-hari yang penuh kegalauan dan kegelisahan.
“Setiap hari saya pergi ke bank untuk menegosiasikan bunga dari kredit maupun simpanan perusahaan di bank.
Setelah berhasil, saya membawa uang itu ke kantor, semua ikut senang.
Tapi setelah sampai di rumah, perasaan menjadi tidak tenang, saya merasa sangat berdosa,” ujar Abudzar ketika ditemui Serambi di warung mi aceh miliknya, Jumat 26 Agustus 2022 lalu.
Warung Mi Aceh ‘Ghifari’s Family’ ini beralamat di Jalan Tegal Parang Selatan 1 Nomor 24, Mampang Jakarta Selatan.
“Padahal rumah itu kan harusnya menjadi tempat untuk menenangkan diri.
Tapi saya merasa hidup ini tidak pernah tenang,” kata Abudzar.
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Sabrul Jamil, Pemilik Mie Aceh Pandrah yang Berkembang di Masa Pandemi
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh - M Raji Pengusaha Muda Owner Koetaradja, Dari Importir Hingga Konsep ATM
Abudzar Ghifari adalah pemuda kelahiran Tomang, Jakarta Barat, tahun 1984.
Ayah ibunya adalah perantau asal Reubee, Kecamatan Delima Kabupaten Pidie, Aceh.
Ayahnya, M Jafar merantau ke Jakarta pada 1978.
Ia merupakan orang kepercayaan dari Ibrahim Risjad (almarhum), konglomerat asal Aceh yang merupakan mitra bisnis dan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, konglomerat pendiri Salim Group.
Abudzar mengawali karirnya di sebuah perusahaan mitra kerja BUMN pada tahun 2007, di Aceh.
Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi beton dan kontruksi dengan markas di Jakarta.
Ketika pertama kali bergabung, Abudzar berposisi sebagai staf lapangan pada proyek kontruksi pada masa rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pascatsunami 2004 silam.
“Saya bekerja di perusahaan itu selama 13 tahun.
Ketika awal bergabung pada tahun 2007, gaji saya masih sebesar Rp 1,9 juta per bulan,” ungkap Abudzar.
Hingga pada bulan Desember 2020, Abudzar memutuskan keluar dari perusahaan itu.
Saat itu, gajinya sudah berada di kisaran angka Rp 9 juta per bulan.
Jumlah itu sudah lebih dari cukup baginya untuk menafkahi keluarga, karena dia tidak harus mengontrak dan memiliki beberapa warisan yang menghasilkan, seperti rumah kost, toko, dan sawah di Aceh.
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Teuku Makmur, Toke Beras Pemberantas Pengangguran di Kampung Halaman
Lalu apa yang membuatnya sampai resign dari perusahaan itu? “Saya ingin keluar dari zona nyaman,” kata Abudzar yang awalnya enggan menyinggung ketakutannya terhadap riba.
Baju kaos bertulis ‘Berani Bisnis Tanpa Riba’ yang dia pakai, serta sejumlah pesan moral dan ayat Alquran yang menghiasi dinding warungnya membuat saya bertanya lebih dalam.
Barulah Abudzar lebih terbuka dalam berbagi cerita ‘hijrahnya’.
Ia mengaku merasa bosan serta takut dengan rutinitasnya yang sudah dijalani bertahun-tahun sebagai staf yang mengurus kontrak, tagihan, simpanan, dan pinjaman keuangan perusahaan ke bank.
Ia semakin galau ketika dalam beberapa kesempatan pengajian yang dihadirinya, Ustaz membahas tentang betapa besarnya dosa riba.
“Saya merasa pekerjaan saya sehari-hari berurusan dengan yang mungkin dilarang oleh agama, ini mungkin ya.
Saya enggak tahu juga persisnya bagaimana, tapi saya merasa ada yang salah dengan pekerjaan saya,” ujarnya.
Semenjak aktif hadir ke pengajian, ia mulai merasa resah dan gelisah dengan pekerjaannya.
Dia merasa bersalah, jangan-jangan rezeki yang diperolehnya tidak berkah.
Apalagi dari pekerjaan itu dia menafkahi istri dan anak-anaknya.
“Sebenarnya urusan sama banknya tidak masalah, cuma transaksinya ini yang bermasalah,” ungkap Abudzar.
“Keragu-raguannya di wilayah transaksi ya,” tanya Asrizal H Asnawi, anggota DPR Aceh yang sedari tadi menyimak percakapan kami.
“Iya betul sekali,” ujar Abudzar.
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Bang Jol Sahara Sang Legenda
Setahun sebelum memutuskan resign, Abudzar sebenarnya sempat meminta pindah bagian agar tidak lagi berhubungan dengan tagihan dan proyek-proyek perusahaan di bank.
“Hampir setiap hari selama delapan saya berurusan dengan bank.
Jadi saya ngotot minta pindah bagian.
Tapi karena saat itu sedang masa covid, ada pertimbangan-pertimbangan lain, akhirnya saya memutuskan resign,” lanjutnya.
Itu adalah keputusan besar dalam hidup Abudzar, ketika orang sangat butuh pekerjaan di masa pandemi, Abudzar malah resign dan dia tidak mendapatkan pesangon, melainkan hanya diberi uang pisah atas kebijaksanaan pemimpin perusahaan.
Bisnis kecil-kecilan
Saat kebimbangan itu datang, atau sebelum memutuskan resign dari perusahaan, Abudzar mencoba berbisnis kecil-kecilan, yakni sewa mobil untuk taksi online dan belakangan juga buka usaha ayam goreng dengan merek dagang Sabana dengan sistem franchise (bagi hasil).
Untuk usaha ayam Sabana, Abudzar membuka outlet, lebih tepatnya disebut gerobak, pertamanya di Pasar Pedok Tebet, seberang Pancoran.
Beberapa bulan kemudian, dia membeli gerobak kedua dengan wilayah penempatan di kawasan Cipinang.
Taksi online dan kedua outlet ayam Sabana ini dia percayakan pengelolaannya kepada orang lain.
Pada saat resign dari perusahaan, kata Abudzar, pendapatannya dari hasil sewa mobil dan dagang ayam goreng masih jauh dibandingan dengan gajinya sebagai karyawan.
“Bagaimana rasanya menjadi pedagang?,” tanya Asrizal.
“Bedanya sih, saat menjadi pedagang seperti sekarang, tidak punya utang dan hidup lebih tenang.
Itu aja sih,” kata Abudzar.
“Emang waktu menjadi karyawan punya utang?” tanya Asrizal lagi.
“Banyak juga, karena kita menunggu dan berharap pada gaji di akhir bulan.
Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah tidak ada utang, tidak ada beban pekerjaan, karena waktu kita atur sendiri,” ujar Abudzar.
Restu dan amanah ibu
Saat keinginan resign dari perusahaan semakin kuat, Abudzar membicarakan ini dengan ibundanya dan istrinya.
Bagaimana tanggapan istri? “Awalnya sih berat juga.
Tapi saya memberi syarat, terserah mau kerja apa saja, yang penting jangan ada utang,” timpal Nuri, istri Abudzar yang sedari tadi menyimak pekerjaan kami.
Nuri yang duduk bersama dua anak mereka, Syakil dan Syanum, mengatakan, pada bulan-bulan pertama Abudzar keluar dari perusahaan, kehidupan mereka terasa berat, karena tidak lagi punya uang bulanan.
Nuri harus bisa mengatur uang hasil jualan secara cermat.
“Tapi itulah namanya perjuangan,” timpal Abudzar.
Selain masalah keuangan, hal terberat yang dirasakan Abudzar adalah omongan orang, karena dia resign di masa Covid-19.
“Banyak yang menyangka saya dipecat atau dirumahkan karena pengurangan karyawan.
Awalnya, ibu juga berpikir seperti itu.
Tapi setelah saya beri pengertian, Alhamdulillah beliau mengerti dan mendukung keputusan saya,” ungkap Abudzar.
Setelah mendapat restu dari ibundanya (kini sudah almarhumah) dan kerelaan dari sang istri, tepat pada tanggal 31 Desember 2020, Abudzar mengantarkan surat pengunduran dirinya ke perusahaan tempatnya bekerja.
Dia resign setelah menyelesaikan tugas terakhirnya atau setelah tutup buku pada akhir tahun.
Usaha mi aceh
Dua tahun setelah keluar dari perusahaan, berbekal tabungannya dari hasil sewa mobil dan jualan ayam goreng Sabana, Abudzar mulai mengepakkan sayap bisnisnya.
Dua bulan lalu, Abudzar membuka usaha mi aceh dengan nama “Mi Aceh Ghifari’s Family”.
Abudzar mengatakan, keputusannya membuka usaha mi aceh ini sebagai bagian dari pengabdiannya kepada almarhumah ibundanya.
“Dulu ibu meminta saya kalau bisa membuka bisnis yang ada hubungannya dengan Aceh.
Memang tidak mesti mi aceh, tapi yang ada hubungannya dengan Aceh,” ungkap Abudzar.
Sayangnya, keinginan almarhum ibunya ini baru bisa dia wujudkan setelah hampir dua tahun sang ibu kembali kepada Sang Pencipta.
“Beliau kembali kepada Allah pada awal tahun 2021 atau setelah dua bulan saya resign dari perusahaan.
Saat itu saya belum punya cukup modal untuk membuka usaha mi aceh,” kata dia.
“Alhamdulillah sekarang saya bisa mewujudkan amanah beliau agar saya membuka usaha yang ada hubungannya dengan Aceh, yakni mi aceh, sesuai dengan kemampuan saya,” ujarnya.
“Mungkin beliau ingin agar saya dan anak-anak tidak pernah lupa dengan asal usul kami sebagai orang Aceh,” ujar Abudzar yang beristrikan perempuan Betawi.
Adapun menu di warung Mie Aceh Ghifari’s Family ini sama seperti menu standar di kebanyakan warung mi aceh di Jakarta.
Selain menu utama mi aceh dengan berbagai varian rasa, juga tersedia kari kambing pada hari tertentu, canai dengan berbagai varian rasa, martabak telor, dan aneka minuman.
Kini, Abudzar pun mulai menjalani hidup dengan lebih tenang, jauh dari bayang-bayang dosa karena riba. (Zainal Arifin M Nur)
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Muslim Armas, Perekat Perantau Pidie dan Pemilik 8 Perusahaan Level Nasional
Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – 10 Tahun Tidur di Atas Tong Pasar Minggu, Iskandar Kini Bos 5 Cabang Mie Aceh