Kupi Beungoh

Pungoe Bui dan Bui Pungoe

Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

T. Murdani adalah mahasiswa program Doktor dalam bidang International Development, Fakultas Art & Design, University of Canberra, Australia, mengajar pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Oleh: T. Murdani*

Sangat menarik mengamati perkembangan isu dan berbagai gosip di Aceh melalui media sosial.

Mulai dari investor yang datang tidak kembali lagi, warna warni politik yang dibungkus dengan berbagai lebel, lebel Syari’ah untuk menyamarkan kepentingan, konser yang mengakibatkan bencana alam, “Peih rapai” di Mesjid Raya Baiturrahman, penolakan pembangunan rumah sakit akibat logo perusahaan yang mirip salip, dan manajemen bola kaki yang mencoba mengikuti aturan Syari’ah.

Tentu masih banyak isu lainnya yang menjadi topik hangat di media sosial bagi warga net di Aceh secara khusus.

Menariknya lagi adalah semua isu tersebut condong bersifat negatif atau protes karena ketidak-setujuan para warga jamaah Medsos atau ada istilah khusus dalam bahasa Aceh “Peukabeih buet goeb”.

Mengamati kondisi protes yang sangat bergentayangan di Medsos tersebut memunculkan sebuah tanda tanya besar, “jadi pue yang beutoi di Aceh” (apa yang benar di Aceh?).

Baca juga: Korban Meninggal Akibat Banjir Pakistan Terus Bertambah Melebihi Angka 1.300 Orang

Mengamati perkembangan yang tidak menentu tersebut mengingatkan kita kepada istilah lama indatu  “Pungoe Bui”.

Istilah ini biasa di labelkan kepada orang yang tidak pernah menerima apa yang dilakukan oleh orang lain dan selalu bertindak tanpa berpikir, apapun yang terjadi yang penting “hambo”, atau protes yang membabi buta.

Sebenarnya istilah “Pungoe Bui” ini adalah sebuah istilah yang tidak bisa dijelaskan karena berkonotasi keputusasaan.

Sebuah istilah yang diberikan namun tidak bisa buktikan apakah Bui itu benar-benar ada yang pungoe?.

Namun karena sifat bawaan babi main hantam kromo tanpa memandang apa dan mengapa, mungkin itulah hal ikhwal munculnya “Pungoe Bui”.

Faktanya sampai saat ini belum ada yang membuktikan kalau “Bui” itu benar-benar ada yang “pungoe”.

Kalau demikian bagaimana riwayatnya sebenarnya sehingga ada istilah “Pungoe Bui”?, tentu saja akan menimbulkan sebuah perdebatan sengit yang tidak akan ada kesimpulan akhir dan mungkin akan menarik untuk diteliti Kembali sejarah istilah “Bui Pungoe”.

Baca juga: Manajer Persiraja Ust Umar Rafsanjani Ceritakan Kronologi Lampu Stadion H Dimurthala Tiba-tiba Padam

Sebenarnya, inilah yang terjadi di Aceh saat ini, seolah-olah semuanya salah tidak ada satupun yang benar, sehingga semua kegiatan diseruduk dan protes habis-habisan.

Mungkin inilah sebabnya sehingga Snouck Hurgronje memberikan julukan “Aceh Pungoe” dan kemungkinan besar dia tidak mengerti “Bui” sehingga dia tidak memberi julukan “Aceh Pungoe Bui” ketika itu.

Sikap super pesimistis yang terjadi dewasa ini, kemungkinan erat kaitannya dengan perkataan indatu dahulu “Ureung Aceh, meunyeu hana beungeih, aneuk kreih jeut ta raba, tapi meunyeu ka teupeih, bue leubeih han geu peutaba”.  

Kata-kata ini kelihatannya sangat sederhana, namun mengandung arti yang sangat menukik dimana orang Aceh sebenarnya sangat anti kritik. Kalau sudah di kritik maka akan dianggap musuh bebuyutan.

Ketika sudah tidak suka terhadap seseorang apapun yang dilakukan oleh orang tersebut tidak akan disukai dan semuanya akan dilabel tidak benar, pokoknya salah walaupun kesalahan tersebut tidak bisa dirasionalisasikan.

Sikap seperti ini sebenarnya sebuah karakter yang dimiliki oleh sebuah komunitas primitif.

Baca juga: Santri Pesantren Gontor Tewas Diduga Dianiaya, Viral Setelah Ibu Korban Mengadu ke Hotman Paris

Bagi komunitas primitif tidak perlu benar atau salah, kalau tidak sesuai dengan pikiran dan kebiasaan nenek moyangnya mereka tetap di protes dan semuanya salah. Cara protesnya pun tidak memiliki metode khusus yang penting seruduk saja persis seperti “Bui Pungoe”.

istilah “Bue Leubeih han Geu Peutaba” ini sangat kentara dalam sosial masyarakat Aceh dan bisa diamati dalam masyarakat kelas mana saja.

Dalam istilah lain “Dam” menandai seseorang karena sudah tidak menyenangi atau benci terhadap orang tersebut.

Mendengar namanya saja tensi darah bisa naik 270, apalagi kalau mendengar hasil kerjanya di apresiasi orang.

Tetapi orang Aceh sangat menyukai meulisan dan tidak sadar kalau dirinya “Ka di peu eik ucoeng Putek”.

Apalagi kalau meulisan sangat ‘leukit’ dan semakin leukit meulisan maka akan semakin mudah orang Aceh untuk diperdaya.

Konon menurut legenda kelemahan terbesar orang Aceh itu ada tiga; uang, jabatan, dan meulisan.

Kalau Anda tahu cara “plei meulisan” pada tubuh orang Aceh, semua rahasia akan anda dapatkan secara Cuma-cuma.

Tidak hanya rahasia positif yang negatif pun akan diceritakan. Tujuan dari menceritakannya adalah semata-mata untuk mempertegas “Mbong”, karena “Mbong” bagi orang Aceh sangat penting dan dijaga dengan baik.

Pernah seorang teman berkata pada saya sambil ngopi, “bagi orang Aceh “Mbong” itu sangat sakral, kalau istri tertinggal di warung kopi dia akan minta istrinya kembali dengan Ojek atau becak, tetapi kalau “Mbong” yang tinggal dia akan segera kembali ke Warung kopi untuk mengambilnya, sebelum diambil orang”.

Kelemahan lain yang selama ini belum mampu dihilangkan adalah orang Aceh itu memiliki karakter “Ulee Keih” (Kepala korek, khususnya korek lama yang terbuat dari kayu dan memiliki pemetik api di ujung).

Sedikit saja bergesek langsung mengeluarkan api. Kondisi ini menyebabkan orang Aceh sangat mudah di provokasi dan kalau sudah terprovokasi mereka akan melakukan apapun tanpa melewati proses pertimbangan apapun.

Kejadian di stadion H. Murthala, Lampineung misalnya, hanya karena telah membeli tiket namun tidak bisa menonton bola karena ada kesilapan panitia langsung membakar fasilitas stadion.

Padahal kalau mau berpikir sedikit saja, mereka tidak mungkin rugi karena besar kemungkinan panitia akan memberikan kompensasi untuk dapat menonton pertandingan yang tertunda dengan tiket yang sama yang telah mereka beli.

Namun, ketika fasilitas stadion rusak maka perlu modal tambahan dan waktu untuk pengerjaan dan untuk mengikuti jadwal pertandingan. Tentu saja pertandingan harus tetap dilaksanakan walaupun di fasilitas lain.

Kalau fasilitas tersebut ada di Aceh maka perputaran uang dan hiburan akan tetap berada di Aceh.

Namun, bagaimana kalau keputusan pelaksana pertandingan kemudian dengan berbagai pertimbangan dilaksanakan di luar Aceh?

Maka semua yang akan menikmatinya orang luar Aceh dan orang Aceh yang memiliki kemampuan, ruginya tetap Aceh. 

Sangat disayangkan dengan berbagai perjuangan akhirnya PERSIRAJA bisa ikut kompetisi dan memiliki donatur yang mau berkorban untuk tetap menjaga marwah PERSIRA agar tetap hidup.

Namun dengan satu kesalahan langsung divonis dengan tindakan anarkis, membakar fasilitas stadion yang tentunya akan menyebabkan konsekuensi lain bagi PERSIRAJA dari pengelola liga.

Sifat “Pungoe Bui” dalam menyingkapi kondisi PERSIRAJA ini juga sangat kentara. Kalaulah rapai di depan Mesjid Raya Baiturrahman dan konser musik diprotes wajar dianggap melanggar syari’ah.

Tetapi ketika ada yang prihatin dan kemudian menolong PERSIRA agar dapat ikut serta dalam kompetisi kemudian berinisiatif untuk mewarnai sepak bola dengan aturan Syariah juga di protes, sebenarnya warga Medsos Aceh mau apa?.

Mudah-mudahan ada yang bisa menjawab.

Kalau anda merasa bingung dan merasa mumang dalam membaca tulisan ini, itu wajar dan begitulah semestinya. Karena dari judul tulisan ini sudah jelah “Pungoe Bui”.

 

 *Penulis adalah Dosen pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

 

Berita Terkini