"Ini sudah makan korban ketika perang," kata Angku Tarlih saat mengisahkan pertarungan Panglima Bedil Oyok menghadapi musuh yang bersembunyi di rumpun nibung.
Berdasarkan literatur serta kisah dari mulut ke mulut, Pulau Tuangku setidaknya pernah dipimpin enam raja.
Namun ada catatan sejarah terputus. Para tetua serta bukti sejarah belum mengungkapkan nama resmi kerajaan yang mendiami Pulau Tuangku.
Apakah namanya kerajaan Haloban atau Tuangku? Biarlah ahli sejarah membuktikannya kelak.
Pulau Tuangku sendiri diambil dari nama raja terkahir bergelar Tuangku Umar atau Sutan Umar.
Mengenai raja terakhir ini ada friksi yang mengatakan hanya pelaksana tugas sebab pewaris tahta masih menempuh pendidikan di luar kerjaan.
Nama-nama raja yang mendiami Pulau Tuangku, tertulis dalam catatan sejarah, berupa kertas menggunakan tulisan Arab.
Catatan itu menunjukan ada enam raja yang pernah berkuasa di pulau terbesar dalam gugusan Kepulauan Banyak tersebut.
Raja pertama bernama Sutan Malingkar Alam, lalu Sutan Mahmud, Sutan Marahamat, Sutan Setangkai Alam, Sutan Alam dan Sutan Umar (Tuangku Umar).
Pemimpin terakhir itulah, yang kemudian ditapalkan menjadi nama Pulau Tuangku.
"Kerajaan berakhir seiring Indonesia merdeka," jelas Herlin keturunan ketujuh dari Bedil Oyok, sambil menunjukan silsilah raja bertuliskan huruf arab.
Sementara berdirinya kerjaan di Pulau Haloban, alkisah dahulu kala, di sekitar Pulau Banyak Barat saat ini, ada empat orang tinggal. Pertama bernama Tutuwon yang diperkirakan berasal dari Padang Sidempuan bergelar Datuk Besar.
Lalu Lawoeka asal Simeulue bergelar Datuk Maharaja, Lasengak asal Nias bergelar Datuk Muda dan Hutabarat bersuku Batak bergelar Datuk Pamuncak.
Terjadi pertengkaran hebat antara Lawoeka dengan Lasengak, diperkirakan memperebutkan siapa yang paling berhak mengusai wilayah itu.
Pertengkaran dilerai Tutuwon. Setelah itu Tutuwon mengajak Lawoeka dan Lasengak bertandang ke rumahnya yang diperkirakan berada di Pasi Panjang atau Kampung Lama penduduk Haloban sebelumnya.